“Kenapa kamu tidak kembali saja ke mantanmu yang
dulu?” taya Flo. Pertanyaan yang sebenarnya tak ingin ia ucapkan.
“Tahu apa kamu tentang mantanku?” Nimo malah balik
bertanya sebagai jawaban pertanyaan Flo. Raut wajahnya santai, sama sekali tak
menampakkan isi hati yang sebenarnya.
“Bukankah katamu dulu kalau dia sangat baik?” Flo
mulai was-was. Biasanya Nimo akan mengakhiri pembahasan tentang masa lalu
dengan sekali jawab. Tak ada kalimat tanya yang ia ucapkan.
Baik menurutmu
belum tentu sama menurutku. Baik saat itu belum tentu sama saat ini, lagi pula
... dulu aku hanya berusaha terlihat baik di hadapanmu. Kamu tahu, inginku kamu
cemburu saat itu. Andai saja ...
“Kenapa? Apa petanyaanku terlalu sulit?” Flo mulai
tidak sabar menunggu jawaban. Gadis berponi itu mencari kejelasan di wajah Nimo
yang justru menatap hamparan tanah kering di hadapannya.
“Flo, kamu tidak mengerti ...” desah Nimo.
“Maka buatlah aku mengerti!” suara Flo bergetar, ada
genangan air yang hendak mengalir dari kedua mata sayunya. Mata yang selalu
dipuji Nimo karena membuatnya merasakan ketenangan.
***
Nimo masih sibuk memilh kata-kata yang tepat agar
Flo bisa paham keadaan yang sebenarnya.
Bagaimana
menjelaskan semuanya padamu Flo?
“Atau ada wanita lain selain mantanmu yang baik itu?”
satu tanya lagi
Tentu ada,
wanita itu adalah kamu Flo. Kamu!
“Ya, dan aku sedang memilih di antara mereka,” suara
Nimo jelas memukul telak perasaan Flo. Gadis yang sejak tadi menahan air
matanya bergerak perlahan, menundukkan wajahnya lalu mengusap kedua pipinya.
Seolah takut Nimo tahu pertahanannya roboh. Flo menangis.
“Oh ...” tidak ada pilihan lain. Hanya itu yang
mampu ia katakan. Flo tidak mungkin bertanya lebih jauh.
Flo, bisakah
mengert tanpa perlu kujelaskan? Tanpa perlu memberimu racun itu?
Flo bergegas. Sebuah alasan meluncur seketika dari
bibir tipisnya yang bergetar. Nimo tidak menjawab saat Flo pamit.
Nimo menarik nafas panjang.
***
“Flo, kau tahu Rita? Sepertinya dialah wanita yang
akan aku pilih. Mungkin kamu akan marah, aku tahu kamu membencinya ...” jeda.
Nimo kembali bermain dengan kalimatnya, berusaha tenang, dan membuang
pandangannya jauh dari gundukan tanah di depannya.
“Dia sebenarnya baik Flo. Sangat baik. Rita pernah
ke rumahku Flo, dia mendapati ibu yang sakit dan tanpa pikir panjang membawanya
ke rumah sakit. Kamu tahu sendiri kan bagamana ibu tidak pernah ingin ke rumah
sakit, kamu juga tahu biaya rumah sakit yang mahal menjadi alasan ibu. Tapi Flo
... semenjak dibawa Rita, ibu tidak lagi menolak, ia bahkan semakin sehat saat
ini. Senyum juga semakin sering di perlihatkkan ibu.”
Nimo berusaha tersenyum saat bercerita. Pun begitu,
sepasang matanya tak menolak saat tangisnya mulai pecah.
“Tapi Flo ... ibu masih sering memimpikanmu,
memanggil namamu tiap malam, lalu menahan tangis. Takut aku mendengarnya. Flo
... bukan hanya ibu aku pun masih memimpikanmu, ikut menangisimu di balik pintu
kamar ibu. Flo, aku rindu ...”
“Tidak pernah kutolak rasa itu datang pada kita.
Tidak kupungkiri aku pun sama denganmu, akan rasa suka yang tumbuh. Hanya saja
aku menyesalkan situasi kita, jauh sebelum rasa itu tumbuh, dulu sekali. Kenapa
kita harus terpisah? Kenapa ibu membiarkanmu pergi bersama orang lain? Juga fakta
kamu adalah saudariku adalah yang terburuk. Harusnya aku senang kan? Tapi Flo,
aku justru tidak bisa memberitahumu dan membiarkanmu pergi hari itu ...”
Angin bertiup lembut. Nimo menghapus air matanya.
“Flo, aku menyesal tidak menahamu hari itu. Aku
menyesal tidak memberitahumu. Aku ... harusnya kukatakan ‘kau adikku’ walau hal
itu menyakiti kita berdua!”
Nimo kembali menangis. Tangisan sepi, di depan makam
Flo, adiknya.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)