Sebenarnya ngga pede nulis ini. Baru
juga sekali nangkring di halaman Budaya Fajar. Ntar yang sudah sering bilang
apa? Hehehe ...
Aku pernah menulis cerpen tentang demo. Judulnya bahkan demo.
Tapi ngga pernah dimuat. Judulnya pastilah tidak menarik. Baru di baca judulnya
saja sudah ketahuan isinya gimana. Hanya dengan judul, ya kan? Adapun Tiga Mata
bernasib lain. Idenya sama. Sudut pandangnya saja yang berbeda, juga judul yang
menurutku (menurutku yah) mengundang tanya (jiah, pede banget).
Aku sendiri tidak percaya cerpen Tiga Mata dimuat. Aku sangat
sadar kalau kekuranganku dalam menulis adalah susah mengembangkan kalimat.
Sulit mendeskripsikan tempat. Justru sukanya dengan percakapan. Sedang pada
cerpen Tiga Mata, yang bercerita adalah sebuah benda yang pastinya ngga bisa
ngomong. Belum lagi dengan semangat nulis yang naik turun. Sebenarnya
kebanyakan turunnya sih. Sampai-sampai sepupuku bilang, “Semangatnya ada pas
ada tulisannya doang yang termuat.” Nah, makanya pasa kemarin tahu cerpen itu
dimuat, aku tidak percaya sebelum melihatnya langsung.
Berawal dari kejengkelanku pada situasi demo yang minggu
kemarin lagi marak-maraknya akibat BBM naik. Juga pada anak pemilik rumah yang memarahiku
gara-gara demo itu. Kata sia anak, “Kasih tau tuh sama teman-temannya jangan
demo!” sambil teriak. Aku yang asik di depan tv langsung kaget dong. Padahal
aku kan juga korban demo. Takut kemana-mana karena demo. Namun dari situlah
terpikir membuat cerpen tersebut.
Aku tidak terlalu tahu sih tentang teori cerpen, pun sudah
sering dengar. Tapi ngga pernah aku hapal. Aku lebih suka mengalir saja saat
menulis. Sambil nulis sambil mikir. Paling sering pula cerpenku dimulai dengan
percakapan. Kalau tidak beberapa awalan kalimat yang (maunya sih) mengundang
tanya. Tidak jarang tuh mentok di tengah jalan karena emang ngga pake
rambu-rambu teori menulis. Yang paling parah, keseringan ngga dimuat karena
garing. Begitulah, sering pula aku tidak mengerti tentang tulisanku sendiri.
Pada cerpen Tiga Mata sendiri aku menjadikan diriku sebuah
lampu lalu lintas yang letaknya di pertigaan jalan raya. Oh iya, dulu sekali
pas si lampu lalulintasnya pecah aku jadi mikir kasihan banget. Andai saja si
lampu merah bisa ngomong, si hijau nangis, terus si kuning balas melempari sang
pelaku pelemparan, pastinya kan adil. Kembali lagi, mana mungkin kan? Makanya aku
jadiin diriku si lampu lalulintas, walau ngga akurat sama sekali (ahk... nyadar
diri amat akunya ya).
Nahlatul Azhar |
Tapi yang pasti, aku berterima kasih pada para demonstaran.
Setidaknya ide itu dari mereka. Sikap anarkisnya itu yang bikin jengkel.
Terimakasih juga pada lampu lalulintas yang telah setia aku tuliskan (loh?).
Sarangheo (parah).
BENAR ADANYA, TULISLAH APA YANG DEKAT DENGAN KITA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)