Rumah
dan ketenangan adalah dua hal yang mustahil bagiku. Rumah yang menjadi tempat tinggal, yang seharusnya menjadi tempat yang paling kurindukan justru malah
menjadi tempat paling mengerikan. Bukan karena sempit, bukan pula karena
penghuninya banyak, justru karena aku hanya tinggal berdua dengan ayah yang
jarang menyapaku. Ayah yang mengacuhkan keberadaanku. Pun aku tahu dengan
pasti, penyebabnya adalah karena diriku sendiri.
Semenjak
ibu tidak ada, ayah memang lebih banyak diam. Sepulang dari kantor, ayah
biasanya langsung masuk kamar, mengunci diri.
Hanya keluar jika ada keperluan, atau sekedar makan denganku. Di meja
makan pun ayah tidak banyak bicara, padahal saat ibu masih ada, ayah selalu
menanyakan perihal keadaan sekolahku, bercanda dengan ibu, atau sekedar menegur
kebiasan makanku yang buru-buru.
“Sayang,
kamu kok makan kayak orang kelaparan gitu,” ucap ayah saat melihat caraku
makan.
“Biar
cepat selesai, Yah. Mau ke rumah Fika, ada tugas,” jawabku dengan mulut penuh.
“Iya,
tapi makannya pelan-pelan ntar kalau keselek kan kamu juga yang repot,” ucap
ayah lagi. Kujawab dengan cengiran.
Sayang,
teguran seperti itu hanya ada saat ibu masih ada.
“Aku
yang punya novel baru loh!” suara cempreng Dea, sahabatku membuayarkan
lamunanku tentang ayah. Benda yang dipamerkannya kini beralih ke tangan Rima,
teman sebangkuku.
“Gimana
ceritanya?” tanya Rima antusias.
“Hmm
... tentang ayah gitu. Baguslah pokoknya, nikin aku bete, marah, nangis,
sekaligus makin cinta pada ayahku,” jelas Dea.
Ayah?
“Boleh
aku pinjam?” suaraku membuat kedua teman sekelasku itu menoleh.
“Boleh
lah, Nu.”
“Loh
aku kan yang minat duluan.” Muka Rima seketika berubah.
“Hehe
... Rim, kamu kan bisa setelah Nunu, lagian kita semua tahu kan Nunu bisa nyelesaiin
baca bukunya dengan cepat. Kalau kamu malah sebaliknya,” sindir Dea, membuat
muka Rima makin manyun.
Setidaknya
aku punya sahabat sebaik mereka berdua. Dan ... keduanya juga sangat tahu
keadaanku saat ini. Maka tidak heran, Dea berinisiatif miminjamkan novelnya
langsung.
“Untuk
Nunu, apa sih yang tidak,” candanya. Aku tersenyum mendengarnya.
***
Benar
saja, novel yang dipinjamkan Dea kuselesaikan hanya dalam waktu satu malam. Di
dalam buku itu diceritakan tentang seorang anak yang merindukan ayahnya. Sangat
merindukan sosok ayah yang tidak pernah ia temui. Juga dikisahkan bagaimana si
anak mencari tahu segala hal tentang ayahnya kepada orang lain, itu karena
keluarga sang anak tidak mau memberitahukannya.
Tiba-tiba
aku merasa seperti anak itu. Bedanya, ayahku ada di dekatku. Namun, aku merasa
yang terasa di hatiku adalah sama dengan tokoh dalam novel itu, merindukan
sosok ayah. Ayah yang dulu.
Ayah ...
Apa aku salah pada ayah? Apa salah
berada di sisi ayah?
Ayah, aku merasa sangat bersalah
atas kepergian ibu. Bagaimanapun juga, akulah penyebabnya. Aku yang memaksa ibu
mengantarkan buku pelajaranku ke sekolah, padahal ibu tidak sehat.
Ayah, andai kutahu kejadiannya akan
seperti itu, andai aku tahu akan kehilangan ibu hari itu, aku sungguh tak akan
memintanya datang. Aku akan pulang dan mengambil bukuku sendiri. Ayah, aku
menyesal! Aku sungguh menyesal. Terlebih karena kepergian ibu membuatku
kehilangan kasih sayang ayah juga. Aku kehilangan Ayah.
Ayah ... aku telah berpkir banyak,
aku memikirkan banyak cara untuk membuat ayah kembali. Dan ... ayah, yang
terpikir hanya satu ... menyusul ibu ke sana. Meminta ibu kembali, atau bertukar
tempat denganku, kembali ke sisi ayah. Agar ayah kembali seperti semula. Agar
ayah bahagia.
Ayah ... kumohon maafkan aku.
Yang mencintai ayah, Nunu.
Kuletakkan
surat itu di atas meja kerja ayah. Tentu saat ayah tidak di rumah. Semoga,
setelah ini, semuanya menjadi baik. Semoga.
***
Hujan
dan dingin adalah dua hal yang tak bisa terpisahkan. Dua hal yang menemaniku
saat ini. Menemaniku di bawah kolong langit. Niatku sudah bulat, demi ayah aku
harus melakukannya.
Aku
melangkah mendekati jalan raya. Tepat dimana ibu mengalami kecelaan naas itu.
Jalanan sepi, kendaraan hanya sesekali lewat, mungkin karena hujan. Tapi
tekatku sudah bulat, menunggu ibu menjemputku, lalu memintanya untuk kembali.
Beberapa
menit berlalu ... yang kutuknggu akhirnya datang. Sebuah mobil dengan laju
kencang mengarah padaku
Cahaya
itu kemudian terlihat, semakin dekat, semakin dekat ...
Aku
menunggu. Merentangkan kedua tangan, siap memeluk ibu.
Seketika
itu juga aku lupa jika hujan dan dingin adalah dua hal yang menyatu, sebab yang
kurasakan adalah hangatnya sebuah pelukan. Benarkah yang memelukku ibu?
“Sayang,
maafkan ayah!”
Benar,
ibu telah mengirm ayah kembali. Mengirim ayah kembali padaku. Dalam hangatnya
hujan(*)
Nahlatul Azhar,
anggota FLP Ranting Unismuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)