Mengobati
rasa sepi yang tiba-tiba menerkam hati juga rindu yang mulai merambati jiwa
maka tanpa mikir kalau pulsa tinggal seberapa aku pun menelepon ke nomor ibuku.
Padahal belum seminggu aku di kota Daeng yang panas ini. Percakapan pun
terjadi. Entah hanya pikiranku saja atau memang nyatanya seperti itu, saat ini
sangat terasa jika ibu dan ayahku sudah menjadi sahabat bagiku. Cerita yang
mengalir dari mulut masing-masing pun tak
terdengar canggung. Diselingi candaan hasku dan tawa indah dari ibu.
Tak lupa
pula aku menanyakan penghuni rumahku yang lain. Dan ternyata, ayah sedang
mengaji, si kecil Hanif yang minta dibuatkan susu, Jira anak kedua dari
terakhir sedang belajar dan nenekku yang mengeluh jika badannya terasa panas.
Jadi rindu suasana setelah magrib di rumah. Biasanya ayah akan menyuruh kami
mengaji, setelah itu aku menyiapkan makan malam. Nikmatnya makan bersama
keluarga akan terasa di malam hari. Karena jika pagi dan siang hari sudah sulit
untuk duduk bersama menikmati masakan sederhanaku atau ibu.
Percakapanku
dengan ibu masih berlanjut pun saat itu ibu sedang memasak sayur. Jadi rindu
masakan ibu. Kadang aku heran, mengapa masakan sederhana ibu selalu terasa
nikmat di mulutku, walaupun yang beliau buat hanya tomat yang dihaluskan lalu
kemudian ditabahi garam. Aku bahkan bisa memakannya tanpa nasi, dan tentunya
lidahku tak protes malah minta tambah. Adakah bumbu cinta ibu tambahkan di
dalamnya?
Tapi inti
tulisan ini bukan tentang masakan ibu, melainkan tentang pertanyaan ayahku yang kembali teringat
olehku saat masih berbicara dengan ibu.
“Kalau
dipikir-pikir kelebuhanku apa yah?” Kurang lebih itulah yang diucapkan ayah.
Saat beliau
menanyakan hal tersebut, aku masih berada di kampung halamanku. Mendengar
pertanyaan semacam itu, aku jadi bertanya-tanya kalau ayah saja menanyakan
kelebihannya apa, lantas bagaimana denganku?
Kaintannya
dengan percakapanku dengan ibu di telepon karena ibu memberitahukan kabar
gembira kalau ayah akan dilantik jadi kepala sekolah.
“Bu, bilang
sama ayah kelebihannya itu adalah karena beliau disegani.”
Aku katakan
disegani bukan ditakuti. Aku kembali teringat masa-masa kecilku karenanya,
bagaimana ayah mendidikku dengan keras. Menanamkan disiplin terutama tentang
shalat, mengaji dan yang berkaitan dengan agama. Takutlah yang saat itu aku
rasakan, kadang pula berubah benci. Barulah semua perlakuan ayah di masa lalu
mulai terasa hikmahnya saat ini bagi diriku. Hingga ketakutan itu berubah
segan. Tak ada lagi takut, bahkan saat ini ayah malah selalu bilang, “ Kita
sudah sama-sama dewasa, sudah bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Anggap
saat ini kita adalah teman saja.”
Dan
hasilnya, kekagumanku pada ayah semakin bertambah saja. Demikian pula dengan
ibu. Jika dengan ayah, aku bisa banyak mendapat masukan juga nasehat, maka
dengan ibu aku bisa mencurahkan segala keluhan hatiku.
Entah
mengapa sulit mengungkapkannya lewat kata-kata tentang kelebihan ayah, tapi aku
yakin kelebihan beliau ada. Hanya tak bisa aku ungkap dengan jelas saja. juga
mungkinkah aku akan menulis seperti ini jika beliau tak punya kelebihan?
Ayah dan
ibu menanamkan cinta dalam hatiku. Dimana cinta itu pula aku peruntukkan untuk
mereka berdua. Orang-orang terkasih yang tak mungkin tuk kubalaskan
jasa-jasanya pun sisa umurku aku berikan.
Jadi ayah,
saat engkau bertanya apa kelebihanmu, maka lihatlah aku. Aku ada karena salah
satu kelebihan ayah. Hanya salah satu dari sekian kelebihan ayah yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)