Bertukar Peran
Oleh: Nahlatul
Azhar
Berbahagialah
yang berpunya. Punya ayah yang baik juga ibu yang penyayang. Bersyukurlah
mereka yang dilimpahi kebebasan dari orang tua mereka, sedang aku di sini
bagaikan katak dalam tempurung. Terdiam dalam ributnya hati, berkicau seperti
burung namun tak seorang pun mendengarnya.
Kemana
perginya kata bernama hak itu? sepertinya enggan menyapa diriku. Justru menjauh
bersama angin, meninggalkanku dalam keterpurukan diri. Lalu, mengapa kita tak
pernah saling merasakan isi hati masing-masing. Bukankah darahku berasal dari
darahmu juga. Air mataku bersumber dari kedua matamu pula. Tapi kenapa?
Diam-diam
aku menangis dalam bilik sunyi yang sempit, menunggumu menyeka butiran-butiran
asin yang tiap saat meleleh di kedua pipi. Berharap engkau bertanya dengan
lembut, “Kamu kenapa, Sayang?”
Lalu
kapan? Aku lelah ... biarkan aku membuatnya nyata dalam mimpiku saja.
***
“Bu,
bangun ini sudah jam enam!” kurasakan seseorang menggoyang-goyangkan tubuhka.
Aku masih ingin terlelap, susah payah aku tertidur dan sekarang malah
dibangunkan, biasanya aku bangun jam delapan kan.
“Bu,
si Alma belum dibuatkan sarapan, Ilmi dari tadi menangis di kamar sebelah,” aku
bangkit dan mendapati wajah legam bapak dengan tatapan perintahnya. Tapi kenapa
memanggilku dengan sebutan ibu? Aku kan anaknya.
“Kenapa
bengong sih, Bu? Nanti aku juga bisa terlambat nih,” ucapnya lagi. Tapi aku
masih terdiam, masih tak habis pikir tentang semuanya. Bapak memanggilku ibu
dan ... dan sekarang aku terbaring dalam kamarnya, tempat yang selama ini tak
boleh aku masuki sekalipun aku adalah anak sulung mereka.
Pikiranku
kacau, ada apa ini? aku turun perlahan dari tempat tidur dan berjalan ke arah
cermin. Oh ... tidak! Wajah ini, wajahku ...
“Aduh
Bu, anak-anak sudah terlambat ke sekolah tuh,” kali ini ayah membentakku.
“I
... iya, Yah.” Jawabku akhirnya. Ini bencana bagiku.
Tidak-tidak,
ini tidak mungkin. Aku terperangkap dalam tubuh ibu? Mana ada yang seperti itu?
Hah!
Ini mustahil, pasti hanya mimpi, pasti!
Aku
tetap berjalan menuju kamar Ilmi. Kudapati ia menangis keras. Lalu Alma ikut
berdiri di sampingku, dia pun menagis sekeras-kerasnya.
“Bu,
bekalku belum siap. Aku sudah terlambat hu...hu...hu,” ucap Alma. Dia memang
masih duduk di taman kanak-kanak.
“Iya,
kakak ... eh ibu siapkan dulu yah,” ucapku bingung.
Belum
juga aku beranjak ke dapur, suara Ilmi semakin keras menangis. Adik bungsuku
itu memang selalu bangun pagi-pagi sekali. Biasanya harus digendong ibu dulu
baru bisa diam. Hingga tidak jarang aku berangkat ke sekolah tanpa mendapat
perhatian ibu. Ibu hanya sibuk dengan Alma, Ilmi, dan Amri.
“Alma
aku yang siapin sarapannya, ya?” bujuk Amri yang saat ini duduk di kelas dua
SMP. Dibandingkan aku dia memang lebih dekat dengan ibu, membuatku iri dan
membenci keakraban keduanya.
Tapi
... menjadi ibu ternyata sulit. Ini bahkan baru suasana pagi. Bagaimana saat
kami semua pulang? Bagaimana dengan membersihkan rumah, mengurus bayi, mengurus keperluan ayah? Memasak untuk ayah,
aku, Amri, Alma, dan Ilmi.
Jadi
ini maksudnya? Kebencianku pada ibu menguap begitu saja. Rohku berpindah ke
tubuh ibu, dan tubuhku entah dimana. Apa
ibu yang jadi penghuni barunya? Bukan ini maksudku, aku hanya berharap ibu melihat
ke arahku, memperhatikanku bukan berarti aku ingin berada di posisinya dan
berbuat semauku. Bukan itu maksudku. Aku tak ingin di tubuh ini, aku lebih suka
tubuhku sendiri. Dan ... aku tidak akan membenci ibu lagi.
Aku
mohon, kembalikan ragaku. Normalkan semuanya kembali, aku ingin tubuhku. Aku
lebih memilih jadi diriku sendiri. Dan ibu ... ibu maafkan lah anakmu ini.
***
“Bangun
Sayang. Elda, El kamu kenapa?” kurasakan sentuhan hangat di pipiku. Kupaksakan
mataku terbuka dan kudapati wajah cemas ibu menatapku. Wajah yang kurindukan.
“Ibu,”
suaraku serak menyambutnya. Perlahan aku duduk lalu memeluk tubuh kurusnya.
“Maafkan
aku, Bu,” ucapku diiringi tangis penyesalan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)