Senin, 18 Februari 2013

Pahlawan Cinta


Banyak gadis yang telah dikenalnya, tapi belum pernah ada yang membuat hatinya berdegup kencang. Namun hari itu, ia menyadari sesuatu. Ada yang menarik perhatiannya, menjadikan pandangan matanya hanya tertuju pada satu orang. Dia ada di sana, gadis dengan jilbab hijaunya. Ia terpana, hatinya pun menyanyikan lagu cinta.
*
“Biarkan aku pergi sendiri,” ucap laki-laki itu dengan mimik serius. Ia sadar keputusannya kali ini akan menentukan masa depannya kelak.
“Apa kamu tidak malu, Nak?” tanya wanita yang duduk di sampingnya yang tak lain adalah ibunya. Laki-laki itu memang tengah berunding dengan keluarganya: bapak, ibu, kakak, dan adiknya.
“Justru itu, Bu. Kalaupun ditolak, biarlah saya yang menanggung malunya seorang diri,” jawab laki-laki itu dengan suara mantap.
“Man, Man. Aku tidak menyangka adikku akan setangguh ini,” tukas Sarah sambil tersenyum pada adiknya, Iman.
“Iya, Kakak pemberani banget,” tambah adik Iman yang bernama Hafsa.
“Baiklah itu keputusanmu, Nak. Bapak hanya bisa membantumu dengan doa, semoga semuanya berjalan dengan baik. Satu yang bapak pesankan, jika hasilnya tidak sesuai harapanmu jangan terlalu kecewa. Anggap saja dia bukan yang terbaik untuk masa depanmu,” kali ini bapak Iman dan dua saudaranya yang lain bersuara.
 Iman mendengarkan nasehat bapaknya dengan seksama. Ia memang harus siap dengan segala kemungkinan yang ada. Diterima tidaknya nanti, Iman akan mengaggapnya perjalanan hidup yang memang harus ditempuhnya.
“Dan jika diterima, kami akan mengantarmu untuk melamar gadis itu secara resmi,” lanjut laki-laki paruh baya itu pada anak laki-lakinya.
*
Suasana malam tampak mencekam. Yang terdengar hanya suara-suara hewan malam. Sesekali angin berhembus agak kencang. Di dalam kamarnya yang sempit, Iman memohon pada Tuhannya berharap dimudahkan jalannya.
“Ya Tuhan, semoga dialah yang Engkau kirim untuk melengkapi tulang rusukku, amin ...”
*
“Jadi ayahku pergi seorang diri, Nek?” tanya Dila pada neneknya. Dari wajahnya terlihat jelas kalau ia peasaran.
“Tentu saja,” jawab neneknya sambil tersenyum.
“Terus lamaran ayahku diterima?” tanya Dila lagi dengan mata berbinar-binar.
“Aduh Sayang, tentu saja ayahmu diterima. Kalau tidak mana ada kamu dan keempat adikmu yang lain.”
“Wah ... ayah benar-benar berani ya, Nek. Aku jadi tambah kagum padanya."
Dila tersenyum puas mendengar kisah cinta antara ayah dan ibunya dulu. Perlahan dirangkulnya wanita yang telah melahirkan ayahnya.
“Nek, aku juga berharap kelak berjodoh dengan orang yang seperti ayah,” bisiknya pada Neneknya.
“Tentu Sayang. Nenek juga akan mendoakan yang terbaik untukmu.”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)