Senin, 24 September 2012

Lala Sedang Jatuh Cinta


Aku melihatnya di antara kerumunan orang-orang yang tengah berjalan. Tidak seperti yang lainnya, ia terlihat berjalan cepat. Dari jauh aku hanya memperhatikan gerak geriknya tuk yang pertama kali. Tak kusangka di situlah awal virus merah muda menghampiriku.
Pertemuanku selanjutnya dengan dia adalah sangat tidak terduga. Kala itu aku tengah serius dengan buku yang ada di hadapanku. Perpustakaan yang lumayan luas ini tengah dipenuhi mahasiswa yang datang untuk mencari bahan tugas mereka atau sekedar buat baca saja, seperti aku saat itu. Dan dia kembali hadir, kali ini tepat di hadapanku. Beberapa buku ia letakkan di atas meja. Lalu perlahan ia mulai serius dengan bacaannya. Awalnya aku pun seserius itu, tapi saat ia datang aku berubah gugup. Dia mengalihkan duniaku.
Mataku mulai menari-nari. Mencuri pandang pada tiap kesempatan yang ada. Hingga untuk kedua kalinya aku kembali terpaku.
“Ada yang aneh di wajahku?” tanyanya tiba-tiba.
Degh ... sangat terasa hantaman keras dalam dadaku. Ternyata dia tahu. Ah, malu! Harus kemanakan wajah merahku sekarang? Tak mungkin aku sembunyikan di bawah kolom mejakan? Detik dan menit selanjutnya aku hanya mampu diam, menahan gejolak dalam dadaku. Sungguh! Aku sangat malu.
Aku kembali berusaha konsentrasi pada buku bacaan di hadapanku. Membaca kata demi kata, kalimat, paragraf, membuka halaman demi halaman.
“Ssst, apa buku itu bagus?” tanya lagi darinya. Kedua matanya kini menatapku.
Harus aku jawab apa? Haruskah kukatakan bagus padahal aku sama sekali tak tahu isinya apa. Hanya membaca saja untuk menutupi kegugupanku. Sedang aku tak rela pergi dari tempat ini. Bagaimana kalau dia bertanya lagi apa isi buku ini setelah aku katakan bagus? Harus aku jawab apa? Akhirnya kuputuskan untuk mengangguk saja. Semoga cukup untuk menjawab pertanyaannya. Dan membuat tatapan matanya beralih dari wajah bodohku.
“Bagaimana isinya?”
Tuh kan ... kehawatiranku terbukti sudah. Tak ada kalimat yang aku ucapkan, hanya saja aku meletakkan jari telunjukku di depan bibir. Menyuruhnya untuk diam. Selain takut mengganggu pengunjung lain, tentu saja aku sedang menghindar. Benar saja! ia pun diam. Aku tak tahan lagi, wajahku mungkin akan terus menerus merah kalu tetap berada di hadapannya. Aku pulang saja!
&&&
Untuk kesekian kalinya aku melihatnya. Faktanya dia orang yang hebat, sudah kelar kuliah dan kini menjadi asisten dosen. Dengar-dengar dia juga punya usaha sendiri. Setelah tahu semua itu, nyaliku jadi ciut dibuatnya. Orang seperti dia tak layak disandingkan dengan putri buruk rupa sepertiku. Untuk kesekian kalinya aku kalah sebelum berperang.
Dani, begitulah ia disapa. Belakangan aku tahu kalau kalau sahabatku, Hera juga diajari olehnya. Tahu akan hal itu membuatku tak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya tentangnya.
Aku benar-benar terperangkap kini. Walau tahu aku bukan siapa-siapa dibanding dia, tapi hasrat hati untuk tetap mencari keberadaannya tak bisa ditahan lagi. berkali-kali aku rela duduk di depan kelas sebelum masuk untuk menunggu, kali saja dia lewat. Atau pergi ke perpustakaan dengan tujuan mungkin aku akan kembali berpapasan dengannya. Hanya melihatnya, sungguh!
Ternyata tak ada hasil. Ia tak pernah muncul lagi. Bahkan untuk sekedar lewat saja. lantas harus kubuang kemana rasa rindu yang sudah mendarah daging ini? Apakah aku kirim saja lewat sepucuk surat merah jambu untuknya? Mustahil!
Cinta oh cinta, haruskah kau menghampiri dengan cara sepihak?
Bukankah ini terlalu menyiksa dan hanya sepihak?
Lantas, haruskah aku menunggu sepihak?
&&&
Aku terlambat bangun. Gara-gara memikirkan dia, ah ... sudahlah! Tak penting lagi, cinta sepihak membuatku lelah. Semalaman menghabiskan waktu menatap langit dari balik jendela kamarku membuatku sedikit tersadar, aku tidak mungkin bisa.
Aku berjalan cepat ke kelas, mungkin sudah sangat terlambat. Tak apalah ini yang pertama kalinya. Pintu sudah kelas sudah tertutup rapat. Benar-benar telat untuk kali ini.
Tok tok tok ...
“Masuk!” perintah orang di dalam sana, yang aku yakini adalah dosen.
“Assalamualaikum ... “ ucapku sambil mendorong pintu.
“Waalaikumsalam ... “ jawab penghuni kelas juga dosen yang tengah duduk di depan kelas.
Tidak!!! Dia?!?
Permainan gendang dalam dadaku kembali dimulai bahkan lebih cepat dari biasanya. Dani, maksudku Pak Dani ada di sana. Duduk dengan tenangnya. Dengan mata terarah padaku. Uhk ... tatapan mata itu lagi.
“Kenapa? Apa kamu hanya akan berdiri di situ?” tanyanya. Andai bisa aku malah ingin duduk di samping bapak. Bisik hatiku.
Pembahasan berlanjut. Aku? Seperti saat di perpustakaan, menikmati wajahnya dengan mataku. Tak ada ngantuk sedikit pun. Hingga mata kuliah yang ia berikan usai, aku hanya mampu menatapnta tanpa menulis apa yang ia jelaskan. Sekali lagi aku terbius dan kembali membatalkan niatku untuk melupakannya.
&&&
“Kenapa datang terlambat, La?” Nana teman sebangkuku bertanya setelah Pak Dani pergi.
“Biasa ... kesiangan.”
“Tapi ... kenapa Pak Dani yang masuk?” tanyaku.
“Buat gantiin Pak Mahmud yang lagi sakit,” jawabnya. Mendengar kalimat terakhir Nana, hatiku jadi hangat dan bersumpah ngga bakal terlambat lagi.
Aku kembali ke tempat dudukku, demi melanjutkan hayalan gilaku tentang Pak Dani. Kejadian di perpustakaan pun kembali terbayang olehku.
“Sayang dia udah nikah. Kalau belum aku bakalan jadiin target berikutnya.” Suara centil Gina jelas menggangguku. Kebiasaan anak itu adalah mengoleksi pacar. Itu juga sebabnya aku membencinya. Bukan hanya kelaukannya yang jelek, tapi lebih dari itu setiap tatapan laki-laki hanya tertuju padanya. Terus, kapan orang seperti aku bisa dapat pendamping hidup?
“Pak Dani terlalu jauh buat kau dapatkan, Gin! Lagian cewek kayak kamu bukan tipe idamannya. Tapi yang nutup aurat kayak si Nisa.”
Apa?! Jadi yang mereka bicarakan adalah Pak Dani. Pak Dani, Pak Dani ... hah!! Menikah?!
Pikiranku tiba-tiba kosong ...


2 komentar:

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)