Melukis keindahan dalam diam, itulah
yang selalu ia katakan pada dirinya sendiri. Wanita dengan kelemahan fisik. Bidadari istimewa
karena mendapat keistimewaan dari Penciptanya.
“Namamu Laila kan? Tahukah kau Laila
artinya malam yang pekat. Saat itu suasana benar-benar hening,sunyi.”
Benar aku dikucilkan dalam malam,
sama dengan namaku.
“Kamu
mungkin berfikir nama itu sangat cocok dengan keadaanmu sekarang. Suka
menyendiri menghindar dari keramaian. Tapi sebenarnya malamlah yang dirindukan
manusia tuk melepas penat. Di malam hari pula hamba-hamba yang saleh terbangun
untuk lebih mendekatkan diri pada Robbnya.”
Aku tidak pernah memikirkan hal
itu.
“La! Menyesali kenyataan yang
menimpamu selama ini bukanlah jalan keluar. Toh inilah takdir yang tak bisa
diubah. Kamu bisa menjalaninya dengan baik, tapi itu tergantung kemauanmu.
Kakak tak bisa banyak membantumu, maafkan kakak.”
Gadis usia 17 tahun itu tak menyangka kata-kata itu menjadi
salam perpisahan kakak semata wayangnya. Bari meninggalkannya sendiri
kini, ditemani melodi sepi yang semakin
menggila.
***
Semenjak kepergian Bari, Liala
semakin menutup diri. Tak ada lagi rutinitas ke sekolah. Bahkan tuk mengurus
dirinyapun seakan lupa. Kamarnya yang mungil tak lagi rapi seperti dulu.
Rumahnya yang bersih mulai terlihat kusam, juga taman depan rumah yang selalu ia
rawat dengan baik mulai ditumbuhi rumput-rumput. Hanya kewajibannya pada Robbnya yang tak ia
lupakan. Bari pula yang mengajarinya hal itu.
Saat hembusan angin malam kian
dingin, ia duduk di depan meja belajar Bari. Di atas meja terdapat beberapa
buku yang sudah berdebu. Kebanyakan buku tentang agama, ada satu yang menarik
perhatian Laila. Buku catatan Bari yang selama ini ingin ia baca.
Dibukanya perlahan, ada getaran
halus di dadanya. Sekian lama ia meminta Bari memperlihatkan buku itu padanya,
namun kakanya selalu menolak. Malah menyuruhnya membaca buku lain.
Bidadari kecilku, hanya kau yang
membuatku bertahan hingga kini. Kalimat
pertama yang ia baca.
Suatu petang aku berjalan di
antara tumpukan sampah dekat jembatan tempatku bermain. Kala itu semua sudah
pulang, karena ada barangku yang tertinggal akupun kembali tuk mengambilnya.
Ternyata sekenario Tuhan kala itu tengah bermain, aku mendengar tangisan bayi
di antara tumpukan sampah. Saat memeriksa sekitar betapa kagetnya aku menemukan
bayi merah yang terbungkus kain usang. Aku hendak berlari, tapi seakan kakiku
tertahan. Ibu pasti marah jika melihatku
membawa bayi itu. kami yang hidup pas-pasan akan kerepotan jika menambah satu
beban lagi. Jadi aku harus bagaimana. Tak tega meninggalkan bayi itu.
Lanjutan
diary itu tidak ada. Rasa penasaran Laila akan bayi itu tak terobati. Diary
kecil itu berhenti menceritakan kisahnya. Halaman selanjutnya sobek. Rahasia
apa yang Kakak sembunyikan dariku?
Semakin teriris perasaan
Laila. Akukah bayi malang itu? ia ingat dulu ibu sangat membencinya. Ada
saja kata pedis ibu yang menohoknya tiap hari. Belum lagi bekas cubitan dan
pukulan wanita itu di badannya tak terhitung jumlahnya. Ah ibu, aku
tetap mencintaimu dalam diamku.
Bidadariku menangis lagi, katanya
dipukuli ibu. Malang sekali nasibnya, ibu tak pernah bisa menerima bidadariku,
apa karena kebisuannya. Aku selalu berharap pintu hati ibu terketuk. Ataukah
ini balasan Tuhan padaku? Tentang bayi itu... ah, aku sungguh berdosa.
Ada
banyak tulisan dalam buku itu, namun ia tak paham kisah tentang dirinya. Siapa
sebenarnya bayi itu Kak? Di bukanya terus buku itu, tak ada lagi tulisan tangan
kakaknya tentang bayi itu.
Matanya masih menekuni buku itu.
Ibu telah pergi bidadariku,
katanya ia ingin mencari uang di tempat lain. Ibu meninggalkan kita berdua
setelah ayah. Tapi ibu berjanji menjemput kita setelah ia berhasil bidadariku.
Mungkin ibu tak tahu, kebersamaanlah yang kita inginkan. Aku yang akan
menjagamu. Aku berjanji.
***
Sepuluh tahun silam di perkampungan
kumuh.
Wanita itu menahan gejolak di
hatinya. Bagaimanapun tak mungkin ia membawa kedua buah hatinya. Tak akan ada
yang mau menerimanya bekerja nanti. Rasa bersalah terus saja menggerogotinya.
Terlebih pada bungsunya yang selalu dipojokkan. Dianggap pembawa sial, dirinya
pulalah yang membuat gadis kecilnya tak pernah mau mengeluarkan suara.
Tapi ia tetap harus pergi. Walau putranya
tak mengizinkan ia tetap pergi. Maka malam itu, saat kedua anaknya tidur pulas,
ia melangkahkan kaki keluar rumah setelah mencium kedaua anaknya.
“ Ibu berjanji akan kembali, Nak,” bisiknya pilu.
