Kamis, 19 Juni 2014

Lara pada Januari (KeKeR, Sabtu 4 Januari 2014)



Oleh: Nahlatul Azhar
Ketika pada akhirnya kau pergi, yang kupikirkan hanya diriku. Bagaimana tanpamu? Kusingkirkan kemana kenangan kita nanti? Mimpi yang kita racik bersama harus kuapakan? Aku lupa bertanya padamu, maukah tinggal bersamaku?
Sunyi. Tak ada lagi suasana pagi mencekam saat kau dapati tumpukan buku di atas tempat tidurku. Juga tidak ada lagi teriakan marahmu yang mendapati pakaian kotorku di sembarang tempat. Tak ada muka masam menyambut tiap pagiku. Kau yang menarik selimutku dengan paksa, membuka jendela kamarku lebar-lebar demi cahaya matahari pagi yang katamu sehat, lalu menggelitikku hingga terbangun. Tidak ada lagi semua itu.
Kau benar-benar pergi, itu menjadi penyesalan terbesarku. Bukannya mencari cara menahanmu, aku justru terdiam kaku dan tak melakukan apa-apa. Memandang kepergianmu pun aku enggan saat itu. Pun saat kau berkata, “Aku berangkat Za,” kalimat terakhirmu sebelum bayanganmu hilang ditelan pintu rumah kita.
“Za, maafkan aku.”
Sekali lagi kudengar bisikan angin membawa suaramu yang berisikan permohonan maaf. Untuk apa, jika akhirnya aku benar-benar hanya seorang diri. Harusnya aku memintamu. Harusnya. Ah ... sulit memintamu memadamkan mimpi yang telah terajut indah. Mimpimu. Bukan lagi mimpi kita berdua.
Kau bahkan lupa janji kita untuk terus bersama sampai kapanpun. Sayangnya aku pun lupa mengingatkanmu akan hal itu. Aku yang lupa dan kau pura-pura tidak mengingatnya.
“Za, sekarang januari lagi. Masihkah enggan membuka matamu?”
***
Satu Januari. Sisa-sisa pesta penyambutan tahun baru masih tersisa. Disana sini jalan masih sunyi pertanda para pelakon tahun baru masih asik dalam dunia mimpi. Tapi tidak denganku. Lalu ... kami bertemu.
Kami dipertemukan dalam kesamaan yang memilukan. Dalam duka dan kebisuan. Dengan langkah mantap seorang remaja seusiaku mendekat. Wajahnya penuh lebam. Pakaian yang dikenakan pun sangat tak layak. Yang tersisa pada wajahnya hanya senyum untukku.
Aku enggan pada awalnya. Dia sudah pasti hanya akan meminta jatah makanku. Tapi ...
“Aku Lara, kamu?” tanyanya tanpa mengulurkan tangan. Hanya sepasang matanya yang menari-nari menatapku.
“Reza,” jawabku singkat.
Sejak saat itu kami bukan lagi kebisuan yang berjalan sendiri-sendiri. Kami lantas menjadi sekawan mimpi. Mencari asa pada mahalnya kehidupan. Aku dan Lara.
“Kita harus menjadi orang kaya!” ucap Lara tiap kali kami akan meninggalkan rumah kecil peninggalan orang tuaku untuk mencari kerja. Kerja apa saja.
“Kenapa harus kaya?” tanyaku.
Sebelum menjawab pertanyaanku, Lara tersenyum. Seyum yang tak kumengerti.
“Kau tahu, Za? Cukuplah namaku yang hidup menderita. Sebagaimana lara yang dihadiahkan orang tuaku. Lebih dari itu aku tidak mau. Makanya, aku dan kamu harus menjadi kaya,” jelasnya.
 Lara, namamu memang terlalu banyak menyimpan duka.
***
“Za, sekarang januari lagi. Masihkah enggan membuka matamu?” Kali ini kalimat itu memenuhi gendang telingaku.
Bukan enggan membuka mata, menjadikan hatiku rela pada sebuah perpisahan yang lagi-lagi menyesakkan hatiku. Sungguh, aku ingin bangun dari mimpi buruk bahwa Lara, gadis yang selama ini kuanggap saudara tak lagi membangunkanku di pagi hari. Tapi aku sulit sadar dari ikatan mimpi kami. Hatiku terlalu rapuh saat ia meninggalkanku. Aku bahkan tidak mempersiapkan diri untuk perpisahan kami saat itu.
“Mungkin kita masih akan bertemu, Za. Hanya tidak untuk sementara waktu sampai kau tahu batasan kita yang sebenarnya.”Batasan. Itu yang dikatakan Lara.
Seminggu terakhir sebelum kepergian Lara, ia memang banyak berubah. Walau tidak aku katakan tapi ia memang berubah. Seperti menjauh dariku. Seperti menghindari kontak fisik denganku. Tak ada lagi gelitikan khas Lara juga adegan tanganku mengacak-acak rambut panjangnya. Tak ada pula pandangan matanya yang marah saat buku diarynya aku baca.
Kebersamaan kami seminggu terakhir memang berbeda. Berubah. Bahkan ia menjadi aneh. Aku tidak peduli awalnya, toh aku pikir hanya sementara saja. Tapi saat suatu pagi dengan menutup kepalanya, pakaian lengan panjang dan rok panjang hingga mata kakinya, Lara pamit padaku. Bukan untuk sehari, seminggu, atau sebulan. Bukan. Yang dia katakan adalah, “Aku harus pergi, kita tidak boleh seperti ini.”
Aku tak paham, ilmu apa yang membuatnya berubah. Aku tak mengerti. Terlebih setelah itu aku tak melihatnya lagi. Lara benar-benar pergi dariku. Aku kembali sendiri. Menikmati bergelas-gelas duka hingga detik, menit, jam, hari, hingga bulan saling memburu. Mencari jalan menuju akhir dari sebuah tahun yang berlalu begitu saja.
Dan apa yang aku lakukan? Kucari jawaban dari sejuta tanya yang memenuhi kepalaku. Dan salah satunya, “Kenapa Lara harus pergi?”
*Penulis merupakan anggota FLP Ranting UNISMUH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)