Jumat, 12 April 2013

Memang Berbeda, Namun Saling Menutupi

“Jika dulu senyuman tercipta tanpa harus ada apa-apa, maka sekarang harus ada apa-apa dulu sebelum tersenyum.”
Aku masih tak berpunya. Masih meminta pada dua bidadari tak bersayap. Makanya, kalau ditanya punya rumah apa tidak maka jawabannya sudah pastilah tak ada. Saya saja sekarang numpang kok di rumah keluarga. Hitung-hitung ngurangin biaya hidup di Makassar. Tempatku saat ini menimba ilmu.
Tentang rumah orang tua, rumah panggung yang perlahan ditambahi. Dulunya sangat kecil, beralaskan bambu yang telah diracik sedemikian rupa hingga menjadi alas rumah kami. Namun saat ini, masa sulit itu mulai jadi kenangan semata. Rumah yang dulunya hanya memiliki dua kamar kecil sekarang sudah punya tiga kamar lengkap dengan ruang dapur, ruang tamu, ruang salat, dan kamar mandi. Tapi ... masih dalam balutan rumah panggung. Sederhana namun bersahaja.
Berbeda halnya dengan rumah yang aku tempati saat ini. Rumah milik keluarga jauh yang lumayan berada. Jika rumah orang tuaku di kampung adalah rumah panggung makan di sini, di Kota Daeng rumah dimana aku tinggal adalah rumah bertingkat. Dengan segala fasilitas di dalamnya. Tak perlu kusebutkan sebab sejatinya itu bukan milikku.
Setelah selesai dengan dua rumah yang berbeda jauh. Maka kini mari kita tengok sekitar rumah tersebut. Rumah orang tuaku di kampung yang letaknya di salah satu desa di kabupaten Enrekang tersebut berada di pinggir jalan. Di samping kanan rumah terdapat kebun milik keluarga juga. Begitu pula di belakang rumah, masih terdapat kebun milik tetangga. Dan samping kirinya adalah pekarangan rumah kami.
Masih di area depan rumah, setelah jalanan umum di depannya pula ada rumah nenekku. Rumah tua yang hanya sesekali ditinggali ibu dari bapakku. Bukan tak ingin, malah nenekku selalu ke rumahnya tersebut. Tapi karena kini beliau telah menjanda, tak ada lagi yang menemaninya tinggal di rumah tersebut. Juga karena sudah tua, alangkah lebbih bagus jika beliau tinggal dengan salah satu anaknya (bapakku).
Di samping kanan rumah nenekku juga masih rumah keluarga. Tak jauh berbeda dengan rumah yang letaknya setelah kebun di belakang rumah kami. Masih keluarga juga. Sehingga kalau dihitung-hitung orang-orang yang dekat tempat tinggalnya dengan rumah kami di kampung ya masih keluarga juga dengan kami. Tak heran jika di antara sang pemilik rumah membuat makanan (lauk, kue-kue dll) tetangga yang lain masih ketiban bau dan enaknya. Karena memang masih keuarga dan memang kekeluargaannya masih dapat.
Lain tempat, lain pula kisah yang diciptakannya. Kalau di sini, tempat dimana aku tinggal sekarang malah dikelilingi dengan rumah-rumah yang menjulang tinggi seperti ingin bersaing mencapai langit. Dan ... jika di kampungku kita akan bertegur sapa dengan mudah, saling berbagi makanan-makanan enak di sini hal semacam itu enggan terlihat. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Aku bahkan tidak tahu pasti berapa penghuni rumah sebelah kiri dan kanan. Begitu pula dengan tetangga depan rumah. Apa lagi tetangga belakang rumah yang memang tak pernah terlihat.
Sepertinya di kota-kota besar memang sudah sangat sulit tuk saling menyapa jika tak ada keperluan tertentu. Bahkan jika ada keperluan pun nyatanya enggan masih duluan terasa. Mungkin pupuk persaudaraan telah habis. Yang ada kesibukan meraja, peduli terkikis, peka ikutan musnah.
Mungkin bukan perbandingan yang pas. Antara tinggal di kota dan di desa memiliki kelebihan dan kekurangan. Tak mungkin terus menerus terkurung di kampung. Tapi tak perlu pula mengikuti kebiasaan buruk orang kota. Setidaknya kedua hal tersebut bisa saling dilengkapi kekurangannya. Diambil kebaikan darinya.

*Postingan ini diikutkan dalam #8MingguNgeblog Anging Mammiri




4 komentar:

  1. Yah begitulah di kota besar ...
    Kalo di tempatku setengah kampung setengah kota jadi masih ada saling menyapa tapi tidak semua tetangga baku kenal. Lucu ya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... mba Niar mampir toh. Di kampungku masih pedesaan banget. Sekelilingnya pun hanya gunung saja. Kalau bukan seisi kampung yang saling nyapa siapa lagi.

      Hapus
  2. Pernah dua kali ke Enrekang..., di kota tapiii. mantan suami juga orang Enrekang... :).

    BalasHapus
    Balasan
    1. enrekang mana kak? karena saya di enrekangja 6 tahun heheh mondok tapi :)

      Hapus

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)