![]() |
Ft by: Kora Cakrawala |
“Ifah ...” suara teriakan ibu mengagetkanku.
“Iya Bu?” sahutku. Ada apa lagi sekarang? Lagi
asiknya menulis juga.
Aku berlari keluar dari kamarku. Begini nih kerjaan
kalau liburan, hanya di rumah mendengar omelan ibuku yang cantik.
“Kamu tuh ya, sudah dari tadi dipanggil malah ngga
nyahut-nyahut. Itu telinga dikemanain?” suara amukan ibu menyambutku saat
sampai di dapur rumah sederhana kami.
“Yah ibu, dari sini ke kamarku mana bisa dengar,
yang ada tetangga yang mendengarnya. Disangkanya ntar ibu lagi marah-marah.
Padahal kan ibu manggilku dengan nada penuh cinta,” aku mulai merayu, berharap
ibu tidak lagi marah.
“Alasan saja kamu. Ngerjain apa sih? Liburan sekolah
saja masih saja sok sibuk, sekali-kali kamu itu harus bantuin ibu di dapur.
Biar pintar masak juga, kan malu ibunya pintar masak anaknya ... “ Ibu
menatapku dengan tatapan yang, uhk ... ngga banget.
Begitulah keseharian kami, aku yang suka ngeles dan
ibu yang menuntut aku agar kelak sama sepertinya, tangguh. Terlebih setelah
bapak tiada. Walhasil ibulah tulang punggung dalam keluarga kecilku. Makanya
akhir-akhir ini aku jadi mikir untuk menghasilkan uang sendiri. Selama ini aku
hanya bantuin ibu jaga warung. Ibu sendiri sangat tidak suka aku membantunuya,
katanya cukuplah aku belajar yang rajin. Tapi kali ini beda, sudah seminggu aku
libur semester. Jadinya harus belajar ini dan itu, seperti kata ibu.
Tapi berkat kerasnya ibu saat membesarkan aku,
membuatku berpikir untuk melakukan banyak hal. Termasuk membantu ibu dalam hal
ekonomi. Walau masih kels satu SMA, aku sudah pikirkan baik-baik tentang hal
itu.
“Fah, jadi penulis saja. Kan ngga ribet tuh, kalau
masalah ngetiknya gampang deh. Lagian dulu kamu ngebet banget kan jadi penulis,
sampai bela-belain maksa bapak kamu buat beliin notebook.” Itulah saran Rati,
sahabatku.
Tentu saja aku ingat cita-citaku itu. Saat bapak
yang sehari-harinya bekerja sebagai guru SD masih hidup. Namun seiring waktu
berjalan, dan bapak telah tiada mimpiku untuk jadi penulis terkenal seakan
ditelang bumi.
Jadi sebelum liburan tiba aku sudah memutuskan ingin
jadi penulis. Kalau dulu alasanku sebatas cita-cita saja, kali ini alasanku
bertambah. Aku ingin mengisahkan perjalanan hidupku bersama ibu juga bapak yang
telah menghadap ke pangkuannya, juga aku ingin membantu ibu dalam hal ekonomi
keluarga kami.
**
“Ibu perhatikan akhir-akhir ini kamu sering
mengurung diri di kamar, Fah. Ada masalah?” tanya ibu saat kami sedang duduk
bersama di ruang makan. Bersama dua orang adikku yang lain.
“Ibu tenang saja, kalau Ifah ada masalah pasti
cerita kok,” jawabku tenang.
Tentu saja aku tidak bisa bilang aku sudah mulai
menerbangkan mimpiku. Tentang ingin jadi penulis, aku memang belum bilang.
Takut ibu marah, aku hanya ingin membuktikannya dulu dengan nilaiku di sekolah
yang tetap baik dan tulisanku yang membuahkan hasil.
“Assalamu’alaikum ... “ Seseorang memecahkan
keheningan suasana rumah kami.
“Biar ibu yang buka, kalian lanjutkan makannya,”
ucap ibu.
“Wa’alaikusalam,” lanjut ibu sambil berjalan ke
ruang tamu. Aku dan kedua adikku kembali menikmati masakan ibu. Dan sepertinya
ibu terlibat percakapan dengan sang tamu. Hampir lima belas menit berlalu
hingga ibu akhirnya muncul dengan sesuatu di tangannya.
“Fah ... “ ibu memanggil namaku.
“Iya, Bu?”
“Ini apa?” tanya ibu sambil mengarahkan pandangannya
pada bungkusan yang ada di tangannya.
“Ini tadi diantar tukang pos, katanya kiriman
buatmu. Ini dari mana?” tanya ibu lagi. Pahamlah aku kini benda apa yang ada di
tangan ibu.
Dua minggu lalu aku mengirimkan sebuah cerpen untuk
diikutkan lomba. Lewat bantuan sahabatku Rati tentunya.
“Itu hadiah, Bu. Hasil dari jerih payahku sebagai
penulis.”
Ibu masih menatapku penuh tanya, sedikit ada tatapan
marah di sana. Tapi aku akan berusaha meredamnya. Aku akan menjelaskan
semuanya. Akan kukatakan mimpi yang pernah terlupakan dalam hatiku, juga
harapan dapat membantu ibu dalam meringankan bebannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)