Khalil yang pengertian. Sejak punya adik, tanpa diajari ia jadi mandiri, saking mandirinya, saya selaku emaknya dibuat menangis, kadang karena sedih, haru, juga bahagia. Seperti Jum'at lalu, ia dengan gigihnya ingin ikut kakek dan neneknya ke kampung. Untuk kali kedua sejak melahirkan, Khalil pisah dengan kami.
Hal yang kami khawatirkan pun terbantahkan, kami khawatir jika setengah jalan ia sudah minta pulang. Malam hari ia menangis. Semua itu terpatahkan. Khail memperlihatkan kemandiriannya. Tak ada drama sama sekali. Saya bangga, jujur. Tapi sedih juga sebab merasa ia jauh. Berpisah dengan buah hati selalu jadi kesedihan buat saya. Dada rasa tersayat pilu.
Hingga selasa kemarin, saya minta Khalil di jemput. Tentu saja dia menolak, sebab di kampung ada banyak perhatian untuknya. Ada kakek nenek yang selalu membawanya ke sekolah, di rumah ada tante dan dua kakak yang perhatian padanya. Makanan minuman yang dimaui selalu terpenuhi. Es krim oke, jajan lainnya oke. Padahal kalau sama emaknya, serba dibatasi dan diatur. Mungkin itu juga yang jadi sebab ia betah di kampung. Selain itu kegiatan di kampung, bagi Khalil yang tergolong aktif sangat menyenangkan. Pagi ke sekolah, sore ikut kakek ke kebun buat memberi makan sapi. Selebihnya full main, kadang nonton hp. Masyaallah.
Kemarin sore kami bertemu. Saya sedih, dia tak antusias memeluk saya. Padahal Bapaknya dapat pelukan hangat. Huhuhu air mata saya menetes. Suami melihat hal itu, doi ambil alih mengayun Khalid si adek. Dibiarkan saya menemani Khalil bermain, membuat rumah rumah dari selimut, di atas ranjang.
"Mamak, rinduki sama saya?" Celetuk Khalil.
Ya Allah, air mata saya tumpah.
"Iye, Nak. Mamak sangat rindu!" Ucap saya sambil memeluknya.
"Tapi saya mau ke kampung lagi." Ucapnya.
"Bagaimana kalau mamak rindu, Nak?" Tanyaku masih memeluknya.
"Mmm... Nanti Mamak juga ikut ke kampung, sama Bapak, sama adek." Ucapnya dengan mata berbinar-binar.
Saya mengangguk lalu memeluknya lagi. Ah, Nak, sehat sehat ya sayang. Mamak sayang Khalil.