Soi duduk mengagumi dirinya dalam
cermin. Cantik, pikirnya sambil tersenyum. Sebentar ia menghadiri pesta
sekolahnya. Sudah sejak lama ia menginginkan pesta itu. Ia yakin, ia akan
terpilih jadi ratu pesta. Siapa yang tidak ingin. Hadiahnya sangat menggiurkan.
Berkencan dengan Valen, murid terpopuler di sekolahnya. Valen yang super
dingin.
Jika tahun lalu Soi didepak oleh
seniornya Zizi, kali ini seniornya itu
sudah tak ada. Bahkan yang ia dengar Zizi si cantik itu sudah tak ada lagi.
Tersebar kabar setelah Zizi menerima ijazahnya, dalam perjalanan pulang ia
diculik. Dan keesokan harinya ia baru didapat dengan tubuh yang sudah kaku.
Parahnya lagi di sekujur tubuhnya ada luka tusuk. Yang paling mengherankan,
sebab kematiannya tak juga diungkap.
Soi sudah sampai di pesta sekolah.
Pakaian yang ia kenakan malam itu sangat indah. Jauh-jauh hari pakaian itu
memang ia siapkan. Samai-sampai uang tabungannya habis. Baginya menjadi ratu
pesta adalah sesuatu yang tak ada duanya, terlebih jika ia juga bisa
menaklukkan hati Valen.
Pandangannya mengitari aula sekolah
yang telah diubah indah. Teman-temannya seakan tak mau juga melewatkan
kesempatan itu. Dilihatnya Valen sudah duduk di kursi kebesarannya. Pesta
sekolah memang dibuat seperti pesta kerajaan-kerajaan. Sehingga ada juga kursi
untuk raja dan ratu. Kursi yang ada di sebelah Valen belum terisi. Soi yakin,
kursi itu akan jadi miliknya.
”Soi, gaunmu indah sekali.” Dee
menyentuh gaun pesta Soi.
“Apaan sih. Dee sudah! Jangan
disentuh, nanti kamu merusaknya.” Soi menepis tangan Dee.
Dee, cemberut mendengar ucapan Soi.
“Bagaiman pemilihan ratunya?” tanya
Soi.
“Sepertinya masih lama. Ini baru
pukul 21.45 pengumuman mungkin menjelang tengah malam.”
“Ya sudah, aku menunggu di luar
saja. Di sini sumpek.”
“Soi, jangan pasang wajah begitu.
Siapa yang akan memilih ratu dengan senyum penyihir sepertimu.” Ucap Dee
sebelum Soi pergi. Mengundang senyum terpaksa Soi.
“Apa-apaan
anak itu. Katanya mau jadi ratu pesta, sedangkan sikapnya seperti itu.”
Malam itu bulan tampak indah. Bulan purnama tepatnya. Soi memandanginya sambil duduk di bangku taman sekolah.
Brakkkk...
Soi kaget.
“Siapa?” tanyanya.
Rasa takut tiba-tiba menyerangnya.
Karena ia memang duduk seorang diri.
“Soi?” sebuah suar memanggilnya.
Soi mencari sumber suara itu.
Didapatinya Valen berjalan santai ke arahnya.
“Sedang apa? Bukankah seharusnya
kamu berbaur untuk mendapatkan dukungan?” Soi kaget karena Valen tahu namanya.
Juga tahu ia ikut pemilihan ratu pesta malam itu.
“Untu apa. Aku yakin terpilih.”
Walau kagum pada ketampanan Valen, Soi tetap menjaga penampilannya. Termasuk
tetap kelihatan percaya diri.
“Ternyata kabar yang kudengar
selama ini tentangmu memang benar, yah.” Kata Valen sambil tersenyum. Wajahnya
yang putih semakin menawan saja. Soi berusaha keras menguasai dirinya.
“Jadi kamu juga pengagumku?” tanya
Soi.
“Apa?”
“Lihat saja,
bahkan kamu tahu tentang diriku.”
“Dasar pede.” Ucap Valen sambil
tertawa. Soi kaget, sangat jarang Valen tertawa. Walaupun di sekolah. Soi
memandangi wajah putih Valen.
“Val, kamu kok pucat?”
Valen tersadar. Malam semakin
larut. Itu artinya ia harus pergi. Belum juga Soi melanjutkan ucapannya, Valen
sudah tak lagi di sampingnya.
Soi merasa
aneh. Padahal baru saja ia memalingkan wajah. Soi memilih kembali dalam aula
tempat pesta berlangsung. Berharap kembali menemukan Valen.
Malam menunjukkan pukul 23.45 sudah waktunya pengumuman ratu pesta malam itu. Soi tampak antusias di belakang. Ia memilih tak terlalu dekat dengan panggung, menurutnya perjalanan ke atas panggunglah yang paling mempesona, terlebih saat jalan terbuka untuknya. Dan hanya ia yang berjalan di tengah-tengahnya. Membayangkannya saja membuat hati Soi teramat bahagia.
Tapi ada yang aneh, Valen tak duduk
di kursinya. Soi mengedarkan pandangannya, tak juga ia temukan sosok
Valen. Sampai ia dipanggil ke atas
panggung karena terpilih sebagai pemenang, Soi masih berusaha mencari Valen.
Walau hanya dengan kedua matanya. Sebuah mahkota indah kini bertengger di atas
kepalanya. Soi kini tampak seperti kuntum bunga yang baru saja mekar.
Semua bertepuk tangan untuknya.
Acara selanjutnya tak lagi penting
bagi Soi. Ia malah berjalan menyusuri taman. Mencari keberadaan Valen. Seharusnya
yang memasangkan mahkota untuknya adalah Valen. Tapi menampakkan diri saja
tidak. Soi sedikit kecewa.
“Soi?” suara itu lagi. Valen.
“ Val, kemana saja? Seharusnya tadi
kamu yang memasangkan mahkota ini.” Ucap Soi sambil menarik mahkota dari kepalanya.
“Maaf.” Dari suaranya Soi tahu ada
nada sendu yang ia dengar.
“Val, kenapa wajahmu pucat?”
Valen tak menjawab. Ia malah
memegangi lengan Soi. Soi tersihir, biar pun wajah Valen sangat pucat, Tapi
ketampanannya tetap sama.
“Val, kamu ... “
“ Soi, ini kan yang kamu tunggu
dariku?”
Soi tak
mampu menjawab, matanya hanya menatap tak percaya pada Valen. Kedua tangan
Valen berpindah ke pundak Soi. Perasaan Soi semakin tak menentu. Ia telah siap,
karena inilah yang ia tunggu seama ini. Cintanya pada Valen akhirnya terbalas.
Mata Soi terpejam. Senyum Valen mengembang.
Valen duduk di ruang yang cukup besar. Seorang diri. Ia menangis sejadinya. Semalam kembali ia tak mampu mengendalikan diri. Sekali lagi ia mengakhiri nyawa seseorang. Orang yang selama ini ia inginkan kehadirannya. Zizi yang dulu menjadi saingan Sora, ia juga yang membunuhnya. Ia tak menyangka semalam ia juga membunuh Soi. Orang yang dicintainya selama ini.
“Val, ka ... kamu ... “
“Iya Soi sayang, aku adalah mahluk
penghisap darah. Maafkan aku ... maafkan ...”
Aku memang teratai, indah. Namun hidupku hanya berpusat pada lumpur. Tak
berarti. Dihindari. Hanya dinikmati dari jauh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)