Rabu, 18 Juli 2012

BIDADARI CACAT

            Melukis keindahan dalam diam, itulah yang selalu ia katakan pada dirinya sendiri.  Wanita dengan kelemahan fisik. Bidadari istimewa karena mendapat keistimewaan dari Penciptanya.
            “Namamu Laila kan? Tahukah kau Laila artinya malam yang pekat. Saat itu suasana benar-benar hening,sunyi.”
            Benar aku dikucilkan dalam malam, sama dengan namaku.
            “Kamu mungkin berfikir nama itu sangat cocok dengan keadaanmu sekarang. Suka menyendiri menghindar dari keramaian. Tapi sebenarnya malamlah yang dirindukan manusia tuk melepas penat. Di malam hari pula hamba-hamba yang saleh terbangun untuk lebih mendekatkan diri pada Robbnya.”
            Aku tidak pernah memikirkan hal itu.
            “La! Menyesali kenyataan yang menimpamu selama ini bukanlah jalan keluar. Toh inilah takdir yang tak bisa diubah. Kamu bisa menjalaninya dengan baik, tapi itu tergantung kemauanmu. Kakak tak bisa banyak membantumu, maafkan kakak.”
            Gadis usia 17  tahun itu tak menyangka kata-kata itu menjadi salam perpisahan kakak semata wayangnya. Bari meninggalkannya sendiri kini,  ditemani melodi sepi yang semakin menggila.
***
            Semenjak kepergian Bari, Liala semakin menutup diri. Tak ada lagi rutinitas ke sekolah. Bahkan tuk mengurus dirinyapun seakan lupa. Kamarnya yang mungil tak lagi rapi seperti dulu. Rumahnya yang bersih mulai terlihat kusam, juga taman depan rumah yang selalu ia rawat dengan baik mulai ditumbuhi rumput-rumput.  Hanya kewajibannya pada Robbnya yang tak ia lupakan. Bari pula yang mengajarinya hal itu.
            Saat hembusan angin malam kian dingin, ia duduk di depan meja belajar Bari. Di atas meja terdapat beberapa buku yang sudah berdebu. Kebanyakan buku tentang agama, ada satu yang menarik perhatian Laila. Buku catatan Bari yang selama ini ingin ia baca.
            Dibukanya perlahan, ada getaran halus di dadanya. Sekian lama ia meminta Bari memperlihatkan buku itu padanya, namun kakanya selalu menolak. Malah menyuruhnya membaca buku lain.
            Bidadari kecilku, hanya kau yang membuatku bertahan hingga kini. Kalimat pertama yang ia baca.
            Suatu petang aku berjalan di antara tumpukan sampah dekat jembatan tempatku bermain. Kala itu semua sudah pulang, karena ada barangku yang tertinggal akupun kembali tuk mengambilnya. Ternyata sekenario Tuhan kala itu tengah bermain, aku mendengar tangisan bayi di antara tumpukan sampah. Saat memeriksa sekitar betapa kagetnya aku menemukan bayi merah yang terbungkus kain usang. Aku hendak berlari, tapi seakan kakiku tertahan. Ibu pasti  marah jika melihatku membawa bayi itu. kami yang hidup pas-pasan akan kerepotan jika menambah satu beban lagi. Jadi aku harus bagaimana. Tak tega meninggalkan bayi itu.
            Lanjutan diary itu tidak ada. Rasa penasaran Laila akan bayi itu tak terobati. Diary kecil itu berhenti menceritakan kisahnya. Halaman selanjutnya sobek. Rahasia apa yang Kakak sembunyikan dariku?
Semakin  teriris perasaan Laila. Akukah bayi malang itu? ia ingat dulu ibu sangat membencinya. Ada saja kata pedis ibu yang menohoknya tiap hari. Belum lagi bekas cubitan dan pukulan wanita itu di badannya tak terhitung jumlahnya. Ah ibu, aku tetap  mencintaimu dalam diamku.
            Bidadariku menangis lagi, katanya dipukuli ibu. Malang sekali nasibnya, ibu tak pernah bisa menerima bidadariku, apa karena kebisuannya. Aku selalu berharap pintu hati ibu terketuk. Ataukah ini balasan Tuhan padaku? Tentang bayi itu... ah, aku sungguh berdosa.
            Ada banyak tulisan dalam buku itu, namun ia tak paham kisah tentang dirinya. Siapa sebenarnya bayi itu Kak? Di bukanya terus buku itu, tak ada lagi tulisan tangan kakaknya tentang bayi itu.
            Matanya masih menekuni buku itu.
            Ibu telah pergi bidadariku, katanya ia ingin mencari uang di tempat lain. Ibu meninggalkan kita berdua setelah ayah. Tapi ibu berjanji menjemput kita setelah ia berhasil bidadariku. Mungkin ibu tak tahu, kebersamaanlah yang kita inginkan. Aku yang akan menjagamu. Aku berjanji.
***
            Sepuluh tahun silam di perkampungan kumuh.
            Wanita itu menahan gejolak di hatinya. Bagaimanapun tak mungkin ia membawa kedua buah hatinya. Tak akan ada yang mau menerimanya bekerja nanti. Rasa bersalah terus saja menggerogotinya. Terlebih pada bungsunya yang selalu dipojokkan. Dianggap pembawa sial, dirinya pulalah yang membuat gadis kecilnya tak pernah mau mengeluarkan suara.
            Tapi ia tetap harus pergi. Walau putranya tak mengizinkan ia tetap pergi. Maka malam itu, saat kedua anaknya tidur pulas, ia melangkahkan kaki keluar rumah setelah mencium kedaua anaknya.
“ Ibu berjanji akan kembali, Nak,” bisiknya pilu.
