“Tatapan seperti apa yang kamu inginkan darinya?” Dea bertanya pada sahabatnya yang lagi kasmaran, Kifna.
“Mmm ... apa yah?”
bukannya menjawab Kifna malah bertanya-tanya juga.
“Tatapan dingin
tapi nembus ke hati atau tatapan lembut yang menghangatkan?” kembali Dea
mengajukan pertanyaan.
“Apaan sih, De?
Kamu kayaknya semangat banget wawancarain aku. Padahal kamu tahu sendirikan
jadian aja belum,” elak Kifna.
“Ah kamu, kan buat
persiapan. Lagian apa susah jawab pertanyaanku, sudah aku kasih pilihan pula.”
Kifna tak mengubris
perkataan sahabatnya lagi. Ia sendiri masih bingung dengan perasaanya yang
masih bertepuk sebelah tangan. Herlan, laki-laki yang sudah dua tahun mencuri
perhatiannya belum juga menunjukkan tanda-tanda suka pada gadis berlesung pipi
tersebut. Kifna sendiri bukan gadis agresif yang dengan pede mencari jawaban
atas perasaan laki-laki yang ia cintai.
Namun semenjak
duduk di kelas 3 SMA Nusa Indah Kifna sedikit lebih berani memperhatikan
laki-laki jangkung tersebut. Diam-diam ia mengikuti ke mana Herlan pergi saat
istirahat. Karena Herlan cowok jenius yang hobi utamanya membaca, maka tak
jarang Kifna juga duduk berlama-lama di perpustakaan sekolah. Walaupun tempat
itu adalah yang tempat paling ia tidak sukai.
“Hei! Malah melamun,
aku kan tadi nanya,” rengek Dea.
“Aku tidak mau
terpaku pada satu tatapan saja, De. Ya sih aku suka tatapan dingin yang
menusuk, tapi di sisi lain aku tidak terima. Aku berharap merasakan kehangatan,
pun hanya dari sebuah percakapan mata,” jelas Kifna akhirya.
“Wow ...”
“Kenapa?”
“Kayaknya otak kamu
mulai berisi deh Kif, buktinya kata-katamu itu bagus banget,” ucap Dea sambil
tersenyum kagum pada sahabatnya.
Mendengar pujian
yang agak menjatuhkan dari sahabatnya tak ayal membuat Kifna ngambek, “Jadi selama
ini kamu pikir kepalaku ini tidak berisi, gitu?” Kifna memasang muka
cemberutnya.
“Hehe ... bukan
gitu juga sih, habisnya selama ini di kepalamu itu hanya ada si tiang listrik.
Keseringan koslet pula, banyak ngga nyambungnya kalau diajak cerita,” Dea mengeluarkan
isi hatinya yang terdalam tentang sikap sahabatnya selama ini.
“De!”
“Apa?” Dea menoleh.
“Kamu!” Kifna pun
menyerbu Dea dengan cubitan-cubitan kecilnya.
“Aw ... Ih, Kif aku kan jujur, aduh sakit!”
Keduanya pun
tertawa bersama. Walau sering jadi bahan candaan Dea karena kepandaian
rata-rata Kifna, namun gadis tersebut tak pernah sakit hati. Ia sangat tahu
kalau Dea hanya bercanda. Dan yang paling penting lagi Kifna tak dapat
membantah penilaian sahabatnya tersebut karena kebanyakan dari yang diucapkannya
adalah benar. Bagi Kifna itu sudah cukup membuktikan kalau Dea benar-benar
mengenalnya, dan berhak jadi sahabatnya.
***
Mata Kifna
berembun. Hari penamatan telah tiba, sebentar lagi ia akan berpisah dari
sahabatnya Dea juga pada seluruh penghuni sekolah yang ia tempati selama tiga
tahun terakhir. Terlebih lagi ia tak akan melihat sosok yang mencuri hatinya
lagi. Perasaan Kifna masih sama pada Herlan.
