Oleh: Nahlatul Azhar
Ketika
pada akhirnya kau pergi, yang kupikirkan hanya diriku. Bagaimana tanpamu?
Kusingkirkan kemana kenangan kita nanti? Mimpi yang kita racik bersama harus
kuapakan? Aku lupa bertanya padamu, maukah tinggal bersamaku?
Sunyi.
Tak ada lagi suasana pagi mencekam saat kau dapati tumpukan buku di atas tempat
tidurku. Juga tidak ada lagi teriakan marahmu yang mendapati pakaian kotorku di
sembarang tempat. Tak ada muka masam menyambut tiap pagiku. Kau yang menarik selimutku
dengan paksa, membuka jendela kamarku lebar-lebar demi cahaya matahari pagi
yang katamu sehat, lalu menggelitikku hingga terbangun. Tidak ada lagi semua
itu.
Kau
benar-benar pergi, itu menjadi penyesalan terbesarku. Bukannya mencari cara
menahanmu, aku justru terdiam kaku dan tak melakukan apa-apa. Memandang
kepergianmu pun aku enggan saat itu. Pun saat kau berkata, “Aku berangkat Za,”
kalimat terakhirmu sebelum bayanganmu hilang ditelan pintu rumah kita.
“Za,
maafkan aku.”
Sekali
lagi kudengar bisikan angin membawa suaramu yang berisikan permohonan maaf.
Untuk apa, jika akhirnya aku benar-benar hanya seorang diri. Harusnya aku
memintamu. Harusnya. Ah ... sulit memintamu memadamkan mimpi yang telah terajut
indah. Mimpimu. Bukan lagi mimpi kita berdua.
Kau
bahkan lupa janji kita untuk terus bersama sampai kapanpun. Sayangnya aku pun
lupa mengingatkanmu akan hal itu. Aku yang lupa dan kau pura-pura tidak
mengingatnya.
“Za,
sekarang januari lagi. Masihkah enggan membuka matamu?”
***
Satu
Januari. Sisa-sisa pesta penyambutan tahun baru masih tersisa. Disana sini
jalan masih sunyi pertanda para pelakon tahun baru masih asik dalam dunia
mimpi. Tapi tidak denganku. Lalu ... kami bertemu.
Kami
dipertemukan dalam kesamaan yang memilukan. Dalam duka dan kebisuan. Dengan
langkah mantap seorang remaja seusiaku mendekat. Wajahnya penuh lebam. Pakaian
yang dikenakan pun sangat tak layak. Yang tersisa pada wajahnya hanya senyum
untukku.
Aku
enggan pada awalnya. Dia sudah pasti hanya akan meminta jatah makanku. Tapi ...
“Aku
Lara, kamu?” tanyanya tanpa mengulurkan tangan. Hanya sepasang matanya yang
menari-nari menatapku.
“Reza,”
jawabku singkat.
Sejak
saat itu kami bukan lagi kebisuan yang berjalan sendiri-sendiri. Kami lantas
menjadi sekawan mimpi. Mencari asa pada mahalnya kehidupan. Aku dan Lara.
“Kita
harus menjadi orang kaya!” ucap Lara tiap kali kami akan meninggalkan rumah
kecil peninggalan orang tuaku untuk mencari kerja. Kerja apa saja.
“Kenapa
harus kaya?” tanyaku.
Sebelum
menjawab pertanyaanku, Lara tersenyum. Seyum yang tak kumengerti.
“Kau
tahu, Za? Cukuplah namaku yang hidup menderita. Sebagaimana lara yang
dihadiahkan orang tuaku. Lebih dari itu aku tidak mau. Makanya, aku dan kamu
harus menjadi kaya,” jelasnya.
Lara, namamu memang terlalu banyak menyimpan
duka.
***
“Za,
sekarang januari lagi. Masihkah enggan membuka matamu?” Kali ini kalimat itu
memenuhi gendang telingaku.
Bukan
enggan membuka mata, menjadikan hatiku rela pada sebuah perpisahan yang
lagi-lagi menyesakkan hatiku. Sungguh, aku ingin bangun dari mimpi buruk bahwa
Lara, gadis yang selama ini kuanggap saudara tak lagi membangunkanku di pagi
hari. Tapi aku sulit sadar dari ikatan mimpi kami. Hatiku terlalu rapuh saat ia
meninggalkanku. Aku bahkan tidak mempersiapkan diri untuk perpisahan kami saat
itu.
“Mungkin
kita masih akan bertemu, Za. Hanya tidak untuk sementara waktu sampai kau tahu
batasan kita yang sebenarnya.”Batasan. Itu yang dikatakan Lara.
Seminggu
terakhir sebelum kepergian Lara, ia memang banyak berubah. Walau tidak aku
katakan tapi ia memang berubah. Seperti menjauh dariku. Seperti menghindari
kontak fisik denganku. Tak ada lagi gelitikan khas Lara juga adegan tanganku
mengacak-acak rambut panjangnya. Tak ada pula pandangan matanya yang marah saat
buku diarynya aku baca.
Kebersamaan
kami seminggu terakhir memang berbeda. Berubah. Bahkan ia menjadi aneh. Aku
tidak peduli awalnya, toh aku pikir hanya sementara saja. Tapi saat suatu pagi
dengan menutup kepalanya, pakaian lengan panjang dan rok panjang hingga mata
kakinya, Lara pamit padaku. Bukan untuk sehari, seminggu, atau sebulan. Bukan.
Yang dia katakan adalah, “Aku harus pergi, kita tidak boleh seperti ini.”
Aku
tak paham, ilmu apa yang membuatnya berubah. Aku tak mengerti. Terlebih setelah
itu aku tak melihatnya lagi. Lara benar-benar pergi dariku. Aku kembali
sendiri. Menikmati bergelas-gelas duka hingga detik, menit, jam, hari, hingga
bulan saling memburu. Mencari jalan menuju akhir dari sebuah tahun yang berlalu
begitu saja.
Dan
apa yang aku lakukan? Kucari jawaban dari sejuta tanya yang memenuhi kepalaku.
Dan salah satunya, “Kenapa Lara harus pergi?”
*Penulis
merupakan anggota FLP Ranting UNISMUH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)