Kisah ini
ini aku mulai dari diriku. Menagapa? Sebab akulah yang akan bercerita. Tentang
diriku, namaku Gee. Hanya itu, aku sudah lupa nama pemberian orang tuaku atau
bahkan mereka tak memberiku nama. Entahlah, bukan itu intinya. Aku yatimpiatu.
Selain tidak memiliki orang tua, aku pun tidak memiliki suara. Saat hendak
berbicara yang keluar dari mulutku hanya erangan-erangan tak jelas. Tidak ada
yang paham dengan apa yang aku ucapkan. Maka hal itu pula yang menjadi alasan
tulisan ini ada. Sebab aku tidak mungkin menceritakannya langsung.
Berkat
tidak mampu menghasilkan kata-kata yang jelas untuk didengarkan itu, ejekan
hampir setiap hari masuk ke telingaku. Seakan jadi makanan buat dua lobang
kecil di kepalaku, kiri dan kanan. Menyerah? Bunuh diri? Aku sudah mencobanya beberapa
kali. Nihil. Aku tak diizinkan mati. Terlalu besar cinta Penguasa langit dan
bumi padaku. Hingga aku bosan untuk berusaha mengakhiri hidupku. Bukankah jika
aku mati, tidak ada lagi bahan lelucon orang-orang yang melihatku? Mereka
mungkin mendapat kesenangan karenanya. Tak apalah toh hidup masih tetap
berjalan ke depan, dan lagi jalan itu bukan milik mereka saja. Lagi pula,
ladang amal akan menjadi milikku karenanya.
Gee,
mengapa nama itu? Aku suka dengan kedua huruf tersebut tak ada alasan lain.
Nama itu aku semaikan pada diriku. Saat orang bertanya tentang siapa namaku,
tangan kecilku akan meraih kumpulan kertas bekas yang telah aku satukan dalam
saku bajuku. Lalu kemudian menuliskan tiga huruf tersebut dengan pensil yang
sudah aku beri tali dan melingkar di leherku. Mengetahui wajah rupawan di
hadapan mereka tak bisa berbicara, dari situlah muncul berbagai ekspresi
tentangku.
“Kaihan
sekali, padahal wajahnya sangat lucu.”
“Cantik-cantik
kok bisu.”
Dan
berbagai kalimat lain akan muncul karena kekuranganku. Mereka tak sadar kilatan
api pada setiap ucapan pedis mereka sangat terlihat jelas oleh mataku.
Setidaknya aku tak mengucapkannya. Hikmah di balik kebbisuanku lagi.
Tentang
dimana aku tinggal, aku bisa tinggal dimana saja. Beratapkan langit beralaskan
tanah. Itulah rumahku. Besarkan? Bahkan tidak ada rumah sebesar rumahku.
Makanan? Karena rumahku yang luas, aku pun bebas mengambil makanan apa saja
yang aku suka. Dimanapun dan kapanpun aku mau saja. Hidup sudah sulit, untuk
apa aku persulit lagi.
Aku hanya
akan berjalan tanpa suara, dalam rumahku yang sangat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)