Jumat, 31 Oktober 2014

Mimpiku Untuk Ibu


Ft by: Kora Cakrawala

“Ifah ...” suara teriakan ibu mengagetkanku.
“Iya Bu?” sahutku. Ada apa lagi sekarang? Lagi asiknya menulis juga.
Aku berlari keluar dari kamarku. Begini nih kerjaan kalau liburan, hanya di rumah mendengar omelan ibuku yang cantik.
“Kamu tuh ya, sudah dari tadi dipanggil malah ngga nyahut-nyahut. Itu telinga dikemanain?” suara amukan ibu menyambutku saat sampai di dapur rumah sederhana kami.
“Yah ibu, dari sini ke kamarku mana bisa dengar, yang ada tetangga yang mendengarnya. Disangkanya ntar ibu lagi marah-marah. Padahal kan ibu manggilku dengan nada penuh cinta,” aku mulai merayu, berharap ibu tidak lagi marah.
“Alasan saja kamu. Ngerjain apa sih? Liburan sekolah saja masih saja sok sibuk, sekali-kali kamu itu harus bantuin ibu di dapur. Biar pintar masak juga, kan malu ibunya pintar masak anaknya ... “ Ibu menatapku dengan tatapan yang, uhk ... ngga banget.
Begitulah keseharian kami, aku yang suka ngeles dan ibu yang menuntut aku agar kelak sama sepertinya, tangguh. Terlebih setelah bapak tiada. Walhasil ibulah tulang punggung dalam keluarga kecilku. Makanya akhir-akhir ini aku jadi mikir untuk menghasilkan uang sendiri. Selama ini aku hanya bantuin ibu jaga warung. Ibu sendiri sangat tidak suka aku membantunuya, katanya cukuplah aku belajar yang rajin. Tapi kali ini beda, sudah seminggu aku libur semester. Jadinya harus belajar ini dan itu, seperti kata ibu.
Tapi berkat kerasnya ibu saat membesarkan aku, membuatku berpikir untuk melakukan banyak hal. Termasuk membantu ibu dalam hal ekonomi. Walau masih kels satu SMA, aku sudah pikirkan baik-baik tentang hal itu.
“Fah, jadi penulis saja. Kan ngga ribet tuh, kalau masalah ngetiknya gampang deh. Lagian dulu kamu ngebet banget kan jadi penulis, sampai bela-belain maksa bapak kamu buat beliin notebook.” Itulah saran Rati, sahabatku.
Tentu saja aku ingat cita-citaku itu. Saat bapak yang sehari-harinya bekerja sebagai guru SD masih hidup. Namun seiring waktu berjalan, dan bapak telah tiada mimpiku untuk jadi penulis terkenal seakan ditelang bumi.
Jadi sebelum liburan tiba aku sudah memutuskan ingin jadi penulis. Kalau dulu alasanku sebatas cita-cita saja, kali ini alasanku bertambah. Aku ingin mengisahkan perjalanan hidupku bersama ibu juga bapak yang telah menghadap ke pangkuannya, juga aku ingin membantu ibu dalam hal ekonomi keluarga kami.
**
“Ibu perhatikan akhir-akhir ini kamu sering mengurung diri di kamar, Fah. Ada masalah?” tanya ibu saat kami sedang duduk bersama di ruang makan. Bersama dua orang adikku yang lain.
“Ibu tenang saja, kalau Ifah ada masalah pasti cerita kok,” jawabku tenang.
Tentu saja aku tidak bisa bilang aku sudah mulai menerbangkan mimpiku. Tentang ingin jadi penulis, aku memang belum bilang. Takut ibu marah, aku hanya ingin membuktikannya dulu dengan nilaiku di sekolah yang tetap baik dan tulisanku yang membuahkan hasil.
“Assalamu’alaikum ... “ Seseorang memecahkan keheningan suasana rumah kami.
“Biar ibu yang buka, kalian lanjutkan makannya,” ucap ibu.
“Wa’alaikusalam,” lanjut ibu sambil berjalan ke ruang tamu. Aku dan kedua adikku kembali menikmati masakan ibu. Dan sepertinya ibu terlibat percakapan dengan sang tamu. Hampir lima belas menit berlalu hingga ibu akhirnya muncul dengan sesuatu di tangannya.
“Fah ... “ ibu memanggil namaku.
“Iya, Bu?”
“Ini apa?” tanya ibu sambil mengarahkan pandangannya pada bungkusan yang ada di tangannya.
“Ini tadi diantar tukang pos, katanya kiriman buatmu. Ini dari mana?” tanya ibu lagi. Pahamlah aku kini benda apa yang ada di tangan ibu.
Dua minggu lalu aku mengirimkan sebuah cerpen untuk diikutkan lomba. Lewat bantuan sahabatku Rati tentunya.
“Itu hadiah, Bu. Hasil dari jerih payahku sebagai penulis.”
Ibu masih menatapku penuh tanya, sedikit ada tatapan marah di sana. Tapi aku akan berusaha meredamnya. Aku akan menjelaskan semuanya. Akan kukatakan mimpi yang pernah terlupakan dalam hatiku, juga harapan dapat membantu ibu dalam meringankan bebannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)