Jumat, 23 Mei 2014

Hujan dalam Rupa Perempuan



http://www.google.com/imgres?
Ini tentang hujan yang mampir di kotaku sore ini. Menggagalkan beberapa rencana yang hendak mekar. Berubah layu. Bukan salah hujan, tapi niat yang berubah. Tapi hujan? Anggap saja hujan jika itu maumu. Tapi bagiku, ini tentang hujan yang lain.
Biarkan hujan berlalu, karena sebenarnya hujan tadi hanya mampir sejenak. Menggagalkan niatku untuk mencuri pemandangan indah di pantai bersamamu. Niat ke sana batal karena hujan. Dan pemandangan indah lenyap seketika. Hujan? Ya, karena hujan.
Bukan hujan penghalang yang ingin kukisahkan padamu. Bukan hujan yang menggalau di ujung mataku. Bukan hujan yang ditunggu bapak demi kelangsungan tanamannya di kebun. Bukan hujan yang membuat ibu jengkel karena tiga anaknya asik bermain menyebabkan demam di malam hari. Bukan! Melaikan hujan pada rupa perempuan.
Perempuan, laksana hujan yang menyimpan banyak kisah. Bagiku, bagimu?
Ah, diamlah. Aku yang akan berkisah terlebih dahulu.
http://gambarkartununik.blogspot.com
Hujan yang marah porak porandakan rumah sekitar sungai. Lukiskan amarah perempuan juga kutukannnya pada anak semata wayang. Atau bisa jadi ungkapan putus perempuan pada laki-laki yang
masih mencintainya. Hujan yang marah, atau perempuan yang benci?
Hujan lembut manjakan pandangan mata. Kala hadirnya bersama pelangi tujuh warna indah. Lembut. Sisakan hangat dan kerinduan. Perempuan pun sama saja. Kau tahu itu, bukankah katamu, kemarin aku bersama perempuan santun? Hah ... aku pun melihatnya.
http://ilikesunflower.wordpress.com
Sudahlah. Aku salah menyatakan hujan sama dengan perempuanmu. Aku menyerah.
Aku memilih tidur saja. Kepalaku berat. Mungkin karena hujan. Atau perempuan lain yang masuk dalam hidup kita.
**
Aku tahu, perempuan itu kau sumpahi. Bukan perkara kelakuannya yang  seronok tapi karena aku bersamanya sore itu. Hingga di matamu aku menjadi hina dan sama saja dengan yang lain, laki-laki pencipta luka di hati perempuan.
Itu tuduhan sebenarnya. Akankah kau marah dengan tiap sejenismu yang kujumpai? Kalimat tanya itu terucap begitu saja dariku. Kau jawab dengan sunyi dan hujan di kedua pipimu. Hujan yang kau samakan dengan dirimu. Hujan pada rupa perempuan.
Kau lupa akan janjiku, tak akan ada luka pada hati perempuan yang kucintai.
Katamu saja. Ucapmu pelan.
Sikapmu bahkan bertolak belakang dengan janji-janji itu. Kau palsukan janji sakral. Kau hanya anggur yang memabukkan di malam hari. Paginya aku tersadar dari janji. Sayang, aku telah sakit parah.
Bisikan bibirmu menjelma pekat.
Hujan menderas di luar rumah. Hujanmu.
Adakah penjelasanku yang akan menjernihkan suasana amukan ombak? Dapatkah kau dengarkan tanpa hujan di pipi-pipi putihmu?
Aku yang diam. Pun ingin menyentuh kedua pipimu yang putih. Memucat. Dan ... itu karenaku.
**
Samar kulihat kau terbangun. Aku pura-pura tak tahu. Tiga hari berlalu tanpa percakapan berarti. Mengundang tanya dua gadis kecil kita. Adakah perang antara kita tengah berlangsung? Tanya sulung kita. Kujawab dengan gelengan saja.
Kenapa diam-diaman?
Bungsu kita pun bertanya.
Ah, Nak ... kelak jadilah perempuan tangguh. Pun luka menghantui. Jangan seperti perempuan tua di depanmu.
Pun ketika kau pamit, tenggelam dalam riuh kesibukanmu, aku hanya diam. Toh, kau tak akan peduli, kan?
Aku mematung di depan pintu. Menatapmu jauh. Kau dalam langkah-langkah enggan. Aku tahu, ada sesal di matamu. Tapi perempuan mana yang rela begitu saja melepaskan salah yang paling ia takuti?
Rintik hujan jatuh. Satu yang tertangkap mataku, lalu ribuan yang menggila seketika.
Aku teringat sesuatu.
Kau tak membawa payung sedang hujan sangat deras.
Kucari benda itu. Kuterobos hujan setelahnya.
Payungmu!
Teriakku.
Kau menoleh, menatapku sesaat.
Kenapa tak kau pakai? Hujan akan membuatmu tambah sakit.
Ucapmu.
Aku lupa mengenakan payung. Ah ... aku lupa, seperti dulu.
Kau mendekat. Mengambil payung dari tanganku. Membukanya. Menyerahkan padaku. Kulihat matamu merah. Adakah hujan juga mengalir di sana?
Pakailah.
Pelan.
Aku terdiam.
Bisakah memaafkan kesalahpahaman kita. Beri aku waktu menjelaskan segalanya.
Bahwa hujan tak hanya tentang perempuan-perempuan yang hangat atau terluka. Bukan hanya dalam rupamu semata, Sayang. Hujan ...
Jeda.
Hujan juga ada pada mereka yang tak menjadi perempuan seutuhnya. Perempuan dalam cerahnya mentari dan gerimis hujan yang datang bersama.
Maksudmu.
Hah ... kau menarik nafas. Ada senyum sedikit di sana. Ah, aku merindukan itu. sangat merindukannya.
Perempuan yang kutemui adalah seorang waria. Dia ingin menormalkan hidupnya. Dengan
http://elamsan.wordpress.com
meminta bantuanku.
Aku tercengang.
Kau kadang lupa mataharimu sungguh berarti, Sayang.
Matahariku. Laki-laki yang berdiri di depanku dengan payung di tangannya.
Aku luluh.
Ah perempuan dan hujan yang menghangat.
Mari kita pulang, kusajikan segelas kopi cinta untukmu. Biarkan demam menjalari kita agar hangatnya melekat pada dinding-dinding rumah kita. Lagi. Bersamamu, Cinta.
**
Hujan dalam rupa perempuan, perempuanku, adalah cinta yang menghangat kembali. 



Makassar, 23 Mei 2014
*3 Kata Panggung Aksara Tarian Pena


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)