“Jika dulu senyuman tercipta tanpa harus
ada apa-apa, maka sekarang harus ada apa-apa dulu sebelum tersenyum.”
Aku masih tak berpunya. Masih meminta
pada dua bidadari tak bersayap. Makanya, kalau ditanya punya rumah apa tidak
maka jawabannya sudah pastilah tak ada. Saya saja sekarang numpang kok di rumah
keluarga. Hitung-hitung ngurangin biaya hidup di Makassar. Tempatku saat ini
menimba ilmu.
Tentang rumah orang tua, rumah panggung
yang perlahan ditambahi. Dulunya sangat kecil, beralaskan bambu yang telah
diracik sedemikian rupa hingga menjadi alas rumah kami. Namun saat ini, masa
sulit itu mulai jadi kenangan semata. Rumah yang dulunya hanya memiliki dua
kamar kecil sekarang sudah punya tiga kamar lengkap dengan ruang dapur, ruang
tamu, ruang salat, dan kamar mandi. Tapi ... masih dalam balutan rumah
panggung. Sederhana namun bersahaja.
Berbeda halnya dengan rumah yang aku
tempati saat ini. Rumah milik keluarga jauh yang lumayan berada. Jika rumah
orang tuaku di kampung adalah rumah panggung makan di sini, di Kota Daeng rumah
dimana aku tinggal adalah rumah bertingkat. Dengan segala fasilitas di
dalamnya. Tak perlu kusebutkan sebab sejatinya itu bukan milikku.
Setelah selesai dengan dua rumah yang
berbeda jauh. Maka kini mari kita tengok sekitar rumah tersebut. Rumah orang
tuaku di kampung yang letaknya di salah satu desa di kabupaten Enrekang
tersebut berada di pinggir jalan. Di samping kanan rumah terdapat kebun milik
keluarga juga. Begitu pula di belakang rumah, masih terdapat kebun milik
tetangga. Dan samping kirinya adalah pekarangan rumah kami.
Masih di area depan rumah, setelah
jalanan umum di depannya pula ada rumah nenekku. Rumah tua yang hanya sesekali
ditinggali ibu dari bapakku. Bukan tak ingin, malah nenekku selalu ke rumahnya
tersebut. Tapi karena kini beliau telah menjanda, tak ada lagi yang menemaninya
tinggal di rumah tersebut. Juga karena sudah tua, alangkah lebbih bagus jika
beliau tinggal dengan salah satu anaknya (bapakku).
Di samping kanan rumah nenekku juga
masih rumah keluarga. Tak jauh berbeda dengan rumah yang letaknya setelah kebun
di belakang rumah kami. Masih keluarga juga. Sehingga kalau dihitung-hitung
orang-orang yang dekat tempat tinggalnya dengan rumah kami di kampung ya masih
keluarga juga dengan kami. Tak heran jika di antara sang pemilik rumah membuat
makanan (lauk, kue-kue dll) tetangga yang lain masih ketiban bau dan enaknya.
Karena memang masih keuarga dan memang kekeluargaannya masih dapat.
Lain tempat, lain pula kisah yang
diciptakannya. Kalau di sini, tempat dimana aku tinggal sekarang malah
dikelilingi dengan rumah-rumah yang menjulang tinggi seperti ingin bersaing
mencapai langit. Dan ... jika di kampungku kita akan bertegur sapa dengan
mudah, saling berbagi makanan-makanan enak di sini hal semacam itu enggan
terlihat. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Aku bahkan tidak tahu
pasti berapa penghuni rumah sebelah kiri dan kanan. Begitu pula dengan tetangga
depan rumah. Apa lagi tetangga belakang rumah yang memang tak pernah terlihat.
Sepertinya di kota-kota besar memang
sudah sangat sulit tuk saling menyapa jika tak ada keperluan tertentu. Bahkan
jika ada keperluan pun nyatanya enggan masih duluan terasa. Mungkin pupuk
persaudaraan telah habis. Yang ada kesibukan meraja, peduli terkikis, peka
ikutan musnah.
Mungkin bukan perbandingan yang pas.
Antara tinggal di kota dan di desa memiliki kelebihan dan kekurangan. Tak
mungkin terus menerus terkurung di kampung. Tapi tak perlu pula mengikuti
kebiasaan buruk orang kota. Setidaknya kedua hal tersebut bisa saling
dilengkapi kekurangannya. Diambil kebaikan darinya.
*Postingan ini diikutkan dalam #8MingguNgeblog
Anging Mammiri
Yah begitulah di kota besar ...
BalasHapusKalo di tempatku setengah kampung setengah kota jadi masih ada saling menyapa tapi tidak semua tetangga baku kenal. Lucu ya :D
Hehehe... mba Niar mampir toh. Di kampungku masih pedesaan banget. Sekelilingnya pun hanya gunung saja. Kalau bukan seisi kampung yang saling nyapa siapa lagi.
HapusPernah dua kali ke Enrekang..., di kota tapiii. mantan suami juga orang Enrekang... :).
BalasHapusenrekang mana kak? karena saya di enrekangja 6 tahun heheh mondok tapi :)
Hapus