Aku melihatnya
di antara kerumunan orang-orang yang tengah berjalan. Tidak seperti yang
lainnya, ia terlihat berjalan cepat. Dari jauh aku hanya memperhatikan gerak
geriknya tuk yang pertama kali. Tak kusangka di situlah awal virus merah muda
menghampiriku.
Pertemuanku
selanjutnya dengan dia adalah sangat tidak terduga. Kala itu aku tengah serius
dengan buku yang ada di hadapanku. Perpustakaan yang lumayan luas ini tengah
dipenuhi mahasiswa yang datang untuk mencari bahan tugas mereka atau sekedar buat
baca saja, seperti aku saat itu. Dan dia kembali hadir, kali ini tepat di
hadapanku. Beberapa buku ia letakkan di atas meja. Lalu perlahan ia mulai
serius dengan bacaannya. Awalnya aku pun seserius itu, tapi saat ia datang aku
berubah gugup. Dia mengalihkan duniaku.
Mataku mulai
menari-nari. Mencuri pandang pada tiap kesempatan yang ada. Hingga untuk kedua
kalinya aku kembali terpaku.
“Ada yang
aneh di wajahku?” tanyanya tiba-tiba.
Degh ...
sangat terasa hantaman keras dalam dadaku. Ternyata dia tahu. Ah, malu! Harus kemanakan
wajah merahku sekarang? Tak mungkin aku sembunyikan di bawah kolom mejakan? Detik
dan menit selanjutnya aku hanya mampu diam, menahan gejolak dalam dadaku. Sungguh!
Aku sangat malu.
Aku kembali
berusaha konsentrasi pada buku bacaan di hadapanku. Membaca kata demi kata,
kalimat, paragraf, membuka halaman demi halaman.
“Ssst, apa
buku itu bagus?” tanya lagi darinya. Kedua matanya kini menatapku.
Harus aku
jawab apa? Haruskah kukatakan bagus padahal aku sama sekali tak tahu isinya
apa. Hanya membaca saja untuk menutupi kegugupanku. Sedang aku tak rela pergi
dari tempat ini. Bagaimana kalau dia bertanya lagi apa isi buku ini setelah aku
katakan bagus? Harus aku jawab apa? Akhirnya kuputuskan untuk mengangguk saja.
Semoga cukup untuk menjawab pertanyaannya. Dan membuat tatapan matanya beralih
dari wajah bodohku.
“Bagaimana
isinya?”
Tuh kan ...
kehawatiranku terbukti sudah. Tak ada kalimat yang aku ucapkan, hanya saja aku
meletakkan jari telunjukku di depan bibir. Menyuruhnya untuk diam. Selain takut
mengganggu pengunjung lain, tentu saja aku sedang menghindar. Benar saja! ia
pun diam. Aku tak tahan lagi, wajahku mungkin akan terus menerus merah kalu
tetap berada di hadapannya. Aku pulang saja!
&&&
Untuk kesekian
kalinya aku melihatnya. Faktanya dia orang yang hebat, sudah kelar kuliah dan
kini menjadi asisten dosen. Dengar-dengar dia juga punya usaha sendiri. Setelah
tahu semua itu, nyaliku jadi ciut dibuatnya. Orang seperti dia tak layak
disandingkan dengan putri buruk rupa sepertiku. Untuk kesekian kalinya aku
kalah sebelum berperang.
Dani,
begitulah ia disapa. Belakangan aku tahu kalau kalau sahabatku, Hera juga
diajari olehnya. Tahu akan hal itu membuatku tak menyia-nyiakan kesempatan
untuk bertanya tentangnya.
Aku benar-benar
terperangkap kini. Walau tahu aku bukan siapa-siapa dibanding dia, tapi hasrat
hati untuk tetap mencari keberadaannya tak bisa ditahan lagi. berkali-kali aku
rela duduk di depan kelas sebelum masuk untuk menunggu, kali saja dia lewat. Atau
pergi ke perpustakaan dengan tujuan mungkin aku akan kembali berpapasan
dengannya. Hanya melihatnya, sungguh!
