Oleh: Nahlatul Azhar
Sering
kali rasa itu menghampiri. Mencari tempat yang pas untuk tumbuh subur. Terlebih
saat waktu memupuknya tiap saat. Lalu rasa mekar bersama kuncup-kuncup indah.
Merah muda merona setelahnya. Sampai ada kata sudah tuk mengakhirinya. Tapi ... inginku,
tak ada kata sudah dengan dia: wanita biruku.
“Kak, aku mulai lelah,” ucap wanita biruku dari seberang
sana. Ada getaran pada kalimat yang baru saja kudengar.
“Jadi Dinda mau aku bagaimana?” tanyaku hati-hati. Berat
rasanya jika kali ini pun harus berakhir. Dan aku sama sekali tidak
menginginkan hal itu. Inginku wanita biruku adalah pelengkap tulang rusukku,
nanti.
“Entah lah Kak, aku bingung. Aku menginginkan kebersamaan
kita tapi ...” jeda. Tentu saja dia merasakan kebingungan yang sangat. Aku
memintanya dulu bukan untuk menjadikan dia istri. Bukan! Aku belum siap untuk
itu. Aku justru memintanya menjadi kekasihku, hal itu pula yang kini menyita
pikirannya. Dia melanggar prinsipnya kini.
“Dinda, maafkan aku ...” suaraku pun mulai serak. Akh ...
apa benar-benar harus berakhir? Aku sudah menjatuhkan hatiku pada wanita
biruku. Sudah mulai memikirkan istana kecil kami kelak, sayangnya aku tak tahu
kapan kebersamaan yang nyata itu akan terjadi.
“Aku yang salah, Kak.”
Aku benci dia mengatakan itu. Terlampau benci wanita
biruku menyalahkan dirinya. Pun dia yang pertama kali mengucapkan kata suka,
tapi tetap saja aku menyukainya terlebih dahulu. Hanya saja aku tak punya
keberanian mengakui jika saat itu aku pun menyukainya.
“Tidak ada yang salah Dinda, kita sama-sama tahu perasaan
kita, iya kan?” aku ingin menengkannya. Pun hatiku mulai gerimis.
“Tapi aku yang menarik kakak dalam hubungan tak pasti
ini, aku yang mengawalinya, Kak. Maafkan aku.”
Lagi ... wanita biruku mulai terisak. Jarak memang
memisahkan kami, tapi aku sangat yakin ia telah larut dalam tangisnya. Anda
bisa aku menyeka air matanya. Andai bisa kutenagkan hatinya yang merasa
bersalah. Andai bisa kusudahi semua dukanya dengan cara yang benar. Andai ...
“Dinda, sungguh tidak ada yang salah. Jika pun ada yang
salah, itu adalah aku yang tidak bisa memberi kepastian. Maaf ...” tak terasa
embun yang sedari tadi menari-nari di kedua mataku jatuh perlahan.
Tidak ada jawaban lagi, yang terdengar olehku adalah
suara isak tangis wanita biruku. Sakit, hatiku perih mendengar tangisannya.
Jika waktu
bisa kupercepat maka kumajukan ia sampai saat dimana aku dan wanita biruku bisa
bersama. Tanpa tangis dan permintaan maaf yang tak perlu.
***
Debar dalam dadaku saling memburu. Sebagai pertanda
suasana hatiku tak lagi indah. Tak menentu. Gelisah. Sakit. Bagai dihantam debur yang terus datang
silih berganti. Bukan sebab damar
tak lagi menyatukan hati, lebih dari itu, kami harus menyudahi rasa.
Memisahkannya hingga kembali menjadi satu-satu.
“Jadi?”
tanya yang keluar dari mulutku sangat pelan. Aku benar-benar ingin menangis
sekarang. Terlalu sakit untuk menyudahi semuanya.
“Jadi ya
sudah, itu kan yang Dinda
mau dan kuinginkan? Tapi tidak akan ada
dendam kan?” suara yang tak jauh beda dari nada suaraku terdengar menusuk hati.
Gugurlah
satu-satu air dari mataku. Mencari mura pada jilbab biru yang kukenakan. Tentu
tidak akan ada dendam. Kami memulainya dengan cara yang salah: aku dan
dia. Kami juga sama-sama tahu langkah
itu harus disudahi.
“Dinda ...” suaranya serak.
“Tentu,
tidak akan ada dendam,” ucapku akhirnya.
Sekuat
tenaga kutenangkan suaraku kembali. Aku tidak ingin dia tahu aku tengah
menangis. Sungguh benar-benar sulit mengakhiri ini.
“Hah
...” helaan nafas terdengar lagi. Darinya.
“Kak,
maaf. Aku yang memulainya, membuat kakak sakit lagi.”
“Justru
aku yang ingin minta maaf, Dinda.”
Jeda.
Kami terdiam. Detik hingga menit berlalu begitu saja. HP yang sejak tadi
menghubungkan kami pun bisu.
Jadi
...
Kita
sudahi ini ...
Kita
masing-masing kembali melangkah
Sudahi,
untuk sesuatu yang lebih berarti.(*)
(Penulis merupakan anggota FLP Ranting
Unismuh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)