http://khalilpuisidasarjiwa.blogspot.com/ |
#Putus?
Kami
duduk berdua atas kayu yang sama sore ini.
Kayu jati yang halus sedemikian
rupa. Yang ditutupi kain batik, yang
didominasi warna biru tua. Aku putih dan
dia hitam. Aku yang berambisi, sedang dia dalam ketenangan yang membuatku iri.
Aku
menatap langit-langit kamar, sesaat. Menarik nafas dalam-dalam. Oke, aku harus
mengambil keputusan.
“Aku
ingin kita putus!” ucapku tegas.
“Semudah
itu? Bukankah kita bersama sekian lama? Bukan hanya menghitung hari, bulan dan
setahun dua tahun, tapi puluhan tahun,” ucapnya. Kilatan hitam tercipta di matanya.
“Tapi
aku ingin menyudahinya!” lagi-lagi aku mengulang kalimat itu.
“Beri
aku alasan yang bisa membuatku mengerti!”
Permintaannya
begitu sulit. Bagaimana tak kusudahi jika dia bahkan tak tahu letak kemarahanku
padanya?
“Kenapa?
Kau tidak menemukannya bukan?” pertanyaannya mengalir begitu saja.
“Baik,
akan aku katakan. Kau tidak tahu cara mencintaiku, sebagaimana aku dan caraku
mencintamu. Kau mudah mengatakan rasa suka dengan cara mudah yang paling aku
tak suka. Kau tak menyentuh keningku dengan kalimat-kalimat halus saat aku
demam kata. Kau juga tidak tahu membangunkanku dengan lembut di pagi hari,
dengan kata-kata yang dulu kau tunjukkan di awal perjumpaan kita. Pun saat aku
senang, atau kau senang, kau memilih tersenyum manis saja. Tak ada goresan
berarti di sini, untukku!” ucapku. Dadaku sesak mengucapkan ini.
Dia
diam. Berpikir sejenank, atau kata-kataku terlalu pedis untuk ia rasa?
“Jadi
... aku terlalu rendahkah?” tanyanya.
Aku
diam. Bungkam. Dia tak mengerti.
“Terlalu
bodohkah?” lanjutnya.
Tidak!
Bukan itu maksudku.
“Lalu
apa? Caraku salah? Apa aku harus bagaimana?” ia memberondong kata tanya yang
tak bisa kujawab satu persatu.
“Harusnya
kau tahu,” bisikku. Melunak sedikit bukan berarti aku kalah.
“Tahu
apa? Selama ini kau diam, sesekali mengangguk, tak ada yang benar-benar pasti
keluar dari hatimu. Mana bisa aku masuk dan mencari tahu?” lagi dan lagi,
untaian tanya yang memburu.
“Dan
kau tak berusaha, iya kan?” tanyaku.
Dia
diam. Ketenangan yang selama ini ia jaga lenyap begitu saja. Sesak pada
wajahnya nampak jelas.
Bukan
salahku kan jika menuntut. Hampir sebulan aku terpaku hanya pada langit-langit
kamar. Tak ada sentuhan seperti awal-awal perjumpaan kami. Tak ada goresan kata
di malam kelam. Bahakan saat membangunkanku, membuka pintu, jendela, sampulku
... ia hanya berkata, “Bangunlah, Sayang.” Lalu pergi menikmati dunia luar.
Aku?
Ditinggal sendiri. Penghias kamar semata.
“Maafkan
aku ...” gumamnya. Keheningan pecah sejenak.
“Lalu?”
“Terserah
padamu!”
Kutarik
nafas dalam-dalam.
“Boleh
aku bicara?”
“Silahkan
...”
“Jangan
biarkan aku kosong. Jangan biarkan cintaku lapuk begitu saja. Kau tahu, aku
menua setiap hari. Aku kusam dan hanya mendengar kau mengungkapkan cinta lewat
kata. Kau tak tahu, tinta dalam dirimu, yang harusnya kau pakai pun bisa beku. Jika
itu terjadi, kita hanya akan berakhir sia-sia. Tak menyisakan kisah abadi!”
Dan
bisakah kau berubah? Hatiku merintih.
“Aku
ingin mencobanya,” ucapmu akhirnya.
“Bukan
mencoba!”
“Aku
ingin melakukannya, asal tak kau sudahi rasa dan kebersamaan selama ini. aku
ingin ...”
Air
mataku jatuh satu-satu.
“Temani
aku berkisah sepanjang waktu,” ucapku haru.
“Tentu.
Dan tulisku ...”
Dia
mendekat. Satu, dua, lalu tiga tarikan kata.
Aku
ternoda. Noda yang begitu kurindukan.
Aku mencintamu selamanya.
Senja
menari bersama warna keemasan. Ada aku yang tersenyum, ada dia yang bahagia,
ada sepasan jemari, di samping kami sedang berdiskusi juga. Menekan keyboard untuk kisah mereka.
Sedang
aku dan dia pun mulai berkisah lagi.
menyentuh.. hanya ada beberapa salah ketik., :D
BalasHapusHehehe, ia Layung Kemunng masih sering typo sana sini :) makasih sudah mampir.
Hapus