Selasa, 13 Mei 2014

Latihan Menulis:4


http://khalilpuisidasarjiwa.blogspot.com/

#Putus?
Kami duduk berdua atas kayu yang sama sore ini. Kayu jati yang halus sedemikian rupa. Yang ditutupi kain batik, yang didominasi warna biru tua. Aku putih dan dia hitam. Aku yang berambisi, sedang dia dalam ketenangan yang membuatku iri.
Aku menatap langit-langit kamar, sesaat. Menarik nafas dalam-dalam. Oke, aku harus mengambil keputusan.
“Aku ingin kita putus!” ucapku tegas.
“Semudah itu? Bukankah kita bersama sekian lama? Bukan hanya menghitung hari, bulan dan setahun dua tahun, tapi puluhan tahun,” ucapnya. Kilatan hitam tercipta di matanya.
“Tapi aku ingin menyudahinya!” lagi-lagi aku mengulang kalimat itu.
“Beri aku alasan yang bisa membuatku mengerti!”
Permintaannya begitu sulit. Bagaimana tak kusudahi jika dia bahkan tak tahu letak kemarahanku padanya?
“Kenapa? Kau tidak menemukannya bukan?” pertanyaannya mengalir begitu saja.
“Baik, akan aku katakan. Kau tidak tahu cara mencintaiku, sebagaimana aku dan caraku mencintamu. Kau mudah mengatakan rasa suka dengan cara mudah yang paling aku tak suka. Kau tak menyentuh keningku dengan kalimat-kalimat halus saat aku demam kata. Kau juga tidak tahu membangunkanku dengan lembut di pagi hari, dengan kata-kata yang dulu kau tunjukkan di awal perjumpaan kita. Pun saat aku senang, atau kau senang, kau memilih tersenyum manis saja. Tak ada goresan berarti di sini, untukku!” ucapku. Dadaku sesak mengucapkan ini.
Dia diam. Berpikir sejenank, atau kata-kataku terlalu pedis untuk ia rasa?
“Jadi ... aku terlalu rendahkah?” tanyanya.
Aku diam. Bungkam. Dia tak mengerti.
“Terlalu bodohkah?” lanjutnya.
Tidak! Bukan itu maksudku.
“Lalu apa? Caraku salah? Apa aku harus bagaimana?” ia memberondong kata tanya yang tak bisa kujawab satu persatu.
“Harusnya kau tahu,” bisikku. Melunak sedikit bukan berarti aku kalah.
“Tahu apa? Selama ini kau diam, sesekali mengangguk, tak ada yang benar-benar pasti keluar dari hatimu. Mana bisa aku masuk dan mencari tahu?” lagi dan lagi, untaian tanya yang memburu.
“Dan kau tak berusaha, iya kan?” tanyaku.
Dia diam. Ketenangan yang selama ini ia jaga lenyap begitu saja. Sesak pada wajahnya nampak jelas.
Bukan salahku kan jika menuntut. Hampir sebulan aku terpaku hanya pada langit-langit kamar. Tak ada sentuhan seperti awal-awal perjumpaan kami. Tak ada goresan kata di malam kelam. Bahakan saat membangunkanku, membuka pintu, jendela, sampulku ... ia hanya berkata, “Bangunlah, Sayang.” Lalu pergi menikmati dunia luar.
Aku? Ditinggal sendiri. Penghias kamar semata.
“Maafkan aku ...” gumamnya. Keheningan pecah sejenak.
“Lalu?”
“Terserah padamu!”
Kutarik nafas dalam-dalam.
“Boleh aku bicara?”
“Silahkan ...”
“Jangan biarkan aku kosong. Jangan biarkan cintaku lapuk begitu saja. Kau tahu, aku menua setiap hari. Aku kusam dan hanya mendengar kau mengungkapkan cinta lewat kata. Kau tak tahu, tinta dalam dirimu, yang harusnya kau pakai pun bisa beku. Jika itu terjadi, kita hanya akan berakhir sia-sia. Tak menyisakan kisah abadi!”
Dan bisakah kau berubah? Hatiku merintih.
“Aku ingin mencobanya,” ucapmu akhirnya.
“Bukan mencoba!”
“Aku ingin melakukannya, asal tak kau sudahi rasa dan kebersamaan selama ini. aku ingin ...”
Air mataku jatuh satu-satu.
“Temani aku berkisah sepanjang waktu,” ucapku haru.
“Tentu. Dan tulisku ...”
Dia mendekat. Satu, dua, lalu tiga tarikan kata.
Aku ternoda. Noda yang begitu kurindukan.
Aku mencintamu selamanya.
Senja menari bersama warna keemasan. Ada aku yang tersenyum, ada dia yang bahagia, ada sepasan jemari, di samping kami sedang berdiskusi juga. Menekan keyboard untuk kisah mereka.
Sedang aku dan dia pun mulai berkisah lagi.



2 komentar:

  1. menyentuh.. hanya ada beberapa salah ketik., :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, ia Layung Kemunng masih sering typo sana sini :) makasih sudah mampir.

      Hapus

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)