by:
Kartun Muslimah
|
Masihkah?
Kau ingat saat
aku pernah menurunkanmu dari pohon? Aku telah menjadi pahlawanmu sejak itu. Kau
memanggilku Kakak sejak hari itu. Padahal sebelumnya kita tak saling kenal. Aku
yang baru saja menjadi tetanggamu jadi senang karenanya. Kadang kala kau buat
aku jengah juga. Bagaimana tidak jika kemanapun aku pergi, kau selalu mengekor
di belakangku. Sampai teman-temanku menyebutmu pengawalku.
Cengeng.
Sebenarnya itu bukan namamu. Itu hanya panggilan dariku karena kau terlalu
mudah menangis. Ya, setidaknya itu alasan awalnya sebab lambat laun aku
menjadikan “cengeng” sebagai panggilan sayang padamu. Tentu tanpa
sepengetahuanmu.
Tunggu, aku baru
saja menuliskan kata “sayang” bukan?
Maaf terlambat
mengatakannya. Rasa itu tumbuh begitu saja. Aku menyadarinya sejak duduk di
bangku es-em-pe kelas tiga. Dan tentu saja kita masih tetangga.
Kau yang saat
itu adalah adik kelasku, diminta oleh ibumu agar terus aku jaga. Sejak itu pula
aku berjanji pada diriku sendiri untuk menyanggupi permintaan ibumu. Lagi pula,
mana mau aku ada yang mengganggumu.
Ingat tentang
Roy yang menyatakan suka padamu di belakang sekolah?
Tahukah kau
kenapa keesokan harinya dia tak muncul dan memintamu memberi jawaban?
Itu karena aku
menghajarnya sepulang sekolah. Aku mengancamnya. Makanya dia tak berani lagi
menemuimu. Maafkan aku tentang hal itu. Aku ingin menjagamu. Atau lebih
tepatnya, aku tak ingin ada yang memilikimu.
Lalu kita masuk
bangku es-em-a. Aku tetap sama, menjagamu sebisaku, tanpa sepengetahuanmu. Maka
jangan heran jika tak ada yang berani mendekatimu. Itu karena aku. Aku melarang
mereka.
“Aku juga ingin
punya pacar,” ucapmu suatu senja. Saat aku mengajarimu pelajaran matematika,
pelajaran yang kau benci.
Mendengar
perkataanmu, aku jadi panas dingin tak karuan. Inikah saatnya kuutarakan cinta
yang selama ini kupendam padamu? Bisik hatiku.
Tidak!
Aku tidak ingin
merusak kepercayaan ibumu. Aku tidak ingin merusak hubungan kita. Bagaimana
jika kau tolak? Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku.
Bodohnya aku
jika kupikir ulang. Andai kukatakan, kita tidak akan berpisah begitu saja tanpa
tahu perasaan masing-masing.
Ya, kita
akhirnya berpisah. Hari itu kau menangis keras. Aku dan keluargaku pindah lagi.
Hari itu kurasakan sesak di dadaku. Sempat kupikir meminta ayah membiarkanku
menyelesaikan sekolah di tempatmu. Tidak mungkin. Ibuku tidak akan setuju.
Maka lihatlah,
bertahun-tahun kurindukan kau, Cengeng. Bertahun-tahun hingga tak kusadari
rasaku berakar sedemikian dalam padamu.
“Kak, Wawan?”
seorang gadis berjilbab menatapku.
Membuatku heran
setengah mati. Bagaimana mungkin seorang muslimah menatap laki-laki dengan
tatapan tak berkedip.
“Iya? Siapa ya?”
tanyaku.
“Ini aku Kak,
Cengeng.”
Degh! Aku hampir
melompat memelukmu jika saja tak kusadari siapa aku. Jika saja tak kulihat
pakaian yang kini menutup tubuhmu.
Ah, si Cengeng
kecil telah berubah.
Tapi tunggu. Kau
masih cengeng ternyata, sempat kulihat genangan air di matamu kala itu. saat
untuk pertama kalinya kita bertemu lagi setelah sekian tahun lamanya.
Kau tahu? Hatiku
kembali bergetar karenamu. Ah, hatiku memang selalu bergetar bahkan hanya
dengan mengingat wajahmu. Maka hari itu juga aku berjanji, untuk kedua kalinya
pada diriku sendiri: aku tidak akan melepasmu!
Si Cengeng yang
kucintai ...
Janji-janji
kutepati. Kujadikan kau wanita terindah dalam hidupku. Kujadikan ratu di
istanaku.
Satu hal yang
pasti, kau tetap cengeng seperti dulu. Saat kulamar dirimu, dengan sepasang
mata yang masih sama saat kau kecil, air matamu tumpah lagi. Bersama sunggingan
senyum dengan lafaz hamdalah yang terucap.
Si Cengeng yang
kusayangi ...
Bersama surat
ini kukirimkan hadiah yang tak sempat kuberikan di awal kebersamaan kita. Kau
tentu ingat, aku melamarmu dengan uang tak seberapa. Hanya cinta yang begitu
besar aku janjikan hari itu.
Dan lagi,
katamu, “Biarlah kita hidup sederhana, asal hidup dalam kemewahan cinta.”
Aku terharu.
“Kakak juga
cengeng,” ucapmu.
Ini untumu.
Hanya untukmu.
Sebab aku mencintaimu.
Dari yang
mencintaimu. Pahlawanmu.
**
“Surat untuk
siapa, Kak?” tanya Fia pada suaminya.
“Surat untuk Si
Cengeng,” jawab Wawan tersenyum.
Fia pun mengerti
siapa yang dimaksud suaminya. Perlahan diraihnya surat bersampul merah muda itu
bersama bingkisan kecil berisi sebuah cicin berlian.
@selesai@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)