Foto by: Meira's Art |
Jangan tanya bagaimana perlakuan
Al Habib padaku. Kau pasti tidak akan
percaya. Aku saja tak mempercayainya. Seluruh panca indraku seakan sulit
menerima perlakuan darinya. Bukan karena dia jahat, bukan! Sebaliknya ... dia
terlalu baik.
Atau inikah jeratan yang melenakan
itu? Yang banyak membuat wanita terpedaya lalu menangis darah?
Entahlah ...
Aku pernah menanyakan itu padanya. Kau
tahu apa jawaban darinya? Dngan tangis tertahannya dia bersumpah atas nama
Pencipta, bahawa dia tidak akan meninggalkan aku.
Aku gadis dengan ke-pe-de-an
bermasalah, yang minder karena keadaan fisik, yang merasa tidak memiliki
kelebihan, gadis yang terlahir dalam perasaan kecil. Dengan perasaan seperti
itu aku hanya mampu mencintai tanpa pernah merasakan balasan rasa yang sama.
Bagiku, cinta adalah sepihak. Cinta adalah kesendirian dalam kekaguman dan
kerinduan.
Pun pemikiranku tentang cinta sepihak
sedemikian dalamnya, aku tetap saja jatuh dan jatuh pada virus berwarna merah
muda itu. berkali-kali pada luka yang sama. lelah? Jangan kau tanya, saking
lelahnya aku sampai berpikir, nasib perasaanku hanya begini saja.
Toh, aku punya keluarga yang begitu
penyayang bukan?
Lalu perlahan Al muncul. Tak kupercaya
bisa banyak bercerita padanya pun tak secara langsung. Hobi yang sama menjadi
penyebabnya keakraban kami.
Butuh waktu yang lama. Butuh deretan
bulan yang panjang. Al yang dulu aku tatap sekilas saja, sebab aku tak pernah merasa
bisa sejajr dengannya, sekarang malah mengatakan kata-kata yang hanya ada dalam
mimpi malamku.
“Apa yang kamu lihat dari dirku? Tak
ada yang spesial, tak ada yang bisa aku banggakan,” ucapku beberapa kali. Dalam
tangis.
“Orang lah yang menilaimu, kamu baik
sangat baik, terutama untukku,” ucapnya.
Dari jarak berkilo kilo meter, aku
sangat tahu matanya juga basah. Jelas terbaca dari suaranya yang serak.
Ketidak percayaanku nyatanya tak
menyulutkan rasa di hatinya. Al gigih. Berkali-kali kuminta menyudahi semuanya.
Berkali-kali juga aku menangis karena kata-kataku tak pernah sejalan dengan
keinginan hatiku. Aku juga telah jatuh dalam rasa yang begitu dalam padanya.
“Aku ingin kita sudahi saja.”
“Karena kamu tidak percaya cintaku?”
Aku terdiam.
“Aku memang belum bisa apa-apa, Nda.
Aku belum bisa memintamu pada orang tuamu, tapi jangan tinggalkan aku. Aku
tidak akan pernah bisa melepasmu.”
Begitualah ... kami selalu menangis
bersama, entah siapa yang selalu memulainya. Ah, Al memang berhati lembut. Dan
aku semakin sering memujinya.
“Tunggulah, aku akan ke rumahmu,”
ucapnya.
Dadaku tentu bergemuruh karenanya.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Hanya itu?”
“Dan untuk meyakinkanmu!” tegasnya.
Tak pernah ada teman-temanku yang
datang ke rumah. Jarak yang jauh serta jalan yang tidak bagus jadi penyebabnya.
Hal lain yang memang jadi masalah utamanya adalah, aku tidak mengizinkan.
Dari sekian banyak temanu, Al adalah
yang paling gigih meminta untuk berkunjung. Bahkan jauh hari sebelum hati kami
berwarna cinta.
Al datang ...
Benar-benar datang. Dia berdiri di
depan rumah kami. Rumah panggung sederhana.
Jangan tanya perasaanku. Aku tetap tidak percaya.
Jangan tanya perasaanku. Aku tetap tidak percaya.
Lalu kau masih bertanya-tanya ...
bagaimana perlakuan Al padaku?
Aku pun tak bisa percaya.
Bersambung*
jiiah.... nunggu lanjutannya Na... kira-kira happy ending kagak ya... hihihi
BalasHapusDoakan happy ending, jangan kayak cerpen2ku yang lain akhirnya selalu galau membahana. uhk! makash sudah mampir kak.
Hapus