Sabtu, 15 September 2012

Gee

Kisah ini ini aku mulai dari diriku. Menagapa? Sebab akulah yang akan bercerita. Tentang diriku, namaku Gee. Hanya itu, aku sudah lupa nama pemberian orang tuaku atau bahkan mereka tak memberiku nama. Entahlah, bukan itu intinya. Aku yatimpiatu. Selain tidak memiliki orang tua, aku pun tidak memiliki suara. Saat hendak berbicara yang keluar dari mulutku hanya erangan-erangan tak jelas. Tidak ada yang paham dengan apa yang aku ucapkan. Maka hal itu pula yang menjadi alasan tulisan ini ada. Sebab aku tidak mungkin menceritakannya langsung.
Berkat tidak mampu menghasilkan kata-kata yang jelas untuk didengarkan itu, ejekan hampir setiap hari masuk ke telingaku. Seakan jadi makanan buat dua lobang kecil di kepalaku, kiri dan kanan. Menyerah? Bunuh diri? Aku sudah mencobanya beberapa kali. Nihil. Aku tak diizinkan mati. Terlalu besar cinta Penguasa langit dan bumi padaku. Hingga aku bosan untuk berusaha mengakhiri hidupku. Bukankah jika aku mati, tidak ada lagi bahan lelucon orang-orang yang melihatku? Mereka mungkin mendapat kesenangan karenanya. Tak apalah toh hidup masih tetap berjalan ke depan, dan lagi jalan itu bukan milik mereka saja. Lagi pula, ladang amal akan menjadi milikku karenanya.
Gee, mengapa nama itu? Aku suka dengan kedua huruf tersebut tak ada alasan lain. Nama itu aku semaikan pada diriku. Saat orang bertanya tentang siapa namaku, tangan kecilku akan meraih kumpulan kertas bekas yang telah aku satukan dalam saku bajuku. Lalu kemudian menuliskan tiga huruf tersebut dengan pensil yang sudah aku beri tali dan melingkar di leherku. Mengetahui wajah rupawan di hadapan mereka tak bisa berbicara, dari situlah muncul berbagai ekspresi tentangku.
“Kaihan sekali, padahal wajahnya sangat lucu.”
“Cantik-cantik kok bisu.”
Dan berbagai kalimat lain akan muncul karena kekuranganku. Mereka tak sadar kilatan api pada setiap ucapan pedis mereka sangat terlihat jelas oleh mataku. Setidaknya aku tak mengucapkannya. Hikmah di balik kebbisuanku lagi.
Tentang dimana aku tinggal, aku bisa tinggal dimana saja. Beratapkan langit beralaskan tanah. Itulah rumahku. Besarkan? Bahkan tidak ada rumah sebesar rumahku. Makanan? Karena rumahku yang luas, aku pun bebas mengambil makanan apa saja yang aku suka. Dimanapun dan kapanpun aku mau saja. Hidup sudah sulit, untuk apa aku persulit lagi.
Aku hanya akan berjalan tanpa suara, dalam rumahku yang sangat luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)