Selalu baginya adalah akhir, tapi aku tahu hatinya
menyimpan kata tak rela. Itu sudah pasti.
Aku kenalan dengann salah seorang teman perempuannya, aku
bertaya padanya apakah ia tahu gadis yang dekat dengannya. Bukannya menjawab,
ia menanyaiku kenapa? Kamu suka sama dia?
Sebuah umpan balik yang memojokkan aku, lalu dengan perasaan tak
enak aku jawab aku hanya ingin tahu sebagai temannya. Aku tambahkan pula,
jangn-jangan kamulah orangnya. Dan sungguh hari itu serasa petir menyambarku,
tatkala ia bilang gadis yang memang diisukan dekat dengannya adalah dia, orang
yang sudah aku anggap sahabat, walau tak pernah aku lihat.
Aku kembali berdiri di antara dua orang yang aku anggap
penting...
Saat kutanyakan padanya, ia juga membenarkan kalau gadis itu
selalu ada untuknya. Baik nelfon maupun sms, padahal saat itu ia sudah pulan ke
kampung halamannya.
Aku pikir lebih baik menghilang dari peredaran mereka, bukankah aku hanya benalu, parasit pengganggu
yang tak sepantasnya berdiri di tenhgah-tengah mereka. Dan saat itu aku
putuskan tak ada lagi kontekan antara aku, gadis itu, maupun dia orang yang aku
sukai dengan sepenuh hati.
Pertemuan tak bisa dielakkan, aku yang saat itu sedang mengurus
ijasah, dan kembali ke ma’had di pertemukan dengannya. Di sore yang sepi tapi
deburan di dada serasa begitu ramai menghentak.
Itu dia dari jauh berjalan ke arahku yang tengah duduk bersama
salah seorang adik kelas, darah seakan naik seluruhnya di mukaku, mendidih
hingga aku rasakan memanas dan melemaskan seluruh organ tubuhku yang lain.
Lalu...
Ia duduk tepat di sampingku, bertanya padaku tentang kabar dan
beberapa hal yang malah membuatku kian panik, aku merasa waktu begitu lama, aku
ingin ia berlalu, aku tak mau ia melihat wajahku yang aku yakin memerah. Ah,
situasi yang benar-benar tak mengenakkan.
Saat malam tiba aku minta maaf padanya akan sikapku, ia hanya
bilang aku cemen, beraninya lewat hp doang. Tahukah ia posisiku saat itu
sungguh tak enak, aku ingin akrab dengannya tapi ternyata itu tak semudah
perkiraanku. Yang ada aku diam membisu tak tahu apa yang akan aku ucapkan
padanya. Andai ia tahu....
Namun itu tak betahan lama, seperti kataku sebelumnya, aku
memilih mundur darinya, ada seseorang yang telah ia pilih yang jauh melampaui
aku.
Sebenarnya aku menyiksa diriku sendiri, tapi aku pikir biarlah
ini jadi latihan tersendiri untukku.
Aku kembali pada kesadaranku, tak mungkin.
Saat ia kembali akan berangkat ke Jawa untuk menuntu ilmu, aku
hanya mampu mendoakanna. Semoga ia mendapat yang lebih baik, daam segala hal.
Ternyaa semua ke
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)