Kamis, 19 Juni 2014

Musim di Wajahmu (KeKeR, Sabtu 16 November 2013)



Oleh: Nahlatul Azhar
“Jangan pernah berharap lebih Ra, sebab yang lebih dari ini hanya akan membuatmu terluka.”
 “Sejak kapan kamu suka mandangin langit?” tanyaku dengan suara pelan pada Mia. Setahuku dia tidak pernah suka menghabiskan waktunya percuma seperti ini. Dia akan memilih duduk berjam-jam melahap novel koleksinya. Terlebih kalau aku habis beli novel baru untuknya, semua waktu luangnya habis untuk dirinya sendiri.
“Hanya mencoba menikmati hidup saja,” jawabnya tanpa menoleh. Aku jadi berpikir apa yang indah pada langit yang hanya memiliki dua warna itu?
Aku lalu duduk di sampingnya, di depan jendela kamarnya. Diam-diam aku mencari sesuatu yang menarik di atas sana. Dan lagi, hanya biru dan putih yang kudapati.
“Aku ingin kita menjadi pasangan warna itu,” suara Mia memecah keheningan, “aku biru dan kamu putih,” lanjutnya lagi.
“Kenapa biru?” walau tidak mengerti apa maksud Mia, aku tidak ingin terlihat bodoh. aku selalu berharap bisa masuk dalam dunia Mia. Dunia yang selalu membuatnya asik sendiri tanpa peduli sekelilingnya, termasuk keberadaanku.
“Jika memilih putih aku mungkin akan menghilang. Kulitku sudah terlalu pucat untuk memilih warna itu.”
Aku terdiam. Lama. Berpikir apa maksud ucapannya. Sambil memandangi wajahnya yang hanya menyimpan musim duka.
***
“Ra, aku selalu mengatakan jangan padamu. Tahukah Ra, sebenarnya aku menginginkan lebih.”
Sore ini setelah menyelesaikan semua tugasku di rumah bergegas aku ke rumah Mia. Aku penasaran dengan kabarnya hari ini. Terakhir kami saling memberi nama aku putih dan dia biru. Mungkin terdengar aneh, tapi aku selalu suka cara Mia menamai benda.
Pernah kuberikan sebuah boneka padanya. Dan dengan tenang dia bilang, “Kamu membawakanku kerjaan lagi.” Aku tentu bingung dengan perkataannya, yang aku pikir adalah dia akan tersenyum senang menerima pemberianku.
“Aku harus memberinya nama lagi. Hmm ... nama apa ya yang belum kupakai?” tanyanya. Tanya yang ditujukan pada dirinya sendiri.
“Kenapa harus pakai nama sih kalau itu sulit?”
“Aku tidak bilang sulit, hanya saja itu sebuah pekerjaan bagiku. Aku tidak mau memilih nama yang asal. Ini pemberian darimu, terimakasih.”
“Iya, tapi kenapa harus pakai nama?”
“Semua yang ada di ruangan ini adalah temanku. Hanya mereka temanku, jadi aku harus memberi mereka nama!” ada nada aneh pada suaranya. Sesuatu yang air mataku tiba-tiba mengalir saat itu.
“Lalu aku siapa bagimu Mia?” hatiku tidak terima.
***
“Jangan pernah berharap pada yang lain, Ra. Mereka semua hanya akan meninggalkanmu. Saat itu terjadi kamu akan putus asa dan berharap mati secepat yang kamu bisa.”
Aku hampir sampai di rumahnya. Aku tidak datang seorang diri, aku kembali membawakan Mia sebuah novel. Novel yang selama ini ia inginkan. Aku yakin Mia akan memberi nama pada buku itu lagi. Aku tidak akan protes seperti saat itu. Aku akan diam-diam memandanginya lagi dengan begitu aku sudah masuk ke dalam dunianya. Dunia Mia.
Jadi teringat pertemuan pertama kami. Saat itu tepat hari pengumuman kelulusanku di SMP, saking senangnya aku berlari menerobos hujan. Aku yang terkenal bandel memang tengah berjanji pada diriku, jika lulus aku akan merubah semua sikap burukku.
Hujan benar-benar berkuasa hari itu. Aku yang berlari dalam keramaiannya tidak menyadari bahaya tengah mengintai. Aku baru tersadar saat sudah terbentur pada trotoar jalan raya. Seseorang mendorongku. Dan dia adalah ...
***
 “Aku menyukai caramu mengasihiku. Suka caramu membujukku untuk kembali hidup tanpa menoleh pada masa lalu. Bahkan aku hampir terpengaruh jauh. Tapi Ra, aku sadar kaumu ada hanya untuk saat ini. Waktu akan merenggutmu perlahan dan kamu akan pergi. Meninggalkanku. Seperti yang dilakukan ayah dan ibuku.”
“MIA!?!”
Aku tidak pernah tahu apa-apa tentangnya. Tentang penolongku. Tentang gadis yang  setahun silam menyelamatkanku. Yang aku tahu dia sebatang kara. Hidup di sebuah rumah kayu sederhana. Yang aku tahu akulah penyebab dua kakinya lumpuh. Itulah yang aku tahu tentangnya.
 Aku tidak pernah berani bertanya lebih jauh. Tidak sekalipun. Walau ribuan tanya terbesit di pikiranku. Aku takut melukainya lagi. Maka kupikir diam memandanginya cukup untukku. Cukup baginya. Tapi ... mengapa ia akhiri semuanya dengan belati?
Padahal aku belum mengajukan satu tanya untuknya. Satu saja.  Maukah kamu jadi saudaraku?(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)