Sabtu, 08 Maret 2014

Merindu (KeKeR, Sabtu 8 Maret 2014)


Merindu
Oleh: Nahlatul Azhar
            Melukis keindahan dalam diam, itulah yang selalu ia katakan pada dirinya sendiri.  
            “Layla artinya malam yang pekat. Saat itu suasana benar-benar hening, sunyi.”
            Benar aku dikucilkan seperti malam yang sunyi, sama dengan namaku.
            “Kamu mungkin berfikir nama itu sangat cocok dengan keadaanmu sekarang. Suka menyendiri menghindar dari keramaian. Tapi sebenarnya malamlah yang dirindukan manusia untuk melepas penat. Di malam hari pula hamba-hamba yang saleh terbangun untuk lebih mendekatkan diri pada Penciptanya.”
            Aku tidak pernah memikirkan hal itu.
            “La! Menyesali kenyataan yang menimpamu selama ini bukanlah jalan keluar. Inilah takdir yang tak bisa diubah. Kamu bisa menjalaninya dengan baik, tapi itu tergantung kemauanmu. Kakak tak bisa banyak membantumu.”
            Gadis usia 17  tahun itu tak menyangka kata-kata itu menjadi salam perpisahan kakak semata wayangnya. Bari meninggalkannya sendiri kini,  ditemani melodi sepi yang semakin menggila.
***
            Semenjak kepergian Bari, Layla semakin menutup diri. Tak ada lagi rutinitas ke sekolah. Bahkan untuk mengurus dirinya pun seakan lupa. Kamarnya yang mungil tak lagi rapi seperti dulu. Rumahnya yang bersih mulai terlihat kusam. Juga taman depan rumah yang selalu ia rawat dengan baik mulai ditumbuhi rumput-rumput. 
            Saat hembusan angin malam kian dingin, ia duduk di depan meja belajar kakaknya. Di atas meja terdapat beberapa buku yang mulai berdebu. Kebanyakan buku tentang agama. Ada satu yang menarik perhatian Laila. Buku catatan Bari yang selama ini ingin ia baca. Kata Bari, akan lebih mudah baginya mengeluh lewat tulisan. Tidak akan ada yang mendengar dan membocorkannya.
            Dibukanya perlahan, ada getaran halus di dadanya. Sekian lama ia meminta Bari memperlihatkan buku itu padanya, namun kakanya selalu menolak. Malah menyuruhnya membaca buku lain.
            Bidadari kecilku, hanya kau yang membuatku bertahan hingga kini. Kalimat pertama yang ia baca.
            Suatu petang aku berjalan di antara tumpukan sampah dekat jembatan tempatku bermain. Sore itu semua sudah pulang, karena ada barangku yang tertinggal aku pun kembali tuk mengambilnya. Ternyata sekenario Tuhan hari itu tengah bermain, aku mendengar tangisan bayi di antara tumpukan sampah. Saat memeriksa sekitar betapa kagetnya aku menemukan bayi merah yang terbungkus kain usang. Aku hendak berlari, tapi seakan kakiku tertahan. Ibu pasti  marah jika melihatku membawa bayi itu. kami yang hidup pas-pasan akan kerepotan jika menambah satu beban lagi. Jadi aku harus bagaimana. Tak tega meninggalkan bayi itu.
            Lanjutan diary itu tidak ada. Rasa penasaran Laila akan bayi itu tak terobati. Diary kecil itu berhenti menceritakan kisahnya. Halaman selanjutnya sobek.
“Rahasia apa yang Kakak sembunyikan dariku?” tanya hatinya, “akukah bayi malang itu?”
Ia ingat dulu ibu sangat membencinya. Ada saja kata-kata tidak mengenakkan ibu yang menohoknya. Hampir tiap hari. Belum lagi bekas cubitan dan pukulan wanita itu di badannya tak terhitung jumlahnya.
“Ah ibu, aku tetap  mencintaimu dalam diamku.”
            Bidadariku menangis lagi, katanya dipukuli ibu. Malang sekali nasibnya, ibu tak pernah bisa menerima bidadariku, apa karena kebisuannya. Aku selalu berharap pintu hati ibu terketuk. Ataukah ini balasan Tuhan padaku? Tentang bayi itu... ah, aku sungguh berdosa.
“Siapa sebenarnya bayi itu Kak?”
Di bukanya terus buku itu, tak ada lagi tulisan tangan kakaknya tentang bayi itu. Bari, kakaknya hanya bercerita tentang bidadari kecilnya yang tak lain adalah dirinya. Layla masih duduk di depan meja belajar kakaknya. Matanya masih menekuni buku itu. Lembar berikutnya membuatnya makin berduka.
            Ibu telah pergi bidadariku, katanya ia ingin mencari uang di tempat lain. Ibu meninggalkan kita berdua setelah ayah. Tapi ibu berjanji menjemput kita setelah ia berhasil bidadariku. Mungkin ibu tak tahu, kebersamaanlah yang kita inginkan.
 Tapi aku berjanji akan terus menjagamu. Aku berjanji. Aku akan menganggap keadaan ini adalah balasn atas kesalahanku. Salahku dulu tidak mengambil bayi itu. Hingga karma itu datang lewat dirimu yang bisu.
***
            “La! Aku sahabatmukan? Berbagilah denganku. Kak Bari bukan satu-satunya orang yang peduli padamu. Bahkan sekali pun ia masih bisa melihatmu, aku yakin ia tak akan suka kamu seperti ini,” ucap Fauziah, teman sebangkunya di sekolah, “terlebih lagi sekarang kamu sudah tidak mau ke sekolah lagi. Jangan biarkan aku jadi sahabatmu yang tidak peduli, aku sangat siap membantumu.” Layla tak menjawab, ia justru berbalik dan memeluk sahabatnya itu.
“Aku tahu, aku akan mengikuti kata Kak Bari untuk bangkit.” Kalimat itu diucapkannya lewat bahasa isyarat. Layla sangat berterimakasih pada Ziah yang hampir setiap hari mampir ke rumah Layla.
            “Aku mau pinjam buku kamu. Itu loh buku kumpulan puisi kamu,” ucapn Ziah sebelum pulang.
            “Untuk apa?”
            “Ada tugas sekolah. Kamu tahu sendirikan, aku tidak suka mengarang. Apa lagi mengarang puisi,” jawab sahabatnya.
            Perlahan-lahan senyum kembali terukir di wajah Layla. Walau masih enggan keluar rumah, namun ia sudah beraktifitas lagi. Bahkan tak hanya itu, ia mulai rajin menulis kenangan-kenagannya bersama Bari. 
***
Layla Bari. Nama itu sangat jelas tertera pada sampul buku yang kini berada dalam genggamannya. Membuat wanita yang hampir menginjak usia setengah abad itu tercengang. Ia teringat pada dua anaknya yang dulu ia tinggalkan
“Kenapa, Ma?” tanya sang anak yang kini duduk di bangku SMA.
“Kamu tahu penulis buku ini?”
“Oh itu, penulis buku itu besok mau datang ke sekolah. Karena aku suka karya-karyanya yang menyentuh, jadi tadi pas dari sekolah aku mampir saja ke toko buku untuk beli. Sekalian besok minta tanda tangannya,” jelasnya sang anak enteng.
Wanita itu hanya melongo, di tatapnya kembali buku itu. Dibukanya halaman terakhir dari buku tersebut. Foto dari penulisnya jelas terlihat di sana. Ia tahu gadis dalam foto tersebut. Wanita itu kembali membaca judul pada sampul buku tersebut. Perlahan dalam hati ia baca judul bukunya.
Merindukan Bari dan Maaf Ibu. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)