Sudah
hampir sebulan penerimaan judul berlalu. Aku termasuk beruntung karena lolos
gelombang pertama. Pertama-tama alhamdulillah. Saat itu saya sedang di kampung
dan dikabari teman yang baIk hatinya kalau judul saya di acc. Judul tentang
menulis diary.
Judul
keluar lalu melakukan beberapa kewajiban lain, membuat surat untuk dosen
pembimbing, surat kontrol, juga membeli buku. Mengisi buku besar juga. Lepas dari
semua kewajiban itu, aku justru mengalihkan pikiran ke dunia lain. Dunia yang
membuatku jatuh cinta setengah hidup.
Menulis.
Bukannya
menyusun proposal seperti kebanyakan kawan, saya justru menghilang ke Leang
Leang. Tempat wisata dengan batu kapurnya yang mewah. Bukan untuk foto-fiti di
antara batu-batu itu, melainkan berkumpul dengan para pencinta dunia menulis. Menggali
asa, ilmu di antara bebatuan itu.
Parahnya,
ehmm ... kala itu aku telah menjadi sangat tua. Yang lain pada manggil kakak
soalnya. Padahal kan ... mmm ... ah, sudahlah, abaikan yang ini. Intinya
proposal kutinggalkan.
Minggu
kedua.
Dengan
semangat menggebu-gebu, saya berkunjung ke rumah dosen pembimbing yang bakal
jadi tumpuan hidup di akhir hidup sebagai mahasiswa.
Saya
mendesis. Alamak ... menurut kawan-kawan yang telah bertapa di rumah sang
dosen, beliau sangat ... (sensor). Aku merinding, ketakutan, menggigil,
karenanya (lebay).
Kataku:
dosennya menantang.
Hari
kamis saat itu (minggu kedua) aku dan kawanku berjalan menerobos hujan berharap
sang doseng menerima kami beberapa jam ke depan.
Kami
termasuk yang terdepan datangnya.
Menunggu
beberapa saat dan pagar rumah sang dosen belum terbuka.
Kami
melanjutkan perjalanan menuju mesjid tak jauh dari rumah beliau. Berteduhlah kami.
Singkat
cerita (kelamaan nulis jadi letih) dosen tak ada, katanya ada sanak saudara
yang meninggal. Kami pulang, aku masih menyisakan tanda tanya besar. Sangat besar.
Kamis
kemarin, minggu ke tiga, kami ke sana lagi. Sang dosen sudah duduk manis. Kami
menunggu antrian panjang.
Dan
...
Wow
...
Inilah
yang namanya kuliah! Tak ada lagi sifat semau gue.
Dosen
baik hati, yang membuat mahasiswa bimbingannya tunduk patu. Ala ratu gitu ...
mengoreksi banyak hal. Ada saja kesalahan yang didapatnya. Bukankah itu memang
tugasnya?
Tapi
sudahlah ... yang terjadi padaku sangat mengesankan, “Ganti judul atau nilaimu
hanya dapat dua, itu juga sudah paling tinggi!”
Degh!
Senyum
mengembang. Hati menghancur.
Sudahlah
... menikmati adalah cara terbaik. Sampai malam ini, saat tulisan ini hendak
terposting, aku masih tak mengganti apa-apa.
Bingung
memulai. Dan memulai memang susah, ya kan? Atau cuman perasaanku saja?
Ayolah
bantu aku merasa kuat. Sedikit saja. Bisa kau sumbangkan makanan di toplesmu?
Hahaha
... sudah, ini catatan awal rasanya jadi mahasiswa pengejar happy ending.
So,
semangka dalam galau!
Makassar, 23 Mei 2014
Semangaaat, Nahla. Aku juga jadi ingin berkisah soal tugas akhir. Yang ... hmm ... :)
BalasHapusPercayalah ... kita juga BISA. Dan kita tidak akan lahir prematur nantinya. Aku percaya ... selalu percaya bahwa Tuhan sedang mematangkan kita. :) :)
Suka sama kata2 bijakta kak, dan kakak memang bijak yo, tenang sangat. Oke, Tuhan mematangkan kita, makanya pun galau saya berusaha menikmatinya heheh. Bar kate nangis2 juga hohoho :0 Makasih telah mampir Kak.
Hapussemangat ya. komunikasi yang baik dengan dosen bakal bikin mahasiswa bisa dapet rekomendasi2 keren kalo nanti akhirnya mau ngelanjutin studi lagi lho, mba. jadi nikmati aja masa2nya yang sekarang. kali aja bisa jadi jalan pembuka buat takdir berikutnya.
BalasHapusSuka kalimat, "jalan pembuka buat takdir berikutnya." Sumbangan semangat ini.
HapusMakasih Mba Ila sudah mampir lagi.
semangat k Nahlah... oia visit back duunkk.. :D
BalasHapusSudah, makasih dah mampir :)
Hapus