“Kamu ngga nyesal
nanti kalau tidak bilang perasaanmu pada Herlan, Kif?” Dea yang duduk di samping
Kifna bertanya. Mungkin sahabatnya itu sadar kalau sedari tadi Kifna menatap
punggung Herlan yang duduk di barisan depan.
“Hah ... apa
gunanya, De? Kita juga sebentar lagi pisah.”
“Setidaknya kamu
ngga penasaran lagi. Lagian ada bagusnya kok kalau kamu bilang ke dia selain
rasa penasaranmu terobati, kalau ditolak pun kamu ngga akan malu.”
Penjelasan Dea yang
setengah berbisik itu membuat Kifna menghujani sahabatnya itu dengan cubitan.
Bagaimanapun Kifna tetap berharap Herlan membalas perasaannya.
Sepasang sahabat
itu kembali larut dalam acara penamatan, walau salah satu dari mereka kembali
menatap punggung Herlan. Dalam diam dan kecemasan.
Haruskah
aku menanyakannya?
***
Tatapan yang selalu
tampak dingin itu kini mencair. Tak hanya itu, lelehan air mata juga tampak
menggenang di sana. Membuat Kifna yang melihatnya kaget. Ia tak menyangka
reaksi Herlan akan seperti ini setelah ia menyatakan perasaannya.
“Maafkan aku
Kifna,” ucap Herlan dengan suara serak. Kifna tidak mengerti maksud laki-laki
di hadapannya.
“Justru aku yang
ingin minta maaf, Her. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih. sejujurnya aku
tidak mengerti, mengapa ... “ jeda, Kifna tidak mampu melanjutkan
pertanyaannya, akan tangis Herlan.
“Kamu tidak tahu
aku Kifna, kamu ngga tahu aku siapa! Cinta kamu tidak pantas untuk orang
sepertiku ... “ Kedua mata Herlan menatap Kifna. Tatapan yang tidak dimengerti
Kifna.
“Aku ... aku ...
aku bukan orang baik!” ucap Herlan lagi.
“Her, kamu kenapa?
Ada apa sebenarnya?” tanya Kifna. Ia semakin tak mengerti dengan sikap Herlan.
Kifna mendekati
Herlan yang berdiri dengan bahu tergnucang. Saat itu memang tinggal mereka
berdua yang ada di kelas. Sejak acara penamatan tadi selesai, sekolah sudah
tampak sepi.
“Jangan mendekat!!”
teriak Herlan tiba-tiba. Ada binar-binar marah di kedua matanya.
“Sadarlah Kifna!
Aku bukan orang baik-baik dan tentunya tak pantas untukmu. Kamu akan menyesal
dengan cintamu pada orang sepertiku, jadi kumohon berhentilah! Ini hanya akan
melukaimu.”
“Herlan, ada apa
sebenarnya?”
“Aku benci pada wanita!
AKU BENCI!!” kembali Herlan berteriak marah. Bahkan setelah itu ia pergi begitu
saja, meninggalkan Kifna yang diliputi rasa kaget.
***
Maafkan
aku ... ini hanya alasanku menghindarimu, aku tahu kau menaruh hati padaku. Aku
sangat tahu hal itu. Bahwa diam-diam kau mengikutiku ke perpustakaan, menatap
punggungku, menaruh hadiah di laci mejaku. Sungguh aku tahu semua hal itu.
Tapi
Kifna, kau tidak tahu siapa aku. Tentang aku yang anak seorang wanita malam.
Tentang ayahku yang hendak menjerumuskanku pada pekerjaan yang sama seperti
ibuku. Aku yakin kau tak tahu akan hal itu.
Kifna
maafkan aku, semoga cintamu untukku memudar bahkan hilang. Namun biarkan
cintaku untukmu tetap bertahan di hatiku.
Hati Herlan
merintih pilu melihat Kifna yang masih duduk di dalam kelas dengan wajah yang
sendunya. Sekuat tenanga ia menahan isak tangisnya. Tatapan mata yang selalu
dingin itu kini benar-benar mencair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)