Jumat, 23 Mei 2014

Mengejar Akhir: Baru Memulai



Sebelum memulai proposal baru, izinkan hati mengungkap kisah. Eh, izinkan jemari mengungkap kisah.
Sudah hampir sebulan penerimaan judul berlalu. Aku termasuk beruntung karena lolos gelombang pertama. Pertama-tama alhamdulillah. Saat itu saya sedang di kampung dan dikabari teman yang baIk hatinya kalau judul saya di acc. Judul tentang menulis diary.
Judul keluar lalu melakukan beberapa kewajiban lain, membuat surat untuk dosen pembimbing, surat kontrol, juga membeli buku. Mengisi buku besar juga. Lepas dari semua kewajiban itu, aku justru mengalihkan pikiran ke dunia lain. Dunia yang membuatku jatuh cinta setengah hidup.
Menulis.
Bukannya menyusun proposal seperti kebanyakan kawan, saya justru menghilang ke Leang Leang. Tempat wisata dengan batu kapurnya yang mewah. Bukan untuk foto-fiti di antara batu-batu itu, melainkan berkumpul dengan para pencinta dunia menulis. Menggali asa, ilmu di antara bebatuan itu.
Nikmat yang saya pernah abaikan sebelum-sebelumnya.
Parahnya, ehmm ... kala itu aku telah menjadi sangat tua. Yang lain pada manggil kakak soalnya. Padahal kan ... mmm ... ah, sudahlah, abaikan yang ini. Intinya proposal kutinggalkan.
Minggu kedua.
Dengan semangat menggebu-gebu, saya berkunjung ke rumah dosen pembimbing yang bakal jadi tumpuan hidup di akhir hidup sebagai mahasiswa.
Saya mendesis. Alamak ... menurut kawan-kawan yang telah bertapa di rumah sang dosen, beliau sangat ... (sensor). Aku merinding, ketakutan, menggigil, karenanya (lebay).
Kataku: dosennya menantang.
Hari kamis saat itu (minggu kedua) aku dan kawanku berjalan menerobos hujan berharap sang doseng menerima kami beberapa jam ke depan.
Kami termasuk yang terdepan datangnya.
Menunggu beberapa saat dan pagar rumah sang dosen belum terbuka.
Kami melanjutkan perjalanan menuju mesjid tak jauh dari rumah beliau. Berteduhlah kami.
Singkat cerita (kelamaan nulis jadi letih) dosen tak ada, katanya ada sanak saudara yang meninggal. Kami pulang, aku masih menyisakan tanda tanya besar. Sangat besar.
Kamis kemarin, minggu ke tiga, kami ke sana lagi. Sang dosen sudah duduk manis. Kami menunggu antrian panjang.
Dan ...
Wow ...
Inilah yang namanya kuliah! Tak ada lagi sifat semau gue.
Dosen baik hati, yang membuat mahasiswa bimbingannya tunduk patu. Ala ratu gitu ... mengoreksi banyak hal. Ada saja kesalahan yang didapatnya. Bukankah itu memang tugasnya?
Tapi sudahlah ... yang terjadi padaku sangat mengesankan, “Ganti judul atau nilaimu hanya dapat dua, itu juga sudah paling tinggi!”
Degh!
Senyum mengembang. Hati menghancur.
Sudahlah ... menikmati adalah cara terbaik. Sampai malam ini, saat tulisan ini hendak terposting, aku masih tak mengganti apa-apa.
Bingung memulai. Dan memulai memang susah, ya kan? Atau cuman perasaanku saja?
Ayolah bantu aku merasa kuat. Sedikit saja. Bisa kau sumbangkan makanan di toplesmu?
Hahaha ... sudah, ini catatan awal rasanya jadi mahasiswa pengejar happy ending.
So, semangka dalam galau!
Makassar, 23 Mei 2014

6 komentar:

  1. Semangaaat, Nahla. Aku juga jadi ingin berkisah soal tugas akhir. Yang ... hmm ... :)

    Percayalah ... kita juga BISA. Dan kita tidak akan lahir prematur nantinya. Aku percaya ... selalu percaya bahwa Tuhan sedang mematangkan kita. :) :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Suka sama kata2 bijakta kak, dan kakak memang bijak yo, tenang sangat. Oke, Tuhan mematangkan kita, makanya pun galau saya berusaha menikmatinya heheh. Bar kate nangis2 juga hohoho :0 Makasih telah mampir Kak.

      Hapus
  2. semangat ya. komunikasi yang baik dengan dosen bakal bikin mahasiswa bisa dapet rekomendasi2 keren kalo nanti akhirnya mau ngelanjutin studi lagi lho, mba. jadi nikmati aja masa2nya yang sekarang. kali aja bisa jadi jalan pembuka buat takdir berikutnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Suka kalimat, "jalan pembuka buat takdir berikutnya." Sumbangan semangat ini.
      Makasih Mba Ila sudah mampir lagi.

      Hapus
  3. semangat k Nahlah... oia visit back duunkk.. :D

    BalasHapus

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)