Sabtu, 31 Mei 2014

Memeluk Senja (Dimuat di Koran Cakrawala)



Oleh: Nahlatul Azhar
Senja menua. Berpamitan bersama tenggelamnya sang raja langit. Dan aku terpaku pada nisan yang berkisah pilu.
Lima tahun yang lalu aku meninggalkan dia yang kupanggil ibu dengan rasa malu. Bukan tanpa alasan, setiap kali kupanggil wanita itu dengan kata ibu, saat itu pula cemooh menghampiri telingaku. Hanya segelintir simpati untukku dan ibu. Sedikit saja, dan selebihnya hanya menonton dari jauh, juga sesekali berbisik agar tak menggaggu kami.
Lima tahun lalu saat hendak memasuki bangkus es-em-a, dengan wajah tak bersalah kutinggalkan ibu seorang diri. Aku kabur dari nasib yang membelenggu. Mencari kelayakan yang bisa menerimaku tanpa kehadiran wanita itu.
Lima tahun yang lalu. Kukubur rasa bersalahku dan menjauhi ibu tanpa tahu apa yang ingin disampakannya.
Lima tahun setelah kepergianku, dan kembali dengan kemenangan untuk ibu. Kemenangan yang direnggut olehnya. Lagi.
***
“Heh! Untuk apa kau kembali?” cibiran itu datang dari Mira. Sahabatku, sebelum aku pergi dulu.
“Mira, maafkan aku ... “
Susah payah kuracik kata demi kata agar ia mengerti.
“Maaf?! Hewan pun paham untuk tidak meninggalkan induknya yang sakit, sedang kau...” ada kilatan marah di kedua mata Mira. Sahabat sekaligus wanita yang pernah kucintai.
“Mira ...”
Aku menelan ludahku. Ah, betapa sulit menemukan kata yang pas untuk menjelaskan situasiku. Mungkin memang hanya maaf karena akulah yang salah.
“Ibuku ... dimana dia sekarang?” tanyaku. Satu beban berat telah kuletakkan. Sebuah pertanyaan yang sekian lama membatu di hatiku akhirnya mencair juga.
“Ibu? Ibumu? Sejak kapan kau sebut wanita itu ibu?”
Ah, Mira ...
Kapan kau bisa mengerti jika aku selalu menganggapnya ibu. Justru keadaan di sekitarkulah yang memaksaku menjauh dari ibu.
“Bahkan ibumu berencana menyusulmu hari itu,” penjelasan itu sedikit memberikan cahaya padaku.
“Jadi ... ibu menyusulku?”
“Untuk apa? Jelaskan padaku Wan, untuk apa wanita itu menyusul anak durhaka sepertimu?” suara Mira semakin meninggi.
“Mira, harusnya kau paham perasaan seorang ibu, sebab kau adalah ibu dari anakmu. Sedangkan ibu tak akan pernah membenci anaknya, terlebih ibuku yang mengerti keinginanku!” aku tidak sanggup jika hanya diam mendengar Mira mencaciku.
“Tapi kau meninggalkannya, Wan ... “
“Tapi ibu mengerti aku ...”
“Tapi kau meninggalkannya dalam waktu yang lama, sangat lama ...”
Aku terdiam. Mira benar. Terlalu lama aku pergi.
“Ibu selalu menunggumu, Wan. Tak kenal waktu.”
Bahkan saat menjelang malam? Ketika senja?
Ibu tidak menyukai gelap, ibu akan meraung ketakutan jika lampu padam. Ibu marah jika aku duduk di depan rumah padahal hari mulai gelap, pun masih senja.
“Ibu menunggu hingga waktu menjemputnya ...”
Air mata Mira berguguran.
Aku ikut terguguk.
***
Kutatap senja. Tak ada takut seperti ketakutan ibu. Karena senja menyampaikan pesan jika malam akan datang. Karena senja menjadi wajah hangat ibu yang tak sempat kupeluk.
Senja beranjak. Kupeluk sebelum menghilang. Seperti memeluk ibu.(*)
Penulis merupakan anggota FLP Ranting Unismuh



4 komentar:

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)