            Wanita itu tak tahu, putranya tersadar kala itu. Ia menangis tersedu-sedu saat wanita itu telah keluar rumah.
            Bara tahu ibunya tak tahan pada kemiskinan mereka yang sudah sekian lama. Ia pun tahu, ibunya  menganggap adiknya pembawa sial. Karena adiknya pula ayah mereka meninggal. Wanita itu sangat bergantung pada suaminya, hingga suatu hari saat kecelakaan menewaskan sang suami. Sedang anak perempuan terselamatkan dalam pelukan laki-laki itu.
***
            Laila masih terdiam, jam tua di dinding rumahnya menunjukkan pukul 01.55 dini hari. Tak jua ia bergeming.  Air matanya telah terkuras habis. Bari bukan saja meninggalkannya. Banyak rahasia yang ia pendam dan tak diberitahukan pada dirinya.
            Bagaimana cara menjelaskan semua ini pada Laila? Penyakitku parah. Ah, tak ingin membuatnya hawatir. Apa lagi mematahkan semangatnya. Aku benar-benar bukan kakak yang baik untukmu.
            Gadis tunawicara itu pindah ke tempat tidur kakaknya. Air matanya kembali terurai hingga ia tertidur karena kelelahan.
***
            “La! Aku sahabatmukan? Berbagilah denganku. Kak Bari bukan satu-satunya orang yang peduli padamu. Bahkan sekalipu ia masih bisa melihatmu, aku yakin ia tak akan suka kamu seperti ini,” ucap Fauziah, teman sebangkunya di sekolah, “Terlebih lagi sekarang kamu sudah tak sekolah lagi. Jangan biarkan aku jadi sahabat yang jahat, aku sangat siap membantumu.”
            Laila tak menjawab, ia berbalik lalu memeluk sahabatnya itu. Aku tahu, aku akan mengikuti kata Kak Bari tuk bangkit. Fauziah satu-satunya teman sekelasnya yang peduli padanya. Sampai-sampai saat tahu Laila dikeluarkan karena uang SPP yang menunggak, dengan senag hati Fauziah meminjaminya buku-buku pelajaran. Tak jarang pula membelikannya buku berharap Laila akan terhibur.
            Hampir setiap hari setelah dari sekolah Ziah mampir ke rumah Laila.
            “Aku mau pinjam buku kamu. Itu loh buku kumpulan puisi kamu,” Ucapnya suatu sore.
            Laila mengambil note book kecil dari sakunya, ‘untuk apa?’ tulisnya lalu diberikan pada Ziah.
            “Ada tugas sekolah. Kamu tahu sendirikan, aku tidak suka mengarang. Apa lagi mengarang puisi,” jawabnya tuk menjawab pertanyaan sahabatnya. Laila tak tahu, dalam hati Ziah punya rencana lain.
            Perlahan-lahan senyum kembali terlihat di wajah Laila. Tak lepas dari bantuan sahabatnya. Walau masih enggan keluar rumah, namun ia sudah beraktifitas lagi. Bahkan tak hanya itu, ia mulai rajin menulis kenangan-kenagannya bersama Bari.  Baginya membuat puisi dan tulisan-tulisan lain, seakan menghadirkan laki-laki yang sangat ia sayangi.
***
Laila Bari. Nama yang tertera pada sampul buku itu membuat wanita yang sedari tadi duduk di teras rumahnya tercengang. Buku yang baru saja dibawa pulang olehh anaknya itu tak ayal mmbuat jantungnya bekerja cepat.
“Kenapa, Ma?” anak dari suaminya yang duduk di bagku Sekolah Menengah Pertama merasa aneh dengan ekspresi ibunya.
“O...penulis buku itu besok mau datang ke sekolah. Karena aku suka karya-karyanya yang menyentuh, jadi tadi pas dari sekolah aku mampir saja ke toko buku. Sekalian besok minta tanda tangannya,” jelasnya enteng.
Wanita itu hanya melongo, di tatapnya kembali buku itu. perlahan dalam hati ia baca judul bukunya, ‘Ibu Pulanglah’.
***
            Anak gadisnya tak tahu ia pun ikut ke sekolah. Anak gadisnya tak tahu, dalam hatinya berkecamuk perasaan bersalah.
            Acara berlanggsung dengan baik. Wanita yang duduk di hadapan ratusan siswa itu terlihat sangat anggun. Di sampingnya duduk seoarang wanita lagi, yang tak lain adalah sahabatnya. Sahabat yang juga ambil peran mewakilinya berbicara. Kekurangannya karena bisu, membuat banyak tulisan lahir dari jemarinya.
            Sedang wanita paruh baya di belakang sana masih menatap tak percaya.
***
            Anakku maafkan ibu. Mungkin ebih baik begini. Kau benar-benar tumbuh dengan baik. Ibu dengar kau kini sebatang kara. Tak berani wanita hina ini menampakkan wajah di hadapanmu. Apa lagi kini engkau telah berhasil.
            Tentang kakakmu, ibu pun banyak salah padanya. Ibu menjadikannya manusia tak berperasaan, sehingga ia tega meninggalkan bayi merah itu di tengah tumpukan sampah.
            Ibu juga salah padamu. Engkau anakku. Tapi karena marah atas kepergian ayahmu, ibu menganggapmu orang lain. Ibu juga malu mempunyai anak yang bisu. Ibu anggap kau pembawa sial. Nyatanya engkaulah permata yang sebenarnya.
            Satu-satunya sikap ibu yang benar hanyalah, merobek buku diary kakakmu. Sehingga tak ada orang yang tahu dia meninggalkan bayi merah itu.
            Maafkan ibu yang tak dapat kembali...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)