![]() |
http://www.google.com/imgres? |
Ini
tentang hujan yang mampir di kotaku sore ini. Menggagalkan beberapa rencana
yang hendak mekar. Berubah layu. Bukan salah hujan, tapi niat yang berubah. Tapi
hujan? Anggap saja hujan jika itu maumu. Tapi bagiku, ini tentang hujan yang
lain.
Biarkan
hujan berlalu, karena sebenarnya hujan tadi hanya mampir sejenak. Menggagalkan niatku
untuk mencuri pemandangan indah di pantai bersamamu. Niat ke sana batal karena
hujan. Dan pemandangan indah lenyap seketika. Hujan? Ya, karena hujan.
Bukan
hujan penghalang yang ingin kukisahkan padamu. Bukan hujan yang menggalau di
ujung mataku. Bukan hujan yang ditunggu bapak demi kelangsungan tanamannya di
kebun. Bukan hujan yang membuat ibu jengkel karena tiga anaknya asik bermain
menyebabkan demam di malam hari. Bukan! Melaikan hujan pada rupa perempuan.
Perempuan,
laksana hujan yang menyimpan banyak kisah. Bagiku, bagimu?
Ah,
diamlah. Aku yang akan berkisah terlebih dahulu.
![]() |
http://gambarkartununik.blogspot.com |
Hujan
yang marah porak porandakan rumah sekitar sungai. Lukiskan amarah perempuan
juga kutukannnya pada anak semata wayang. Atau bisa jadi ungkapan putus
perempuan pada laki-laki yang
masih mencintainya. Hujan yang marah, atau
perempuan yang benci?
Hujan
lembut manjakan pandangan mata. Kala hadirnya bersama pelangi tujuh warna
indah. Lembut. Sisakan hangat dan kerinduan. Perempuan pun sama saja. Kau tahu
itu, bukankah katamu, kemarin aku bersama perempuan santun? Hah ... aku pun
melihatnya.
![]() |
http://ilikesunflower.wordpress.com |
Sudahlah.
Aku salah menyatakan hujan sama dengan perempuanmu. Aku menyerah.
Aku
memilih tidur saja. Kepalaku berat. Mungkin karena hujan. Atau perempuan lain
yang masuk dalam hidup kita.
**
Aku
tahu, perempuan itu kau sumpahi. Bukan perkara kelakuannya yang seronok tapi karena aku bersamanya sore itu. Hingga
di matamu aku menjadi hina dan sama saja dengan yang lain, laki-laki pencipta
luka di hati perempuan.
Itu
tuduhan sebenarnya. Akankah kau marah dengan tiap sejenismu yang kujumpai? Kalimat
tanya itu terucap begitu saja dariku. Kau jawab dengan sunyi dan hujan di kedua
pipimu. Hujan yang kau samakan dengan dirimu. Hujan pada rupa perempuan.
Kau
lupa akan janjiku, tak akan ada luka pada hati perempuan yang kucintai.
Katamu
saja. Ucapmu pelan.
Sikapmu
bahkan bertolak belakang dengan janji-janji itu. Kau palsukan janji sakral. Kau
hanya anggur yang memabukkan di malam hari. Paginya aku tersadar dari janji. Sayang,
aku telah sakit parah.
Bisikan
bibirmu menjelma pekat.
Hujan
menderas di luar rumah. Hujanmu.
Adakah
penjelasanku yang akan menjernihkan suasana amukan ombak? Dapatkah kau
dengarkan tanpa hujan di pipi-pipi putihmu?
Aku
yang diam. Pun ingin menyentuh kedua pipimu yang putih. Memucat. Dan ... itu
karenaku.
**
Samar
kulihat kau terbangun. Aku pura-pura tak tahu. Tiga hari berlalu tanpa
percakapan berarti. Mengundang tanya dua gadis kecil kita. Adakah perang antara
kita tengah berlangsung? Tanya sulung kita. Kujawab dengan gelengan saja.
Kenapa
diam-diaman?
Bungsu
kita pun bertanya.
Ah,
Nak ... kelak jadilah perempuan tangguh. Pun luka menghantui. Jangan seperti
perempuan tua di depanmu.
Pun
ketika kau pamit, tenggelam dalam riuh kesibukanmu, aku hanya diam. Toh, kau
tak akan peduli, kan?
Aku
mematung di depan pintu. Menatapmu jauh. Kau dalam langkah-langkah enggan. Aku tahu,
ada sesal di matamu. Tapi perempuan mana yang rela begitu saja melepaskan salah
yang paling ia takuti?
Rintik
hujan jatuh. Satu yang tertangkap mataku, lalu ribuan yang menggila seketika.
Aku
teringat sesuatu.
Kau
tak membawa payung sedang hujan sangat deras.
Kucari
benda itu. Kuterobos hujan setelahnya.
Payungmu!
Teriakku.
Kau
menoleh, menatapku sesaat.
Kenapa
tak kau pakai? Hujan akan membuatmu tambah sakit.
Ucapmu.
Aku
lupa mengenakan payung. Ah ... aku lupa, seperti dulu.
Kau
mendekat. Mengambil payung dari tanganku. Membukanya. Menyerahkan padaku. Kulihat
matamu merah. Adakah hujan juga mengalir di sana?
Pakailah.
Pelan.
Aku
terdiam.
Bisakah
memaafkan kesalahpahaman kita. Beri aku waktu menjelaskan segalanya.
Bahwa
hujan tak hanya tentang perempuan-perempuan yang hangat atau terluka. Bukan hanya
dalam rupamu semata, Sayang. Hujan ...
Jeda.
Hujan
juga ada pada mereka yang tak menjadi perempuan seutuhnya. Perempuan dalam
cerahnya mentari dan gerimis hujan yang datang bersama.
Maksudmu.
Hah
... kau menarik nafas. Ada senyum sedikit di sana. Ah, aku merindukan itu.
sangat merindukannya.
Perempuan
yang kutemui adalah seorang waria. Dia ingin menormalkan hidupnya. Dengan
meminta
bantuanku.
![]() |
http://elamsan.wordpress.com |
Aku
tercengang.
Kau
kadang lupa mataharimu sungguh berarti, Sayang.
Matahariku.
Laki-laki yang berdiri di depanku dengan payung di tangannya.
Aku
luluh.
Ah
perempuan dan hujan yang menghangat.
Mari
kita pulang, kusajikan segelas kopi cinta untukmu. Biarkan demam menjalari kita
agar hangatnya melekat pada dinding-dinding rumah kita. Lagi. Bersamamu, Cinta.
**
Hujan
dalam rupa perempuan, perempuanku, adalah cinta yang menghangat kembali.
Makassar, 23 Mei 2014
*3
Kata Panggung Aksara Tarian Pena
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)