Merindu
Oleh: Nahlatul Azhar
“Layla artinya malam yang pekat.
Saat itu suasana benar-benar hening, sunyi.”
Benar aku dikucilkan seperti malam
yang sunyi, sama dengan namaku.
“Kamu mungkin
berfikir nama itu sangat cocok dengan keadaanmu sekarang. Suka menyendiri
menghindar dari keramaian. Tapi sebenarnya malamlah yang dirindukan manusia untuk
melepas penat. Di malam hari pula hamba-hamba yang saleh terbangun untuk lebih
mendekatkan diri pada Penciptanya.”
Aku tidak pernah memikirkan hal
itu.
“La! Menyesali kenyataan yang
menimpamu selama ini bukanlah jalan keluar. Inilah takdir yang tak bisa diubah.
Kamu bisa menjalaninya dengan baik, tapi itu tergantung kemauanmu. Kakak tak
bisa banyak membantumu.”
Gadis usia 17 tahun itu tak menyangka kata-kata itu menjadi
salam perpisahan kakak semata wayangnya. Bari meninggalkannya sendiri
kini, ditemani melodi sepi yang semakin
menggila.
***
Semenjak kepergian Bari, Layla
semakin menutup diri. Tak ada lagi rutinitas ke sekolah. Bahkan untuk mengurus
dirinya pun seakan lupa. Kamarnya yang mungil tak lagi rapi seperti dulu.
Rumahnya yang bersih mulai terlihat kusam. Juga taman depan rumah yang selalu
ia rawat dengan baik mulai ditumbuhi rumput-rumput.
Saat hembusan angin malam kian
dingin, ia duduk di depan meja belajar kakaknya. Di atas meja terdapat beberapa
buku yang mulai berdebu. Kebanyakan buku tentang agama. Ada satu yang menarik
perhatian Laila. Buku catatan Bari yang selama ini ingin ia baca. Kata Bari,
akan lebih mudah baginya mengeluh lewat tulisan. Tidak akan ada yang mendengar
dan membocorkannya.
Dibukanya perlahan, ada getaran
halus di dadanya. Sekian lama ia meminta Bari memperlihatkan buku itu padanya,
namun kakanya selalu menolak. Malah menyuruhnya membaca buku lain.
Bidadari kecilku, hanya kau yang
membuatku bertahan hingga kini. Kalimat pertama
yang ia baca.
Suatu petang aku berjalan di
antara tumpukan sampah dekat jembatan tempatku bermain. Sore itu semua sudah
pulang, karena ada barangku yang tertinggal aku pun kembali tuk mengambilnya.
Ternyata sekenario Tuhan hari itu tengah bermain, aku mendengar tangisan bayi
di antara tumpukan sampah. Saat memeriksa sekitar betapa kagetnya aku menemukan
bayi merah yang terbungkus kain usang. Aku hendak berlari, tapi seakan kakiku
tertahan. Ibu pasti marah jika melihatku
membawa bayi itu. kami yang hidup pas-pasan akan kerepotan jika menambah satu
beban lagi. Jadi aku harus bagaimana. Tak tega meninggalkan bayi itu.
Lanjutan diary
itu tidak ada. Rasa penasaran Laila akan bayi itu tak terobati. Diary kecil itu
berhenti menceritakan kisahnya. Halaman selanjutnya sobek.
“Rahasia apa yang Kakak sembunyikan
dariku?” tanya hatinya, “akukah bayi malang itu?”
Ia ingat dulu ibu sangat membencinya. Ada saja kata-kata tidak
mengenakkan ibu yang menohoknya. Hampir tiap hari. Belum lagi bekas cubitan dan
pukulan wanita itu di badannya tak terhitung jumlahnya.
“Ah ibu, aku tetap mencintaimu dalam diamku.”
Bidadariku menangis lagi, katanya
dipukuli ibu. Malang sekali nasibnya, ibu tak pernah bisa menerima bidadariku,
apa karena kebisuannya. Aku selalu berharap pintu hati ibu terketuk. Ataukah
ini balasan Tuhan padaku? Tentang bayi itu... ah, aku sungguh berdosa.
“Siapa sebenarnya bayi itu
Kak?”
Di bukanya terus buku itu, tak ada lagi tulisan tangan kakaknya
tentang bayi itu. Bari, kakaknya hanya bercerita tentang bidadari kecilnya yang
tak lain adalah dirinya. Layla masih duduk di depan meja belajar kakaknya. Matanya
masih menekuni buku itu. Lembar berikutnya membuatnya makin berduka.
Ibu telah pergi bidadariku,
katanya ia ingin mencari uang di tempat lain. Ibu meninggalkan kita berdua
setelah ayah. Tapi ibu berjanji menjemput kita setelah ia berhasil bidadariku.
Mungkin ibu tak tahu, kebersamaanlah yang kita inginkan.
Tapi aku berjanji akan terus
menjagamu. Aku berjanji. Aku akan menganggap keadaan ini adalah balasn atas
kesalahanku. Salahku dulu tidak mengambil bayi itu. Hingga karma itu datang
lewat dirimu yang bisu.
***
“La! Aku sahabatmukan? Berbagilah
denganku. Kak Bari bukan satu-satunya orang yang peduli padamu. Bahkan sekali pun
ia masih bisa melihatmu, aku yakin ia tak akan suka kamu seperti ini,” ucap
Fauziah, teman sebangkunya di sekolah, “terlebih lagi sekarang kamu sudah tidak
mau ke sekolah lagi. Jangan biarkan aku jadi sahabatmu yang tidak peduli, aku
sangat siap membantumu.” Layla tak menjawab, ia justru berbalik dan memeluk
sahabatnya itu.
“Aku tahu, aku akan
mengikuti kata Kak Bari untuk bangkit.” Kalimat itu diucapkannya lewat
bahasa isyarat. Layla sangat berterimakasih pada Ziah yang hampir setiap hari mampir
ke rumah Layla.
“Aku mau pinjam buku kamu. Itu loh
buku kumpulan puisi kamu,” ucapn Ziah sebelum pulang.
“Untuk apa?”
“Ada tugas sekolah. Kamu tahu
sendirikan, aku tidak suka mengarang. Apa lagi mengarang puisi,” jawab
sahabatnya.
Perlahan-lahan senyum kembali
terukir di wajah Layla. Walau masih enggan keluar rumah, namun ia sudah
beraktifitas lagi. Bahkan tak hanya itu, ia mulai rajin menulis
kenangan-kenagannya bersama Bari.
***
Layla Bari. Nama itu sangat jelas tertera pada sampul buku yang
kini berada dalam genggamannya. Membuat wanita yang hampir menginjak usia
setengah abad itu tercengang. Ia teringat pada dua anaknya yang dulu ia
tinggalkan
“Kenapa, Ma?” tanya sang anak yang kini duduk di bangku SMA.
“Kamu tahu penulis buku ini?”
“Oh itu, penulis buku itu besok mau datang ke sekolah. Karena aku
suka karya-karyanya yang menyentuh, jadi tadi pas dari sekolah aku mampir saja
ke toko buku untuk beli. Sekalian besok minta tanda tangannya,” jelasnya sang
anak enteng.
Wanita itu hanya melongo, di tatapnya kembali buku itu. Dibukanya
halaman terakhir dari buku tersebut. Foto dari penulisnya jelas terlihat di
sana. Ia tahu gadis dalam foto tersebut. Wanita itu kembali membaca judul pada
sampul buku tersebut. Perlahan dalam hati ia baca judul bukunya.
Merindukan Bari
dan Maaf Ibu. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)