Senin, 17 Maret 2014

Ayah, Kembalilah! (KeKeR, Sabtu 15 Maret 2014)

Rumah dan ketenangan adalah dua hal yang mustahil bagiku. Rumah yang menjadi tempat tinggal, yang seharusnya menjadi tempat yang paling kurindukan justru malah menjadi tempat paling mengerikan. Bukan karena sempit, bukan pula karena penghuninya banyak, justru karena aku hanya tinggal berdua dengan ayah yang jarang menyapaku. Ayah yang mengacuhkan keberadaanku. Pun aku tahu dengan pasti, penyebabnya adalah karena diriku sendiri.
Semenjak ibu tidak ada, ayah memang lebih banyak diam. Sepulang dari kantor, ayah biasanya langsung masuk kamar, mengunci diri.  Hanya keluar jika ada keperluan, atau sekedar makan denganku. Di meja makan pun ayah tidak banyak bicara, padahal saat ibu masih ada, ayah selalu menanyakan perihal keadaan sekolahku, bercanda dengan ibu, atau sekedar menegur kebiasan makanku yang buru-buru.
“Sayang, kamu kok makan kayak orang kelaparan gitu,” ucap ayah saat melihat caraku makan.
“Biar cepat selesai, Yah. Mau ke rumah Fika, ada tugas,” jawabku dengan mulut penuh.
“Iya, tapi makannya pelan-pelan ntar kalau keselek kan kamu juga yang repot,” ucap ayah lagi. Kujawab dengan cengiran.
Sayang, teguran seperti itu hanya ada saat ibu masih ada.
“Aku yang punya novel baru loh!” suara cempreng Dea, sahabatku membuayarkan lamunanku tentang ayah. Benda yang dipamerkannya kini beralih ke tangan Rima, teman sebangkuku.
“Gimana ceritanya?” tanya Rima antusias.
“Hmm ... tentang ayah gitu. Baguslah pokoknya, nikin aku bete, marah, nangis, sekaligus makin cinta pada ayahku,” jelas Dea.
Ayah?
“Boleh aku pinjam?” suaraku membuat kedua teman sekelasku itu menoleh.
“Boleh lah, Nu.”
“Loh aku kan yang minat duluan.” Muka Rima seketika berubah.
“Hehe ... Rim, kamu kan bisa setelah Nunu, lagian kita semua tahu kan Nunu bisa nyelesaiin baca bukunya dengan cepat. Kalau kamu malah sebaliknya,” sindir Dea, membuat muka Rima makin manyun.
Setidaknya aku punya sahabat sebaik mereka berdua. Dan ... keduanya juga sangat tahu keadaanku saat ini. Maka tidak heran, Dea berinisiatif miminjamkan novelnya langsung.
“Untuk Nunu, apa sih yang tidak,” candanya. Aku tersenyum mendengarnya.
***
Benar saja, novel yang dipinjamkan Dea kuselesaikan hanya dalam waktu satu malam. Di dalam buku itu diceritakan tentang seorang anak yang merindukan ayahnya. Sangat merindukan sosok ayah yang tidak pernah ia temui. Juga dikisahkan bagaimana si anak mencari tahu segala hal tentang ayahnya kepada orang lain, itu karena keluarga sang anak tidak mau memberitahukannya.
Tiba-tiba aku merasa seperti anak itu. Bedanya, ayahku ada di dekatku. Namun, aku merasa yang terasa di hatiku adalah sama dengan tokoh dalam novel itu, merindukan sosok ayah. Ayah yang dulu.
Ayah ...
Apa aku salah pada ayah? Apa salah berada di sisi ayah?
Ayah, aku merasa sangat bersalah atas kepergian ibu. Bagaimanapun juga, akulah penyebabnya. Aku yang memaksa ibu mengantarkan buku pelajaranku ke sekolah, padahal ibu tidak sehat.
Ayah, andai kutahu kejadiannya akan seperti itu, andai aku tahu akan kehilangan ibu hari itu, aku sungguh tak akan memintanya datang. Aku akan pulang dan mengambil bukuku sendiri. Ayah, aku menyesal! Aku sungguh menyesal. Terlebih karena kepergian ibu membuatku kehilangan kasih sayang ayah juga. Aku kehilangan Ayah.
Ayah ... aku telah berpkir banyak, aku memikirkan banyak cara untuk membuat ayah kembali. Dan ... ayah, yang terpikir hanya satu ... menyusul ibu ke sana. Meminta ibu kembali, atau bertukar tempat denganku, kembali ke sisi ayah. Agar ayah kembali seperti semula. Agar ayah bahagia.
Ayah ... kumohon maafkan aku.
Yang mencintai ayah, Nunu.
Kuletakkan surat itu di atas meja kerja ayah. Tentu saat ayah tidak di rumah. Semoga, setelah ini, semuanya menjadi baik. Semoga.
***
Hujan dan dingin adalah dua hal yang tak bisa terpisahkan. Dua hal yang menemaniku saat ini. Menemaniku di bawah kolong langit. Niatku sudah bulat, demi ayah aku harus melakukannya.
Aku melangkah mendekati jalan raya. Tepat dimana ibu mengalami kecelaan naas itu. Jalanan sepi, kendaraan hanya sesekali lewat, mungkin karena hujan. Tapi tekatku sudah bulat, menunggu ibu menjemputku, lalu memintanya untuk kembali.
Beberapa menit berlalu ... yang kutuknggu akhirnya datang. Sebuah mobil dengan laju kencang mengarah padaku
Cahaya itu kemudian terlihat, semakin dekat, semakin dekat ...
Aku menunggu. Merentangkan kedua tangan, siap memeluk ibu.
Lalu ... Tanganku ditarik. Ibu benar datang.
Seketika itu juga aku lupa jika hujan dan dingin adalah dua hal yang menyatu, sebab yang kurasakan adalah hangatnya sebuah pelukan. Benarkah yang memelukku ibu?
“Sayang, maafkan ayah!”
Benar, ibu telah mengirm ayah kembali. Mengirim ayah kembali padaku. Dalam hangatnya hujan(*)

Nahlatul Azhar, anggota FLP Ranting Unismuh.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)