Minggu, 16 September 2012

Kelebihanku Apa?


Mengobati rasa sepi yang tiba-tiba menerkam hati juga rindu yang mulai merambati jiwa maka tanpa mikir kalau pulsa tinggal seberapa aku pun menelepon ke nomor ibuku. Padahal belum seminggu aku di kota Daeng yang panas ini. Percakapan pun terjadi. Entah hanya pikiranku saja atau memang nyatanya seperti itu, saat ini sangat terasa jika ibu dan ayahku sudah menjadi sahabat bagiku. Cerita yang mengalir  dari mulut masing-masing pun tak terdengar canggung. Diselingi candaan hasku dan tawa indah dari ibu.
Tak lupa pula aku menanyakan penghuni rumahku yang lain. Dan ternyata, ayah sedang mengaji, si kecil Hanif yang minta dibuatkan susu, Jira anak kedua dari terakhir sedang belajar dan nenekku yang mengeluh jika badannya terasa panas. Jadi rindu suasana setelah magrib di rumah. Biasanya ayah akan menyuruh kami mengaji, setelah itu aku menyiapkan makan malam. Nikmatnya makan bersama keluarga akan terasa di malam hari. Karena jika pagi dan siang hari sudah sulit untuk duduk bersama menikmati masakan sederhanaku atau ibu.
Percakapanku dengan ibu masih berlanjut pun saat itu ibu sedang memasak sayur. Jadi rindu masakan ibu. Kadang aku heran, mengapa masakan sederhana ibu selalu terasa nikmat di mulutku, walaupun yang beliau buat hanya tomat yang dihaluskan lalu kemudian ditabahi garam. Aku bahkan bisa memakannya tanpa nasi, dan tentunya lidahku tak protes malah minta tambah. Adakah bumbu cinta ibu tambahkan di dalamnya?
Tapi inti tulisan ini bukan tentang masakan ibu, melainkan tentang  pertanyaan ayahku yang kembali teringat olehku saat masih berbicara dengan ibu.
“Kalau dipikir-pikir kelebuhanku apa yah?” Kurang lebih itulah yang diucapkan ayah.
Saat beliau menanyakan hal tersebut, aku masih berada di kampung halamanku. Mendengar pertanyaan semacam itu, aku jadi bertanya-tanya kalau ayah saja menanyakan kelebihannya apa, lantas bagaimana denganku?
Kaintannya dengan percakapanku dengan ibu di telepon karena ibu memberitahukan kabar gembira kalau ayah akan dilantik jadi kepala sekolah.
“Bu, bilang sama ayah kelebihannya itu adalah karena beliau disegani.”
Aku katakan disegani bukan ditakuti. Aku kembali teringat masa-masa kecilku karenanya, bagaimana ayah mendidikku dengan keras. Menanamkan disiplin terutama tentang shalat, mengaji dan yang berkaitan dengan agama. Takutlah yang saat itu aku rasakan, kadang pula berubah benci. Barulah semua perlakuan ayah di masa lalu mulai terasa hikmahnya saat ini bagi diriku. Hingga ketakutan itu berubah segan. Tak ada lagi takut, bahkan saat ini ayah malah selalu bilang, “ Kita sudah sama-sama dewasa, sudah bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Anggap saat ini kita adalah teman saja.”
Dan hasilnya, kekagumanku pada ayah semakin bertambah saja. Demikian pula dengan ibu. Jika dengan ayah, aku bisa banyak mendapat masukan juga nasehat, maka dengan ibu aku bisa mencurahkan segala keluhan hatiku.
Entah mengapa sulit mengungkapkannya lewat kata-kata tentang kelebihan ayah, tapi aku yakin kelebihan beliau ada. Hanya tak bisa aku ungkap dengan jelas saja. juga mungkinkah aku akan menulis seperti ini jika beliau tak punya kelebihan?
Ayah dan ibu menanamkan cinta dalam hatiku. Dimana cinta itu pula aku peruntukkan untuk mereka berdua. Orang-orang terkasih yang tak mungkin tuk kubalaskan jasa-jasanya pun sisa umurku aku berikan.
Jadi ayah, saat engkau bertanya apa kelebihanmu, maka lihatlah aku. Aku ada karena salah satu kelebihan ayah. Hanya salah satu dari sekian kelebihan ayah yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)