Senja menua. Berpamitan bersama tenggelamnya sang
raja langit. Dan aku terpaku pada nisan yang berkisah pilu.
Lima tahun yang lalu aku meninggalkan dia yang
kupanggil ibu dengan rasa malu. Bukan tanpa alasan, setiap kali kupanggil
wanita itu dengan kata ibu, saat itu pula cemooh menghampiri telingaku. Hanya
segelintir simpati untukku dan ibu. Sedikit saja, dan selebihnya hanya menonton
dari jauh, juga sesekali berbisik agar tak menggaggu kami.
Lima tahun lalu saat hendak memasuki bangkus
es-em-a, dengan wajah tak bersalah kutinggalkan ibu seorang diri. Aku kabur
dari nasib yang membelenggu. Mencari kelayakan yang bisa menerimaku tanpa
kehadiran wanita itu.
Lima tahun yang lalu. Kukubur rasa bersalahku dan menjauhi
ibu tanpa tahu apa yang ingin disampakannya.
Lima tahun setelah kepergianku, dan kembali dengan
kemenangan untuk ibu. Kemenangan yang direnggut olehnya. Lagi.
***
“Heh! Untuk apa kau kembali?” cibiran
itu datang dari Mira. Sahabatku, sebelum aku pergi dulu.
“Mira, maafkan aku ... “
Susah payah kuracik kata demi kata agar
ia mengerti.
“Maaf?! Hewan pun paham untuk tidak
meninggalkan induknya yang sakit, sedang kau...” ada kilatan marah di kedua
mata Mira. Sahabat sekaligus wanita yang pernah kucintai.
“Mira ...”
Aku menelan ludahku. Ah, betapa sulit
menemukan kata yang pas untuk menjelaskan situasiku. Mungkin memang hanya maaf
karena akulah yang salah.
“Ibuku ... dimana dia sekarang?”
tanyaku. Satu beban berat telah kuletakkan. Sebuah pertanyaan yang sekian lama
membatu di hatiku akhirnya mencair juga.
“Ibu? Ibumu? Sejak kapan kau sebut
wanita itu ibu?”
Ah, Mira ...
Kapan kau bisa mengerti jika aku selalu
menganggapnya ibu. Justru keadaan di sekitarkulah yang memaksaku menjauh dari
ibu.
“Bahkan ibumu berencana menyusulmu hari
itu,” penjelasan itu sedikit memberikan cahaya padaku.
“Jadi ... ibu menyusulku?”
“Untuk apa? Jelaskan padaku Wan, untuk
apa wanita itu menyusul anak durhaka sepertimu?” suara Mira semakin meninggi.
“Mira, harusnya kau paham perasaan
seorang ibu, sebab kau adalah ibu dari anakmu. Sedangkan ibu tak akan pernah
membenci anaknya, terlebih ibuku yang mengerti keinginanku!” aku tidak sanggup
jika hanya diam mendengar Mira mencaciku.
“Tapi kau meninggalkannya, Wan ... “
“Tapi ibu mengerti aku ...”
“Tapi kau meninggalkannya dalam waktu
yang lama, sangat lama ...”
Aku terdiam. Mira benar. Terlalu lama
aku pergi.
“Ibu selalu menunggumu, Wan. Tak kenal
waktu.”
Bahkan saat menjelang malam? Ketika
senja?
Ibu tidak menyukai gelap, ibu akan meraung
ketakutan jika lampu padam. Ibu marah jika aku duduk di depan rumah padahal
hari mulai gelap, pun masih senja.
“Ibu menunggu hingga waktu menjemputnya
...”
Air mata Mira berguguran.
Aku ikut terguguk.
***
Kutatap senja. Tak ada takut seperti ketakutan
ibu. Karena senja menyampaikan pesan jika malam akan datang. Karena senja
menjadi wajah hangat ibu yang tak sempat kupeluk.
Senja beranjak. Kupeluk sebelum menghilang.
Seperti memeluk ibu.(*)
Penulis
merupakan anggota FLP Ranting Unismuh
kereenn
BalasHapusTerimakasih
Hapuskak,, share cara ngirim cerpen ke harian cakrawala dong :)
BalasHapusSippp :) makasih masukannya :)
Hapus