Dia berhasil mengakhirinya. Dengan manis. Tanpa air
mata, mungkin. Yang kutahu saat itu ia tertawa berasama. Mereka. Ya ... jalan
masih panjang. Baginya kisah dengan sang tuan telah usai, tapi bagiku ... siapa
yang tahu takdir?
24 janwari 2012
Inilah akhir kisahku dengannya. Atau tepatnya aku sebut awal
yang baru. Saat ini aku hanya bisa beranda-andai. Andai saja sejak lama kita
ngobrol seperti tadi. Luka tidak akan membekas di hatiku. Aku tetap berfikir
inilah hikmah aku sakit karenamu, yah...akhirnya.
Sebenarnya kau muncul beberapa hari yang lalu, menelvon saat aku
sedang dalam buaian mimpi tidur siangku. Alangkah kagetnya aku mendengar
deringan hp yang tepat berada di sampingku. Hanya angka yang muncul tampa nama,
itu artinya nomor baru.
Awalnya aku berfikir mengenal no itu, danh keterkejutanku
berlanjut saat tau kau yang menelvon, setelah sekian lama kau menghilang, atau
lebih tepatnya aku yang menghindarimu. Kau muncul seperti tampa ada kejadian
sebelumnya. Hari itu kau hanya meminta nomor salah seorang teman. Itu pun sudah
sangat menggangguku.
Dua hari berselang. Aku kembali menghapus no mu, api kau kembali
muncul dengan sms yang entah apa. Dari situlah awalnya, hingga kau mengatakan,
“Andai kau tau yang sebenarnya.”
Aku terkejut, memangnya apa yang sebenarnya terjadi. Aku sangat
mudah penasaran, dengan kata-kata itu, kuputuskan menelvonmu, menerima tawaran
darimu tentunya.
Hingga mengalirlah kisahmu dengannya, di dalamnya akupun
terselip, sebagai bumbu mungkin.
“Mau tau tentang apa?” tanyamu kala itu.
“Yah, seperti katamu tadilah. Hal sebenarnya yang tidak aku
tahu.” Jawabku mencoba tuk memberanikan diri. Mengapa? Karena tak pernah
sekalipun aku menelvon atau kau menelvonku dengan waktu yang agak lama.
“Iya, makanya kamu bertanya dong, biar aku jawab.”
“Ye... aku Cuma mau tau yang sebenarnya. Makanya cerita saja.”
“Ceritaapa?”
“Yah kisahmu dengan si dia toh.”
“Yah kisahmu dengan si dia toh.”
“Entar kamu marah lagi, kamukan cepat marah.” Ternyata kau
mengenal sifatku yang satu ini.
“Enggabakalan.”
“Ah...bohong, kamu ntar ngga profesional lagi. Lagi pula apa gunanya dibahas?”
“Ah...bohong, kamu ntar ngga profesional lagi. Lagi pula apa gunanya dibahas?”
“Itu untuk tulisanku.”
“Paling mau ngerjain.”
“Aduh... serius aku cuman pengen tahu, dari pada tahu dari orang
lain, bumbu-bumbunya banyak. Mending dari orangnya langsungkan?”
“Baiklah. Aku tiu masuk Pesantren di Jakarta tahun 2007 terus
2010 masuk kuliah, itu saja kok.”
“Kalau itu aku juga tahu kali, kisah kamu ma dia yang aku mau tahu.”
“Iya,dengerin.”
Mengalirlah ia...
Bagai air
Tak menolak tak mengiyakan
Namun air selalu menemukan wadahnya
Seperti dia yang menemuknmua
Dan menyingkirkan kotoran lain selain air yang dibutuhkan
Seperti aku, yaang menjadi benalu.
Kisahmu indah duhai tuan
Menjadikanku iri
Menjadikanku ingin
Pun hanya mimpi
Tuan ... itulah kisahmu
Dan sekarang, walau bukan akhir bagimu aku sudah merasa akhir
bagiku.
Tuan ... kelak jika kita bertemu lagi, aku kan berani menyapa
tanpa rona di wajah
Berani menatap tanpa gemuruh di dada
Sebab lembaran kisahku untukmu telah usai
Dan nanti jika kembali bersua, itu hanya pertemuan biasa. Tanpa kisah
juga cinta.
tetap membekas :)
BalasHapusiya mba Rahma. membekas dan tak pernah hilang :)
HapusKalau diary diceritakan di sini..khawatir tak kalau dia yang kit ceritakan di sini baca tulisan kita? Hihi
BalasHapushehehhe. mmm ... gimana yah, lagian orangnya ga bakal ngeh juga. pintar2nya kita aja mba buat ngakali biar dia g tahu (jawaban asal) kalau jawaban parah sih gini : "siapa suruh dekat2 penulis, dijadiin cerita kan tuh."
Hapus