Kamis, 19 Juni 2014

Wantia Biru (KeKeR, Sabtu 18 Januari 2014)


Oleh: Nahlatul Azhar
Sering kali rasa itu menghampiri. Mencari tempat yang pas untuk tumbuh subur. Terlebih saat waktu memupuknya tiap saat. Lalu rasa mekar bersama kuncup-kuncup indah. Merah muda merona setelahnya. Sampai ada kata sudah tuk mengakhirinya. Tapi ... inginku, tak ada kata sudah dengan dia: wanita biruku.
“Kak, aku mulai lelah,” ucap wanita biruku dari seberang sana. Ada getaran pada kalimat yang baru saja kudengar.
“Jadi Dinda mau aku bagaimana?” tanyaku hati-hati. Berat rasanya jika kali ini pun harus berakhir. Dan aku sama sekali tidak menginginkan hal itu. Inginku wanita biruku adalah pelengkap tulang rusukku, nanti.
“Entah lah Kak, aku bingung. Aku menginginkan kebersamaan kita tapi ...” jeda. Tentu saja dia merasakan kebingungan yang sangat. Aku memintanya dulu bukan untuk menjadikan dia istri. Bukan! Aku belum siap untuk itu. Aku justru memintanya menjadi kekasihku, hal itu pula yang kini menyita pikirannya. Dia melanggar prinsipnya kini.
“Dinda, maafkan aku ...” suaraku pun mulai serak. Akh ... apa benar-benar harus berakhir? Aku sudah menjatuhkan hatiku pada wanita biruku. Sudah mulai memikirkan istana kecil kami kelak, sayangnya aku tak tahu kapan kebersamaan yang nyata itu akan terjadi.
“Aku yang salah, Kak.”
Aku benci dia mengatakan itu. Terlampau benci wanita biruku menyalahkan dirinya. Pun dia yang pertama kali mengucapkan kata suka, tapi tetap saja aku menyukainya terlebih dahulu. Hanya saja aku tak punya keberanian mengakui jika saat itu aku pun menyukainya.
“Tidak ada yang salah Dinda, kita sama-sama tahu perasaan kita, iya kan?” aku ingin menengkannya. Pun hatiku mulai gerimis.
“Tapi aku yang menarik kakak dalam hubungan tak pasti ini, aku yang mengawalinya, Kak. Maafkan aku.”
Lagi ... wanita biruku mulai terisak. Jarak memang memisahkan kami, tapi aku sangat yakin ia telah larut dalam tangisnya. Anda bisa aku menyeka air matanya. Andai bisa kutenagkan hatinya yang merasa bersalah. Andai bisa kusudahi semua dukanya dengan cara yang benar. Andai ...
“Dinda, sungguh tidak ada yang salah. Jika pun ada yang salah, itu adalah aku yang tidak bisa memberi kepastian. Maaf ...” tak terasa embun yang sedari tadi menari-nari di kedua mataku jatuh perlahan.
Tidak ada jawaban lagi, yang terdengar olehku adalah suara isak tangis wanita biruku. Sakit, hatiku perih mendengar tangisannya.
Jika waktu bisa kupercepat maka kumajukan ia sampai saat dimana aku dan wanita biruku bisa bersama. Tanpa tangis dan permintaan maaf yang tak perlu.
***
Debar  dalam dadaku saling memburu. Sebagai pertanda suasana hatiku tak lagi indah. Tak menentu. Gelisah. Sakit. Bagai dihantam debur yang terus datang silih berganti. Bukan sebab damar tak lagi menyatukan hati, lebih dari itu, kami harus menyudahi rasa. Memisahkannya hingga kembali menjadi satu-satu.
“Jadi?” tanya yang keluar dari mulutku sangat pelan. Aku benar-benar ingin menangis sekarang. Terlalu sakit untuk menyudahi semuanya.
“Jadi ya sudah, itu kan yang Dinda mau dan  kuinginkan? Tapi tidak akan ada dendam kan?” suara yang tak jauh beda dari nada suaraku terdengar menusuk hati.
Gugurlah satu-satu air dari mataku. Mencari mura pada jilbab biru yang kukenakan. Tentu tidak akan ada dendam. Kami memulainya dengan cara yang salah: aku dan dia.  Kami juga sama-sama tahu langkah itu harus disudahi.
“Dinda ...” suaranya serak.
“Tentu, tidak akan ada dendam,” ucapku akhirnya.
Sekuat tenaga kutenangkan suaraku kembali. Aku tidak ingin dia tahu aku tengah menangis. Sungguh benar-benar sulit mengakhiri ini.
“Hah ...” helaan nafas terdengar lagi. Darinya.
“Kak, maaf. Aku yang memulainya, membuat kakak sakit lagi.”
“Justru aku yang ingin minta maaf, Dinda.”
Jeda. Kami terdiam. Detik hingga menit berlalu begitu saja. HP yang sejak tadi menghubungkan kami pun bisu.
Jadi ...
Kita sudahi ini ...
Kita masing-masing kembali melangkah
Sudahi, untuk sesuatu yang lebih berarti.(*)

(Penulis merupakan  anggota FLP Ranting Unismuh)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)