![]() |
Foto by: Kak Syahrir Alghifary Neo |
Oleh:
Nahlatul Azhar
Mengapa aku
yang mengalaminya? Kenapa bukan dia saja?
Aku memandangi Vila yang berdiri di depan
cermin.Wajah putihnya dihias. Seperti biasa ia selalu berpenampilan cantik
walau dengan baju yang masih tertutup rapat. Vila yang dulunya tidak peduli
wajahnya berminyak, bajunya biasa saja, rambut yang selalu dikuncir, kini telah
berubah. Tak ada lagi Vila lugu yang selalu mengikutiku. Dia benar-benar bukan
Vila yang ku kenal.
“Berangkat dulu ya, Vin. Kalau ibu datang kasih tahu
saja aku berangkat lebih cepat, sudah ditelepon sama Kak Dion,” ucap Vila. Ia
menatapku sesaat, tentu saja aku lebih dulu membuang pandanganku ke luar
jendela.
“Vin ... sebenarnya kamu kenapa? Apa kamu akan terus
memperlakukan aku begini?” tanyanya. Dan ini bukan yang pertama kalinya Vila
bertanya.
“Vin, Kalau aku ada salah kamu bilang dong!” suara Vila
bergetar. Aku tahu ia pasti akan menangis sebentar lagi. Dan ... aku tidak akan
peduli. Dia yang memulai semua ini. Vila yang menumbuhkan rasa benciku padanya.
Masih kudengar helaan nafas berat Vila sebelum
akhirnya ia berlalu keluar kamar. Kini tinggal aku yang merenung. Ya! Ini semua
karenanya.
***
Lima bulan yang lalu ...
“Aku duduk di tengah ya, dekat ibu,” ucap Vila saat
kami bersiap siap berangkat ke rumah nenek, ibu dari ibu kami. Padahal aku juga
ingin duduk dekat dengan ibu. Tapi demi Vila aku mengalah saja. Walau perebdaan
umur kami hanya beberapa menit tapi tetap saja aku terlahir lebih dulu. Itu
artinya akulah yang menjadi kakak baginya.
“Baiklah,” jawabku. Vila memang lumayan manja.
Terlebih jika bersamaku. Walaupun kami anak kembar, wajahnya juga lebih cantik
dariku. Dia dianugrahi kecantikan, sedangkan aku lebih kepada kepintaran. Jika
Vila dipuji karena kecantikannya, maka aku pun mendapat pujian karena
prestasiku di sekolah.
Karena kecantikan Vila pula ia sering ditawari
menjadi model. Tapi ditolaknya dengan alasan ia masih terlalu muda. Kami memang
baru duduk di kelas 3 SMP saat itu.
Mobil melaju lumayan cepat menembus gelapnya malam.
Hujan yang tadinya rintik-rintik saat kami bersiap berangkat, sekarang turun
dengan lebatnya. Jalan ke rumah nenek memang sepi. Mungkin karena hujan.
Makanya takxi yang membawa kami juga melaju cepat.
Aku menatap keluar jendela. Di sampingku Vila asik
bercerita tentang kegiatan sekolah kami pada ibu . Tapi tidak lama ... karena
setelahnya kurasakan tubuhku terbentur keras. Wajahku memanas. Puing-puing kaca
menusuk mukaku. Dan kakiku ... kakiku tidak bisa digerakkan. Terakhir kudengar
teriakan keras Ibu dan Vila. Setelah itu ... aku tidak ingat apa-apa lagi.
***
Kecelakaan yang menimpa kami lima bulan yang lalu
telah merenggut kebahagiaanku. Kaki kananku tidak bisa diselamatkan lagi.
Amputasi menjadi pilihan terakhir. Akibatnya kini aku hanya bisa duduk di
rumah. Merenungi nasibuku. Tidak ada lagi wajah cerah seorang Vina. Yang ada
aku hanya mengurung diri di kamr. Bahkan aku tidak pernah lagi ke sekolah. Yang
paling aku sesalkan adalah, Vila tiba-tiba ingin menjadi model. Hal yang selama
ini tidak ingin dia lakukan. Dia seakan ingin pamer di hadapanku.
“Nak, sampai kapan kamu akan mengurung diri di
kamar?” Suara ibu membuyarkan lamunanku. Sebenarnya aku bersyukur juga hanya
aku yang mengalami luka saat kecelakaan itu. Tidak bisa aku bayangkan jika ibu
yang mengalaminya. Bagaimana dengan aku dan Vila? Padahal hanya ibu lah
sekarang yang kami punya.
“Bu ...” aku memeluk ibu. Aku benar-benar tidak tahu
harus bagaimana. Aku marah pada Vila. Tapi aku juga tidak memungkiri bahwa
sikapku ini tidak baik dan justru menambah beban ibu.
“Nak, ada yang ingin ibu sampaikan padamu. Vila
sebenarnya melarang ibu, tapi ibu tidak ingin kamu terus terlarut dalam
kebencianmu padanya,” ibu melepas pelukannya, wajahnya serius menatapku.
“Vila memutuskan menjadi model alasannya adalah
kamu. Vila ingin membelikan kaki palsu untukmu dari hasil jerih payahnya,”
lanjut ibu. Kaki palsu? Aku tidak pernah membayangkannya, benda semahal itu mau
beli pakai apa?
Tapi kenapa Vila tidak menjelaskannya, apa susahnya
memberi tahuku?
Air mataku
jatuh. Inilkah jawaban pertanyaanku selama ini: kenapa aku yang mengalaminya
dan bukan Vila? Mungkin alasannya karena aku belum tentu bisa melakukan apa
yang ia lakukan.
Ah Vila ... tiba-tiba aku merasa sangat rindu
padanya.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)