Selasa, 17 Juli 2012

Valen Sang Teratai




Teratai sama denganku. Sebab aku pun hidup dalam lumpur. Lumpur yang tak nyata.
Soi duduk mengagumi dirinya dalam cermin. Cantik, pikirnya sambil tersenyum. Sebentar ia menghadiri pesta sekolahnya. Sudah sejak lama ia menginginkan pesta itu. Ia yakin, ia akan terpilih jadi ratu pesta. Siapa yang tidak ingin. Hadiahnya sangat menggiurkan. Berkencan dengan Valen, murid terpopuler di sekolahnya. Valen yang super dingin.
Jika tahun lalu Soi didepak oleh seniornya  Zizi, kali ini seniornya itu sudah tak ada. Bahkan yang ia dengar Zizi si cantik itu sudah tak ada lagi. Tersebar kabar setelah Zizi menerima ijazahnya, dalam perjalanan pulang ia diculik. Dan keesokan harinya ia baru didapat dengan tubuh yang sudah kaku. Parahnya lagi di sekujur tubuhnya ada luka tusuk. Yang paling mengherankan, sebab kematiannya tak juga diungkap.
Soi sudah sampai di pesta sekolah. Pakaian yang ia kenakan malam itu sangat indah. Jauh-jauh hari pakaian itu memang ia siapkan. Samai-sampai uang tabungannya habis. Baginya menjadi ratu pesta adalah sesuatu yang tak ada duanya, terlebih jika ia juga bisa menaklukkan hati Valen.
Pandangannya mengitari aula sekolah yang telah diubah indah. Teman-temannya seakan tak mau juga melewatkan kesempatan itu. Dilihatnya Valen sudah duduk di kursi kebesarannya. Pesta sekolah memang dibuat seperti pesta kerajaan-kerajaan. Sehingga ada juga kursi untuk raja dan ratu. Kursi yang ada di sebelah Valen belum terisi. Soi yakin, kursi itu akan jadi miliknya.
”Soi, gaunmu indah sekali.” Dee menyentuh gaun pesta Soi.
“Apaan sih. Dee sudah! Jangan disentuh, nanti kamu merusaknya.” Soi menepis tangan Dee.
Dee, cemberut mendengar ucapan Soi.
“Bagaiman pemilihan ratunya?” tanya Soi.
“Sepertinya masih lama. Ini baru pukul 21.45 pengumuman mungkin menjelang tengah malam.”
“Ya sudah, aku menunggu di luar saja. Di sini sumpek.”
“Soi, jangan pasang wajah begitu. Siapa yang akan memilih ratu dengan senyum penyihir sepertimu.” Ucap Dee sebelum Soi pergi. Mengundang senyum terpaksa Soi.

“Apa-apaan anak itu. Katanya mau jadi ratu pesta, sedangkan sikapnya seperti itu.” 

Malam itu bulan tampak indah. Bulan purnama tepatnya. Soi memandanginya sambil duduk di bangku taman sekolah.
Brakkkk...
Soi kaget.
“Siapa?” tanyanya.
Rasa takut tiba-tiba menyerangnya. Karena ia memang duduk seorang diri.
“Soi?” sebuah suar memanggilnya.
Soi mencari sumber suara itu. Didapatinya Valen berjalan santai ke arahnya.
“Sedang apa? Bukankah seharusnya kamu berbaur untuk mendapatkan dukungan?” Soi kaget karena Valen tahu namanya. Juga tahu ia ikut pemilihan ratu pesta malam itu.
“Untu apa. Aku yakin terpilih.” Walau kagum pada ketampanan Valen, Soi tetap menjaga penampilannya. Termasuk tetap kelihatan percaya diri.
“Ternyata kabar yang kudengar selama ini tentangmu memang benar, yah.” Kata Valen sambil tersenyum. Wajahnya yang putih semakin menawan saja. Soi berusaha keras menguasai dirinya.
“Jadi kamu juga pengagumku?” tanya Soi.
“Apa?”
            “Lihat saja, bahkan kamu tahu tentang diriku.”
“Dasar pede.” Ucap Valen sambil tertawa. Soi kaget, sangat jarang Valen tertawa. Walaupun di sekolah. Soi memandangi wajah putih Valen.
“Val, kamu kok pucat?”
Valen tersadar. Malam semakin larut. Itu artinya ia harus pergi. Belum juga Soi melanjutkan ucapannya, Valen sudah tak lagi di sampingnya.
Soi merasa aneh. Padahal baru saja ia memalingkan wajah. Soi memilih kembali dalam aula tempat pesta berlangsung. Berharap kembali menemukan Valen.

Malam menunjukkan pukul 23.45 sudah waktunya pengumuman ratu pesta malam itu. Soi tampak antusias di belakang. Ia memilih tak terlalu dekat dengan panggung, menurutnya perjalanan ke atas panggunglah yang paling mempesona, terlebih saat jalan terbuka untuknya. Dan hanya ia yang berjalan di tengah-tengahnya. Membayangkannya saja membuat hati Soi teramat bahagia.
Tapi ada yang aneh, Valen tak duduk di kursinya. Soi mengedarkan pandangannya, tak juga ia temukan sosok Valen.  Sampai ia dipanggil ke atas panggung karena terpilih sebagai pemenang, Soi masih berusaha mencari Valen. Walau hanya dengan kedua matanya. Sebuah mahkota indah kini bertengger di atas kepalanya. Soi kini tampak seperti  kuntum bunga yang baru saja mekar. Semua bertepuk tangan untuknya.
Acara selanjutnya tak lagi penting bagi Soi. Ia malah berjalan menyusuri taman. Mencari keberadaan Valen. Seharusnya yang memasangkan mahkota untuknya adalah Valen. Tapi menampakkan diri saja tidak. Soi sedikit kecewa.
“Soi?” suara itu lagi. Valen.
“ Val, kemana saja? Seharusnya tadi kamu yang memasangkan mahkota ini.” Ucap Soi sambil menarik mahkota dari kepalanya.
“Maaf.” Dari suaranya Soi tahu ada nada sendu yang ia dengar.
“Val, kenapa wajahmu pucat?”
Valen tak menjawab. Ia malah memegangi lengan Soi. Soi tersihir, biar pun wajah Valen sangat pucat, Tapi ketampanannya tetap sama.
“Val, kamu ... “
“ Soi, ini kan yang kamu tunggu dariku?”
Soi tak mampu menjawab, matanya hanya menatap tak percaya pada Valen. Kedua tangan Valen berpindah ke pundak Soi. Perasaan Soi semakin tak menentu. Ia telah siap, karena inilah yang ia tunggu seama ini. Cintanya pada Valen akhirnya terbalas. Mata Soi terpejam. Senyum Valen mengembang.

Valen duduk di ruang yang cukup besar. Seorang diri. Ia menangis sejadinya. Semalam kembali ia tak mampu mengendalikan diri. Sekali lagi ia mengakhiri nyawa seseorang. Orang yang selama ini ia inginkan kehadirannya. Zizi yang dulu menjadi saingan Sora, ia juga yang membunuhnya. Ia tak menyangka semalam ia juga membunuh Soi. Orang yang dicintainya selama ini.
“Val, ka ... kamu ... “
“Iya Soi sayang, aku adalah mahluk penghisap darah. Maafkan aku ... maafkan ...”
Aku memang teratai, indah. Namun hidupku hanya berpusat pada lumpur. Tak berarti. Dihindari. Hanya dinikmati dari jauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)