Ternyata tak
ada hasil. Ia tak pernah muncul lagi. Bahkan untuk sekedar lewat saja. lantas
harus kubuang kemana rasa rindu yang sudah mendarah daging ini? Apakah aku
kirim saja lewat sepucuk surat merah jambu untuknya? Mustahil!
Cinta oh cinta, haruskah kau menghampiri dengan cara
sepihak?
Bukankah ini terlalu menyiksa dan hanya sepihak?
Lantas, haruskah aku menunggu sepihak?
&&&
Aku terlambat
bangun. Gara-gara memikirkan dia, ah ... sudahlah! Tak penting lagi, cinta
sepihak membuatku lelah. Semalaman menghabiskan waktu menatap langit dari balik
jendela kamarku membuatku sedikit tersadar, aku tidak mungkin bisa.
Aku berjalan
cepat ke kelas, mungkin sudah sangat terlambat. Tak apalah ini yang pertama
kalinya. Pintu sudah kelas sudah tertutup rapat. Benar-benar telat untuk kali
ini.
Tok tok tok
...
“Masuk!”
perintah orang di dalam sana, yang aku yakini adalah dosen.
“Assalamualaikum
... “ ucapku sambil mendorong pintu.
“Waalaikumsalam
... “ jawab penghuni kelas juga dosen yang tengah duduk di depan kelas.
Tidak!!! Dia?!?
Permainan gendang
dalam dadaku kembali dimulai bahkan lebih cepat dari biasanya. Dani, maksudku
Pak Dani ada di sana. Duduk dengan tenangnya. Dengan mata terarah padaku. Uhk ...
tatapan mata itu lagi.
“Kenapa? Apa
kamu hanya akan berdiri di situ?” tanyanya. Andai bisa aku malah ingin duduk di
samping bapak. Bisik hatiku.
Pembahasan berlanjut.
Aku? Seperti saat di perpustakaan, menikmati wajahnya dengan mataku. Tak ada
ngantuk sedikit pun. Hingga mata kuliah yang ia berikan usai, aku hanya mampu
menatapnta tanpa menulis apa yang ia jelaskan. Sekali lagi aku terbius dan
kembali membatalkan niatku untuk melupakannya.
&&&
“Kenapa
datang terlambat, La?” Nana teman sebangkuku bertanya setelah Pak Dani pergi.
“Biasa ...
kesiangan.”
“Tapi ...
kenapa Pak Dani yang masuk?” tanyaku.
“Buat
gantiin Pak Mahmud yang lagi sakit,” jawabnya. Mendengar kalimat terakhir Nana,
hatiku jadi hangat dan bersumpah ngga bakal terlambat lagi.
Aku kembali
ke tempat dudukku, demi melanjutkan hayalan gilaku tentang Pak Dani. Kejadian di
perpustakaan pun kembali terbayang olehku.
“Sayang dia
udah nikah. Kalau belum aku bakalan jadiin target berikutnya.” Suara centil
Gina jelas menggangguku. Kebiasaan anak itu adalah mengoleksi pacar. Itu juga
sebabnya aku membencinya. Bukan hanya kelaukannya yang jelek, tapi lebih dari
itu setiap tatapan laki-laki hanya tertuju padanya. Terus, kapan orang seperti
aku bisa dapat pendamping hidup?
“Pak Dani
terlalu jauh buat kau dapatkan, Gin! Lagian cewek kayak kamu bukan tipe
idamannya. Tapi yang nutup aurat kayak si Nisa.”
Apa?! Jadi yang
mereka bicarakan adalah Pak Dani. Pak Dani, Pak Dani ... hah!! Menikah?!
Pikiranku tiba-tiba
kosong ...
Makassar dimana? salam kenal ya :)
BalasHapussalam kenal juga Nur, Mkassar talasalapang
Hapus