Oleh: Nahlatul Azhar
“Jangan pernah
berharap lebih Ra, sebab yang lebih dari ini hanya akan membuatmu terluka.”
“Sejak kapan
kamu suka mandangin langit?” tanyaku dengan suara pelan pada Mia. Setahuku dia
tidak pernah suka menghabiskan waktunya percuma seperti ini. Dia akan memilih duduk
berjam-jam melahap novel koleksinya. Terlebih kalau aku habis beli novel baru
untuknya, semua waktu luangnya habis untuk dirinya sendiri.
“Hanya mencoba menikmati hidup saja,” jawabnya tanpa
menoleh. Aku jadi berpikir apa yang indah pada langit yang hanya memiliki dua
warna itu?
Aku lalu duduk di sampingnya, di depan jendela
kamarnya. Diam-diam aku mencari sesuatu yang menarik di atas sana. Dan lagi, hanya
biru dan putih yang kudapati.
“Aku ingin kita menjadi pasangan warna itu,” suara
Mia memecah keheningan, “aku biru dan kamu putih,” lanjutnya lagi.
“Kenapa biru?” walau tidak mengerti apa maksud Mia,
aku tidak ingin terlihat bodoh. aku selalu berharap bisa masuk dalam dunia Mia.
Dunia yang selalu membuatnya asik sendiri tanpa peduli sekelilingnya, termasuk
keberadaanku.
“Jika memilih putih aku mungkin akan menghilang.
Kulitku sudah terlalu pucat untuk memilih warna itu.”
Aku terdiam. Lama. Berpikir apa maksud ucapannya.
Sambil memandangi wajahnya yang hanya menyimpan musim duka.
***
“Ra, aku
selalu mengatakan jangan padamu. Tahukah Ra, sebenarnya aku menginginkan
lebih.”
Sore ini setelah menyelesaikan semua tugasku di
rumah bergegas aku ke rumah Mia. Aku penasaran dengan kabarnya hari ini. Terakhir
kami saling memberi nama aku putih dan dia biru. Mungkin terdengar aneh, tapi
aku selalu suka cara Mia menamai benda.
Pernah kuberikan sebuah boneka padanya. Dan dengan
tenang dia bilang, “Kamu membawakanku kerjaan lagi.” Aku tentu bingung dengan
perkataannya, yang aku pikir adalah dia akan tersenyum senang menerima
pemberianku.
“Aku harus memberinya nama lagi. Hmm ... nama apa ya
yang belum kupakai?” tanyanya. Tanya yang ditujukan pada dirinya sendiri.
“Aku tidak bilang sulit, hanya saja itu sebuah
pekerjaan bagiku. Aku tidak mau memilih nama yang asal. Ini pemberian darimu,
terimakasih.”
“Iya, tapi kenapa harus pakai nama?”
“Semua yang ada di ruangan ini adalah temanku. Hanya
mereka temanku, jadi aku harus memberi mereka nama!” ada nada aneh pada
suaranya. Sesuatu yang air mataku tiba-tiba mengalir saat itu.
“Lalu aku
siapa bagimu Mia?” hatiku tidak terima.
***
“Jangan pernah
berharap pada yang lain, Ra. Mereka semua hanya akan meninggalkanmu. Saat itu
terjadi kamu akan putus asa dan berharap mati secepat yang kamu bisa.”
Aku hampir sampai di rumahnya. Aku tidak datang
seorang diri, aku kembali membawakan Mia sebuah novel. Novel yang selama ini ia
inginkan. Aku yakin Mia akan memberi nama pada buku itu lagi. Aku tidak akan
protes seperti saat itu. Aku akan diam-diam memandanginya lagi dengan begitu
aku sudah masuk ke dalam dunianya. Dunia Mia.
Jadi teringat pertemuan pertama kami. Saat itu tepat
hari pengumuman kelulusanku di SMP, saking senangnya aku berlari menerobos
hujan. Aku yang terkenal bandel memang tengah berjanji pada diriku, jika lulus
aku akan merubah semua sikap burukku.
Hujan benar-benar berkuasa hari itu. Aku yang
berlari dalam keramaiannya tidak menyadari bahaya tengah mengintai. Aku baru
tersadar saat sudah terbentur pada trotoar jalan raya. Seseorang mendorongku.
Dan dia adalah ...
***
“Aku menyukai caramu mengasihiku. Suka caramu
membujukku untuk kembali hidup tanpa menoleh pada masa lalu. Bahkan aku hampir
terpengaruh jauh. Tapi Ra, aku sadar kaumu ada hanya untuk saat ini. Waktu akan
merenggutmu perlahan dan kamu akan pergi. Meninggalkanku. Seperti yang
dilakukan ayah dan ibuku.”
“MIA!?!”
Aku tidak pernah tahu apa-apa tentangnya. Tentang
penolongku. Tentang gadis yang setahun
silam menyelamatkanku. Yang aku tahu dia sebatang kara. Hidup di sebuah rumah
kayu sederhana. Yang aku tahu akulah penyebab dua kakinya lumpuh. Itulah yang
aku tahu tentangnya.
Aku tidak
pernah berani bertanya lebih jauh. Tidak sekalipun. Walau ribuan tanya terbesit
di pikiranku. Aku takut melukainya lagi. Maka kupikir diam memandanginya cukup
untukku. Cukup baginya. Tapi ... mengapa ia akhiri semuanya dengan belati?
Padahal aku belum mengajukan satu tanya untuknya. Satu
saja. Maukah kamu jadi saudaraku?(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)