Minggu, 01 September 2013

Jawaban yang Terlambat


Untukmu semata, Dara.
Di sini malam kembali menyiksaku dengan hembusan angin bagai belati. Tak hanya itu di langit tampak pula bulan sabit yang memancarkan cahaya bisunya. Kau tahu, aku benar-benar membenci malam ini karenamu. Aku tidak suka malam dengan hiasan bintang-bintang sebab mereka mengingatkanku padamu. Dan juga karena bayanganmu tak kunjung muncul dari ujung jalan itu.
Bulan sabit. Aku ingat kau pernah bilang ingin duduk di sana bersamaku. Saat itu dengan mesra kau katakan bulan sabit akan selalu jadi perekat hubungan kita karena di bawah cahayanya kau menerima cintaku. Aku tak peduli yang kau katakan saat itu, aku malah sibuk dengan debaran di dadaku. Tak bisa kukendalikan rasa bahagia yang menjalar ke seluruh tubuhku
Lalu saat matamu menyapu wajah gugupku, aku tercengang dari mana kecantikan itu kau peroleh? Bagai sihir kedua mataku tak lagi berkedip, aku hanya mampu diam dan menatapmu dalam kebisuan. Ya! Tanpa kata hanya kau yang bernyanyi lembut membuat rasa cintaku semakin menggila. Aku semakin terperangkap olehmu, dan kita masih berada di bawa cahaya bulan sabit.
Bintang. Katamu bulan akan sepi tanpanya, seperti kau yang akan sepi tanpa kehadiranku. Itu yang kau katakan membuat perasaanku hampir meledak karena senang. Kau sunggu pandai merangkai kata, membuat kagumku semakin memuncak padamu, Dara.
Alangkah indah tiap kalimat yang keluar dari bibir mungilmu. Selalu mempesona. Tapi ... hanya saat itu saja, Dara. Mengapa?
Dariku, Jaka yang membenci bulan sabit dan bintang.
***
 “Hei!” suara Novi mengagetkanku. Secepat kilat kusimpan kertas usang yang sejak tadi aku baca.
“Kebiasaan, bikin kaget saja,” ucapku.
“Ra, kamu habis nagis ya? Ada masalah?” tanya sahabatku itu.
“Ngga kok.”
“Tapi matamu,”
“Ngga apa-apa, kelilipan tadi.” Novi tak menanggapi lagi.
Aku tahu sedang berbohong lagi. Dan untuk kesekian kalinya aku berbohong pada orang-orang dekatku. Aku memang menangis, bahkan sudah sangat sering. Dan semuanya karena Jaka. Laki-laki yang tulus mencintaku.
Setelah sekian lama berpisah darinya, tiba-tiba saja sepucuk surat yang entah dikirim oleh siapa menghampiriku. Jelas Jaka yang menulisnya tapi tak mungkin dia yang mengirimnya. Surat yang kuterima seminggu yang lalu itu meruntuhkan ketegaranku selama ini. Ketegaranku menyembunyikan perasaanku sendiri. Hatiku tercabik-cabik membacanya, Jaka yang kutinggalkan tanpa penjelasan padahal hubungan kami tak pernah ada masalah sebelumnya. Hingga tiga tahun berlalu, dan tak sekalipun aku berusaha mengiriminya kabar. Sekuat tenaga kutahan perasaan rinduku, berharap ia tak merasakan hal yang sama. Lalu surat itu meruntuhkan semuanya, ia ternyata sama denganku ... ia masih terus menungguku bahkan hingga akhir hayatnya.
Ya! Jaka telah meninggalkanku. Ia membalas perlakuanku padanya dulu. Jaka membalasku lebih dari yang kulakukan padanya. Dia pergi selamanya. Dia ... dia tak akan pernah kembal lagi.
Epilog
Aku harus pergi, Sayang.
Maafkan keegoisanku ini, aku pergi demi dirimu. Aku akan kembali setelah membunuh cinta tak pantas darinya. Aku pergi untuk mengembalikan benih yang ia tanam dalam rahimku. Maka tunggu aku. Tunggu aku, kumohon!
Dara.
Surat singkat itu tak pernah tersampaikan, hanya terselip rapi dalam buku diary milik Dara. Surat yang seharusnya menjawab pertanyaan Jaka. Tanya yang dibawa Jaka hingga ia pergi untuk selamanya.

2 komentar:

  1. Wah, cerminnya pake nama aku. *Geer*.
    Ini kayanya kunjungan pertama saya, pertamax, Gan. Hehe.

    Mbak, itu gambar cowok ganteng maksudnya apa ya? Kayanya kurang nyambung dg judul atau pun cerita. (mohon maaf sebelumnya, smoga berkenan dg komentar saya) ^^

    Tetap semangat & salam kenal, Mak

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mak Dara sudah mampir heheh (atau Jakanya yah). Gambar emang pemanis, anggaplah si cowoknya yang telah tiada (stttt ngeles, sumpah cuman ngefans sama do i) tuwing***

      makasih yah mak, sekali lagi. salam kenal juga, semangka juga!

      Hapus

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)