Sabtu, 31 Mei 2014

Vila (KeKeR, Sabtu 31 Maret 2014)


Foto by: Kak Syahrir Alghifary Neo

Oleh: Nahlatul Azhar
Mengapa aku yang mengalaminya? Kenapa bukan dia saja?
Aku memandangi Vila yang berdiri di depan cermin.Wajah putihnya dihias. Seperti biasa ia selalu berpenampilan cantik walau dengan baju yang masih tertutup rapat. Vila yang dulunya tidak peduli wajahnya berminyak, bajunya biasa saja, rambut yang selalu dikuncir, kini telah berubah. Tak ada lagi Vila lugu yang selalu mengikutiku. Dia benar-benar bukan Vila yang ku kenal.
“Berangkat dulu ya, Vin. Kalau ibu datang kasih tahu saja aku berangkat lebih cepat, sudah ditelepon sama Kak Dion,” ucap Vila. Ia menatapku sesaat, tentu saja aku lebih dulu membuang pandanganku ke luar jendela.
“Vin ... sebenarnya kamu kenapa? Apa kamu akan terus memperlakukan aku begini?” tanyanya. Dan ini bukan yang pertama kalinya Vila bertanya.
“Vin, Kalau aku ada salah kamu bilang dong!” suara Vila bergetar. Aku tahu ia pasti akan menangis sebentar lagi. Dan ... aku tidak akan peduli. Dia yang memulai semua ini. Vila yang menumbuhkan rasa benciku padanya.
Masih kudengar helaan nafas berat Vila sebelum akhirnya ia berlalu keluar kamar. Kini tinggal aku yang merenung. Ya! Ini semua karenanya.
***
Lima bulan yang lalu ...
“Aku duduk di tengah ya, dekat ibu,” ucap Vila saat kami bersiap siap berangkat ke rumah nenek, ibu dari ibu kami. Padahal aku juga ingin duduk dekat dengan ibu. Tapi demi Vila aku mengalah saja. Walau perebdaan umur kami hanya beberapa menit tapi tetap saja aku terlahir lebih dulu. Itu artinya akulah yang menjadi kakak baginya.
“Baiklah,” jawabku. Vila memang lumayan manja. Terlebih jika bersamaku. Walaupun kami anak kembar, wajahnya juga lebih cantik dariku. Dia dianugrahi kecantikan, sedangkan aku lebih kepada kepintaran. Jika Vila dipuji karena kecantikannya, maka aku pun mendapat pujian karena prestasiku di sekolah.
Karena kecantikan Vila pula ia sering ditawari menjadi model. Tapi ditolaknya dengan alasan ia masih terlalu muda. Kami memang baru duduk di kelas 3 SMP saat itu.
Mobil melaju lumayan cepat menembus gelapnya malam. Hujan yang tadinya rintik-rintik saat kami bersiap berangkat, sekarang turun dengan lebatnya. Jalan ke rumah nenek memang sepi. Mungkin karena hujan. Makanya takxi yang membawa kami juga melaju cepat.
Aku menatap keluar jendela. Di sampingku Vila asik bercerita tentang kegiatan sekolah kami pada ibu . Tapi tidak lama ... karena setelahnya kurasakan tubuhku terbentur keras. Wajahku memanas. Puing-puing kaca menusuk mukaku. Dan kakiku ... kakiku tidak bisa digerakkan. Terakhir kudengar teriakan keras Ibu dan Vila. Setelah itu ... aku tidak ingat apa-apa lagi.
***
Kecelakaan yang menimpa kami lima bulan yang lalu telah merenggut kebahagiaanku. Kaki kananku tidak bisa diselamatkan lagi. Amputasi menjadi pilihan terakhir. Akibatnya kini aku hanya bisa duduk di rumah. Merenungi nasibuku. Tidak ada lagi wajah cerah seorang Vina. Yang ada aku hanya mengurung diri di kamr. Bahkan aku tidak pernah lagi ke sekolah. Yang paling aku sesalkan adalah, Vila tiba-tiba ingin menjadi model. Hal yang selama ini tidak ingin dia lakukan. Dia seakan ingin pamer di hadapanku.
“Nak, sampai kapan kamu akan mengurung diri di kamar?” Suara ibu membuyarkan lamunanku. Sebenarnya aku bersyukur juga hanya aku yang mengalami luka saat kecelakaan itu. Tidak bisa aku bayangkan jika ibu yang mengalaminya. Bagaimana dengan aku dan Vila? Padahal hanya ibu lah sekarang yang kami punya.
“Bu ...” aku memeluk ibu. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Aku marah pada Vila. Tapi aku juga tidak memungkiri bahwa sikapku ini tidak baik dan justru menambah beban ibu.
“Nak, ada yang ingin ibu sampaikan padamu. Vila sebenarnya melarang ibu, tapi ibu tidak ingin kamu terus terlarut dalam kebencianmu padanya,” ibu melepas pelukannya, wajahnya serius menatapku.
“Vila memutuskan menjadi model alasannya adalah kamu. Vila ingin membelikan kaki palsu untukmu dari hasil jerih payahnya,” lanjut ibu. Kaki palsu? Aku tidak pernah membayangkannya, benda semahal itu mau beli pakai apa?
Tapi kenapa Vila tidak menjelaskannya, apa susahnya memberi tahuku?
 Air mataku jatuh. Inilkah jawaban pertanyaanku selama ini: kenapa aku yang mengalaminya dan bukan Vila? Mungkin alasannya karena aku belum tentu bisa melakukan apa yang ia lakukan.
Ah Vila ... tiba-tiba aku merasa sangat rindu padanya.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)