Untukmu semata,
Dara.
Di
sini malam kembali menyiksaku dengan hembusan angin bagai belati. Tak hanya itu
di langit tampak pula bulan sabit yang memancarkan cahaya bisunya. Kau tahu,
aku benar-benar membenci malam ini karenamu. Aku tidak suka malam dengan hiasan
bintang-bintang sebab mereka mengingatkanku padamu. Dan juga karena bayanganmu
tak kunjung muncul dari ujung jalan itu.
Bulan
sabit. Aku ingat kau pernah bilang ingin duduk di sana bersamaku. Saat itu
dengan mesra kau katakan bulan sabit akan selalu jadi perekat hubungan kita
karena di bawah cahayanya kau menerima cintaku. Aku tak peduli yang kau katakan
saat itu, aku malah sibuk dengan debaran di dadaku. Tak bisa kukendalikan rasa
bahagia yang menjalar ke seluruh tubuhku
Lalu
saat matamu menyapu wajah gugupku, aku tercengang dari mana kecantikan itu kau
peroleh? Bagai sihir kedua mataku tak lagi berkedip, aku hanya mampu diam dan
menatapmu dalam kebisuan. Ya! Tanpa kata hanya kau yang bernyanyi lembut
membuat rasa cintaku semakin menggila. Aku semakin terperangkap olehmu, dan
kita masih berada di bawa cahaya bulan sabit.
Bintang.
Katamu bulan akan sepi tanpanya, seperti kau yang akan sepi tanpa kehadiranku.
Itu yang kau katakan membuat perasaanku hampir meledak karena senang. Kau
sunggu pandai merangkai kata, membuat kagumku semakin memuncak padamu, Dara.
Alangkah
indah tiap kalimat yang keluar dari bibir mungilmu. Selalu mempesona. Tapi ...
hanya saat itu saja, Dara. Mengapa?
Dariku,
Jaka yang membenci bulan sabit dan bintang.
***
“Hei!” suara Novi mengagetkanku. Secepat kilat
kusimpan kertas usang yang sejak tadi aku baca.
“Kebiasaan, bikin kaget saja,” ucapku.
“Ra, kamu habis nagis ya? Ada masalah?”
tanya sahabatku itu.
“Ngga kok.”
“Tapi matamu,”
“Ngga apa-apa, kelilipan tadi.” Novi tak
menanggapi lagi.
Aku tahu sedang berbohong lagi. Dan
untuk kesekian kalinya aku berbohong pada orang-orang dekatku. Aku memang
menangis, bahkan sudah sangat sering. Dan semuanya karena Jaka. Laki-laki yang
tulus mencintaku.
Setelah sekian lama berpisah darinya,
tiba-tiba saja sepucuk surat yang entah dikirim oleh siapa menghampiriku. Jelas
Jaka yang menulisnya tapi tak mungkin dia yang mengirimnya. Surat yang kuterima
seminggu yang lalu itu meruntuhkan ketegaranku selama ini. Ketegaranku menyembunyikan
perasaanku sendiri. Hatiku tercabik-cabik membacanya, Jaka yang kutinggalkan
tanpa penjelasan padahal hubungan kami tak pernah ada masalah sebelumnya.
Hingga tiga tahun berlalu, dan tak sekalipun aku berusaha mengiriminya kabar.
Sekuat tenaga kutahan perasaan rinduku, berharap ia tak merasakan hal yang
sama. Lalu surat itu meruntuhkan semuanya, ia ternyata sama denganku ... ia
masih terus menungguku bahkan hingga akhir hayatnya.
Ya! Jaka telah meninggalkanku. Ia
membalas perlakuanku padanya dulu. Jaka membalasku lebih dari yang kulakukan
padanya. Dia pergi selamanya. Dia ... dia tak akan pernah kembal lagi.
Epilog
Aku
harus pergi, Sayang.
Maafkan
keegoisanku ini, aku pergi demi dirimu. Aku akan kembali setelah membunuh cinta
tak pantas darinya. Aku pergi untuk mengembalikan benih yang ia tanam dalam
rahimku. Maka tunggu aku. Tunggu aku, kumohon!
Dara.
Surat singkat itu tak pernah
tersampaikan, hanya terselip rapi dalam buku diary milik Dara. Surat yang
seharusnya menjawab pertanyaan Jaka. Tanya yang dibawa Jaka hingga ia pergi
untuk selamanya.
Wah, cerminnya pake nama aku. *Geer*.
BalasHapusIni kayanya kunjungan pertama saya, pertamax, Gan. Hehe.
Mbak, itu gambar cowok ganteng maksudnya apa ya? Kayanya kurang nyambung dg judul atau pun cerita. (mohon maaf sebelumnya, smoga berkenan dg komentar saya) ^^
Tetap semangat & salam kenal, Mak
makasih mak Dara sudah mampir heheh (atau Jakanya yah). Gambar emang pemanis, anggaplah si cowoknya yang telah tiada (stttt ngeles, sumpah cuman ngefans sama do i) tuwing***
Hapusmakasih yah mak, sekali lagi. salam kenal juga, semangka juga!