Foto by: Sastra Harian Cakrawala |
Selama
aku tidak membuka mata, mungkin mimpi akan selamanya kuagungkan. Namun, sampai
kapan mata ini harus terlelap? Sedang perut meminta jatahnya untuk diisi. Tidak
hanya satu perut, empat perut kosong terus saja bergemuruh sejak kemarin sore.
Lalu masihkah aku akan dibelenggu mimpi-mimpi tak pasti?
Zahrah
adikku yang paling bungsu kembali menangis. Perutnya sudah kembung karena hanya
diberikan air oleh Fatimah, nama anak kedua dalam keluargaku. Walaupun aku
yakin perut Fatimah juga sudah merintih sejak tadi, namun pada wajahnya yang
terpancar hanya ketegaran semata. Bisa jadi karena dia adalah anak perempuan
pertama dan juga menuruni sifat sabar dari ibu.
Berbeda
lagi dengan Arham, adikku yang lainnya. Semalam tanpa pamit pada kami ia pergi
begitu saja, mungkin karena tidak tehan perutnya kian melilit. Adikku yang satu
itu memang terbilang pendiam, tak banyak bicara namun ahli dalam membuat
masalah. Entah apa lagi yang ia perbuat di luar sana, yang pasti sudah sering
aku menasehatinya. Memintanya agar lebih memaklumi keadaan kami, tapi toh
kesemuanya itu hanya masuk telinga kanannya saja lantas keluar dari telinga
kirinya. Bahkan sesekali menerikkan kekesalannya padaku.
“Tahu
apa kakak tentang kehidupan kita?!” bentaknya suatu hari dan aku hanya diam
mendengarnya. Bukan tidak berani membalas, justru aku berusaha menahan kecamuk
amarah yang ada dalam dadaku. Aku anak tertua dalam keluarga kami saat ini,
pengganti ayah juga ibu. Pun aku sadari sangat jauh dari sikap kedua orang tua
kami tersebut. Satu yang tak pernah aku lupakan dalam menghadapi ketiga adikku,
“Jangan sekali-kali kamu memukuli adikmu, Nak.” Berkat pesan ibu itu, amarahku
selalu tertahan.
Matahari
yang seharusnya sudah tinggi masih juga tak tampak di depan mata. Sebaliknya
hujan terus mengguyur bumi seperti enggan untuk berhenti menyebabkan banjir di
sana sini. Hal itu pula yang menjadi alasan aku tidak bisa kemana-mana.
Harusnya pagi tadi aku mengantarkan koran, lalu siang hari mulai bekerja di
warung Bu Salmah, tapi karena hujan tak satu pun yang terlaksana. Bahkan warung
Bu Salmah sudah tiga hari tutup akibat air yang mulai menjamah seluruh tempat.
“Kakak
tidak pergi mencari Arham?” pertanyaan Fatimah membuyarkan lamunanku.
“Biarkan
saja, nanti juga pulang sendiri,” jawabku. Bukannya tidak peduli. Aku juga takut
meninggalkan dua adikku ini. Air bisa saja semakin meninggi, tak mungkin juga
mengharapkan orang lain untuk mengulurkan tangan pada kami, siapa yang peduli
saat semuanya berada dalam posisi yang sama?
“Takutnya
terjadi apa-apa sama Arham, Kak. Kakak tahu sendirikan dia anaknya gimana.” Aku
terdiam.
“Lagi
pula, aku bisa menjaga Zahrah kok. Tenang saja, Zahra sudah tidak menangis lagi
tadi dikasih kue sama tetangga, jadi sekarang agak mendingan. Kakak pergilah
cari Arham sekalian nitip makanan kalau ada.” Fatimah menatapku dengan
pandangan yakin, lalu mengambil uang pecahan sepuluh ribu dari kantongnya.
Sebisa
mungkin kutahan cairan bening yang menerobos keluar dari mataku. Betapa kagum
aku pada Fatimah disaat aku mulai bingung dan kehilangan pegangan, seringkali
ia yang menopangku membuatku tersadar bahwa kami harus tetap bertahan. Sesekali
kudapati matanya terselimuti kabut duka tapi ia tetap bisa menguasai dirinya.
Dan jika aku tanya apa ia baik-baik saja, dengan semyum lembut ia akan
mengangguk. Air mata yang seharusnya sudah melelah dari matanya malah terlihat
seperti pemacu semangat buatku. Juga senyum tulusnya membuatku tersadar, ia
benar-benar mewarisi wajah cantik ibu.
Aku
menyusuri jalanan yang tak lagi memperlihatkan tanah yang basah. Yang ada
justru genangan air di mana-mana. Air bahkan sampai di pinggangku pada beberapa
tempat yang kulalui. Sungguh ironis kejadian ini, bertahun-tahun tidak bisa
teratasi. Bahkan akibat banjir pula secara tak langsung nyawa ibu dan ayah
terenggut olehnya.
“Mad,
mau ke mana?” Pak Saleh suami dari ibu Salmah menyapaku saat melewati depan
rumah mereka. Suami istri tersebut sangat baik pada aku dan ketiga adikku.
“Ini
Pak, mau cari Arham. Semalam ia keluar dan sampai sekarang belum balik-balik
juga.”
“Loh,
memangnya dia tidak pamit?”
“Tidak
Pak.”
“Ya
sudah kamu cari sana, hati-hati air semakin tinggi,” pesan Pak Saleh.
Setelah
pamit aku pun beranjak pergi. Arham belum juga menunjukkan tanda-tanda
keberadaannya.
Aku
masih terus melangkah sesekali bertanya mungkin ada yang melihat adikku. Nihil.
Kemana perginya dia? lalu ...
“Kak,
aku juga punya mimpi ingin jadi dokter.”
“Kenapa
milih jadi dokter?”
“Kalau
aku jadi dokter orang-orang kampung kita tidak akan mati begitu saja seperti
ayah dan ibu.”
Bukan
tanpa sebab aku mengingat pecakapanku dengan Arham. Bukan! Justru aku
mengingatnya karena melihatnya ada di sana, dalam dekapan seorang bapak-bapak
yang tak aku kenali. Semakin dekat semakin jelas pula tubuhnya yang membiru.
Hingga sampai di hadapan orang yang membawanya, yang kudapati hanya tubuh
kakunya. Tak ada mata yang memandang sinis, juga umpatan yang terdengar begitu
tajam. Arham!
Dia
membisu. Terbujur kaku.(*)
Biodata
Penulis: Nahlatul Azhar adalah nama
pena dari Sitti Mardiyah. Penulis kelahiran 4 November 1991. Saat ini masih
tercatat sebagai mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar Jurusan PGSD.
Penulis juga merupakan anggota FLP Rantung UNISMUH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)