Selasa, 18 Maret 2014

Sedikiti Kisah Tentang si ‘Tiga Mata’ (Tulisan Lama)



          Sebenarnya ngga pede nulis ini. Baru juga sekali nangkring di halaman Budaya Fajar. Ntar yang sudah sering bilang apa? Hehehe ...
Aku pernah menulis cerpen tentang demo. Judulnya bahkan demo. Tapi ngga pernah dimuat. Judulnya pastilah tidak menarik. Baru di baca judulnya saja sudah ketahuan isinya gimana. Hanya dengan judul, ya kan? Adapun Tiga Mata bernasib lain. Idenya sama. Sudut pandangnya saja yang berbeda, juga judul yang menurutku (menurutku yah) mengundang tanya (jiah, pede banget).
Aku sendiri tidak percaya cerpen Tiga Mata dimuat. Aku sangat sadar kalau kekuranganku dalam menulis adalah susah mengembangkan kalimat. Sulit mendeskripsikan tempat. Justru sukanya dengan percakapan. Sedang pada cerpen Tiga Mata, yang bercerita adalah sebuah benda yang pastinya ngga bisa ngomong. Belum lagi dengan semangat nulis yang naik turun. Sebenarnya kebanyakan turunnya sih. Sampai-sampai sepupuku bilang, “Semangatnya ada pas ada tulisannya doang yang termuat.” Nah, makanya pasa kemarin tahu cerpen itu dimuat, aku tidak percaya sebelum melihatnya langsung.
Berawal dari kejengkelanku pada situasi demo yang minggu kemarin lagi marak-maraknya akibat BBM naik. Juga pada anak pemilik rumah yang memarahiku gara-gara demo itu. Kata sia anak, “Kasih tau tuh sama teman-temannya jangan demo!” sambil teriak. Aku yang asik di depan tv langsung kaget dong. Padahal aku kan juga korban demo. Takut kemana-mana karena demo. Namun dari situlah terpikir membuat cerpen tersebut.
Aku tidak terlalu tahu sih tentang teori cerpen, pun sudah sering dengar. Tapi ngga pernah aku hapal. Aku lebih suka mengalir saja saat menulis. Sambil nulis sambil mikir. Paling sering pula cerpenku dimulai dengan percakapan. Kalau tidak beberapa awalan kalimat yang (maunya sih) mengundang tanya. Tidak jarang tuh mentok di tengah jalan karena emang ngga pake rambu-rambu teori menulis. Yang paling parah, keseringan ngga dimuat karena garing. Begitulah, sering pula aku tidak mengerti tentang tulisanku sendiri.
Pada cerpen Tiga Mata sendiri aku menjadikan diriku sebuah lampu lalu lintas yang letaknya di pertigaan jalan raya. Oh iya, dulu sekali pas si lampu lalulintasnya pecah aku jadi mikir kasihan banget. Andai saja si lampu merah bisa ngomong, si hijau nangis, terus si kuning balas melempari sang pelaku pelemparan, pastinya kan adil. Kembali lagi, mana mungkin kan? Makanya aku jadiin diriku si lampu lalulintas, walau ngga akurat sama sekali (ahk... nyadar diri amat akunya ya).
Nahlatul Azhar
Jadi, Tiga Mata di sini adalah si lmpu lalu lintas yang tengah mengisahkan suasana di bawah sana. Tangisan sang ibu, gerutu mahasiswa, lemparan batu, dan keadaan lainnya. Aku pribadi tidak pernah menyaksikan demo besar-besaran secara langsung. Ngeri duluan soalnya. Aku juga ngga begitu suka lihat wajah-wajah bonyok, terlebih saat makan. Rada gimana gitu. Tiga Mata hanya pandangan secara luas saja.
Tapi yang pasti, aku berterima kasih pada para demonstaran. Setidaknya ide itu dari mereka. Sikap anarkisnya itu yang bikin jengkel. Terimakasih juga pada lampu lalulintas yang telah setia aku tuliskan (loh?). Sarangheo (parah).
BENAR ADANYA, TULISLAH APA YANG DEKAT DENGAN KITA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)