Wanita itu tak tahu, putranya
tersadar kala itu. Ia menangis tersedu-sedu saat wanita itu telah keluar rumah.
Bara tahu ibunya tak tahan pada
kemiskinan mereka yang sudah sekian lama. Ia pun tahu, ibunya menganggap adiknya pembawa sial. Karena
adiknya pula ayah mereka meninggal. Wanita itu sangat bergantung pada suaminya,
hingga suatu hari saat kecelakaan menewaskan sang suami. Sedang anak perempuan
terselamatkan dalam pelukan laki-laki itu.
***
Laila masih terdiam, jam tua di
dinding rumahnya menunjukkan pukul 01.55 dini hari. Tak jua ia bergeming. Air matanya telah terkuras habis. Bari bukan
saja meninggalkannya. Banyak rahasia yang ia pendam dan tak diberitahukan
pada dirinya.
Bagaimana cara menjelaskan semua ini
pada Laila? Penyakitku parah. Ah, tak ingin membuatnya hawatir. Apa lagi
mematahkan semangatnya. Aku benar-benar bukan kakak yang baik untukmu.
Gadis tunawicara itu pindah ke
tempat tidur kakaknya. Air matanya kembali terurai hingga ia tertidur karena
kelelahan.
***
“La! Aku sahabatmukan? Berbagilah
denganku. Kak Bari bukan satu-satunya orang yang peduli padamu. Bahkan sekalipu
ia masih bisa melihatmu, aku yakin ia tak akan suka kamu seperti ini,” ucap
Fauziah, teman sebangkunya di sekolah, “Terlebih lagi sekarang kamu sudah tak
sekolah lagi. Jangan biarkan aku jadi sahabat yang jahat, aku sangat siap
membantumu.”
Laila tak menjawab, ia berbalik lalu
memeluk sahabatnya itu. Aku tahu, aku akan mengikuti kata Kak Bari tuk
bangkit. Fauziah satu-satunya teman sekelasnya yang peduli padanya.
Sampai-sampai saat tahu Laila dikeluarkan karena uang SPP yang menunggak,
dengan senag hati Fauziah meminjaminya buku-buku pelajaran. Tak jarang pula
membelikannya buku berharap Laila akan terhibur.
Hampir setiap hari setelah dari
sekolah Ziah mampir ke rumah Laila.
“Aku mau pinjam buku kamu. Itu loh
buku kumpulan puisi kamu,” Ucapnya suatu sore.
Laila mengambil note book kecil dari
sakunya, ‘untuk apa?’ tulisnya lalu diberikan pada Ziah.
“Ada tugas sekolah. Kamu tahu
sendirikan, aku tidak suka mengarang. Apa lagi mengarang puisi,” jawabnya tuk
menjawab pertanyaan sahabatnya. Laila tak tahu, dalam hati Ziah punya rencana
lain.
Perlahan-lahan senyum kembali
terlihat di wajah Laila. Tak lepas dari bantuan sahabatnya. Walau masih enggan
keluar rumah, namun ia sudah beraktifitas lagi. Bahkan tak hanya itu, ia mulai
rajin menulis kenangan-kenagannya bersama Bari.
Baginya membuat puisi dan tulisan-tulisan lain, seakan menghadirkan
laki-laki yang sangat ia sayangi.
***
Laila Bari. Nama yang tertera pada sampul buku itu membuat wanita
yang sedari tadi duduk di teras rumahnya tercengang. Buku yang baru saja dibawa
pulang olehh anaknya itu tak ayal mmbuat jantungnya bekerja cepat.
“Kenapa, Ma?” anak dari suaminya yang duduk di bagku Sekolah
Menengah Pertama merasa aneh dengan ekspresi ibunya.
“O...penulis buku itu besok mau datang ke sekolah. Karena aku suka
karya-karyanya yang menyentuh, jadi tadi pas dari sekolah aku mampir saja ke
toko buku. Sekalian besok minta tanda tangannya,” jelasnya enteng.
Wanita itu hanya melongo, di tatapnya kembali buku itu. perlahan
dalam hati ia baca judul bukunya, ‘Ibu Pulanglah’.
***
Anak gadisnya tak tahu ia pun ikut
ke sekolah. Anak gadisnya tak tahu, dalam hatinya berkecamuk perasaan bersalah.
Acara berlanggsung dengan baik.
Wanita yang duduk di hadapan ratusan siswa itu terlihat sangat anggun. Di
sampingnya duduk seoarang wanita lagi, yang tak lain adalah sahabatnya. Sahabat
yang juga ambil peran mewakilinya berbicara. Kekurangannya karena bisu, membuat
banyak tulisan lahir dari jemarinya.
Sedang wanita paruh baya di belakang
sana masih menatap tak percaya.
***
Anakku maafkan ibu. Mungkin ebih
baik begini. Kau benar-benar tumbuh dengan baik. Ibu dengar kau kini sebatang
kara. Tak berani wanita hina ini menampakkan wajah di hadapanmu. Apa lagi kini
engkau telah berhasil.
Tentang kakakmu, ibu pun banyak
salah padanya. Ibu menjadikannya manusia tak berperasaan, sehingga ia tega
meninggalkan bayi merah itu di tengah tumpukan sampah.
Ibu juga salah padamu. Engkau
anakku. Tapi karena marah atas kepergian ayahmu, ibu menganggapmu orang lain.
Ibu juga malu mempunyai anak yang bisu. Ibu anggap kau pembawa sial. Nyatanya
engkaulah permata yang sebenarnya.
Satu-satunya sikap ibu yang benar
hanyalah, merobek buku diary kakakmu. Sehingga tak ada orang yang tahu dia
meninggalkan bayi merah itu.
Maafkan ibu yang tak dapat
kembali...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)