Laki-laki Ta’arufan
“Apa?
Setelah semua yang terjadi? Yang benar saja, Bin. Apa alasanmu ngomong begitu.
Bukankah kita sepakat menjalaninya sampai akhir, hah?” Rena mulai berurai air
mata.
“Hei!
Kamu tidak usah menangis. Alasannya sederhana saja, aku mulai bosan. Mengenai
semua yang kita lakukan, bukankah kita sama-sama menikmatinya, hm?”
“Tapi...”
“Sudah!
Sekarang dan seterusnya, jangan hubungi aku lagi. Kita jalani hidup kita
masing-masing, ok!” Bino pergi begitu saja.
Rena
hanya mampu menangis. Taman yang seharusnya menjadi tempat yang indah itu
berubah. Berubah suram.
***
Laki-laki
itu duduk menikmati indahnya paras di hadapannya. Ini sudah kelima kalinya ia
melakukan perkenalan sesuai cara yang islami. Dan kesemua akhwat yang
diperkenalkan padanya berwajah ayu. Sayang untuk ta’aruf yang ia lakoni tidak juga
berhasil. Kembali ia berusaha merajut kisah.
Sikap
dan tingkah Bino memang berubah. Tiga tahun yang lalu ia merasa hanya sebagai
debu yang hina. Dengan wajahnya yang terbilang tampan, ia banyak melakukan
petualangan cinta. Entah sudah berapa gadis yang dikencaninya. Pun yang
dilukainya. Sudah tak terhitung.
Namun
itu Bino tiga tahun yang lalu. Setelah bertemu Afif, kehidupannya berubah
total. Tak ada lagi Bino sang penyandang gelar playboy. Sebaliknya, Bino yang
selalu mengarahkan pandangannya ke tanah. Dengan jenggot tipis menggelantung di
dagu, serta celana di atas mata kaki. Bino yang baru tepatnya.
Syifa
nama wanita kelimaa itu. Menyandang gelar dokter. Ya! Walau dengan jilbabnya
yang panjang Syifa tetap menunjukkan prestasi yang luar biasa. Semua itu
diketahui Bino setelah bertemu wanita itu. Afif yang menjadi penghubung dengan
keluarga Syifa tak mangatakannya. Bino minder. Bagaimana pun ia masih belum
mendapatkan pekerjaan tetap. Masih guru honor. Sedang Syifa, Bino tak habis
pikir kini.
“Apa
itu penting? Setahuku, dia mencari pendamping hidup, kamu juga sama. Jadi
masalahnya apa lagi coba?” ucap Afif kala mereka telah meninggalkan kediaman
Syifa.
“Bagaiman
aku yang hanya guru honor ngelamar dokter, Fif? Kamu tidak lihat pandangan
keluarga mereka nantinya?”
“Bin,
jangan su’uzon dululah. Bukankah ini masih awal? Masih tahap perkenalan.”
Bino
diam. Sibuk beristigfar dalam hati. Dalam hati ia semakin berat melanjutkan
perkenalannya. Ia takut gagal. Ia kembali merasa kerdil.
***
“Dapat
undangan nih.” Afif yang baru sampai di samping Bino memberikan selembar
undangan berwarna biru.
“Dari
siapa?” tayanya.
“Syifa.”
Bino menghembuskan nafasnya. Berat.
Pernikahan
yang ia dambakan belum juga terwujud. Ia semakin sadar, dosa di masa lalu mungkin
telah jadi penyebabnya.
“Mungkin
aku harus minta maaf dulu.”
“Maaf?
Pada siapa?”
“Pada
semua wanita yang pernah kulukai hatinya. Pada orang tuaku, teman-temanku,
terlebih pada Pencipta kesemuanya itu.”
Afif
mengerti kini. Walau tidak begitu tahu tentang masa lalu Bino, namun beberapa
temannya pernah mengatakan beberapa hal negatif tentang Bino yang dulu.
“Ya,
itu juga sebuah solusi. Sebenarnya aku punya kabar lain untukmu,” Bino menatap
sahabatnya yang diam beberapa saat, “Aku pernah cerita soal sepupuku yang masih
kuliahkan? Nah, kemarin itu ia diwisuda, dan kata orang tuanya padaku, alangkah
bagusnya kalau ia juga menyegerakan wisuda yang lain.” Lanjut Afif.
“Maksudnya?”
“Gini,
aku akan membawamu menemui Fitri, kali saja cocok. Bagaimana?”
Pahamlah
Bino maksud sahabatnya. Ia hanya tersenyum, dan itu cukup menjadi jawaban bagi
Afif. Dalam hati Bino berjanji, mencari maaf terlebih dahulu.
***
Sehari
menjelang hari pernikahannya dengan Fitri. Bino dan Afif duduk di pelataran
masjid setelah shalat Ashar.
“Wajahmu
sangat bercahaya, Bin,” goda Afif.
Bino
tak menyangkal. Hatinya memang terlampau bahagia hari ini. Sekaligus deg-degan
dengan pernikahan yang akan dilaluinya esok hari.
“Bahkan
kamu tak mau meladeniku lagi, persiapan untuk besok yah?” Afif tidak juga
berhenti.
“Sudahlah,
kamu jangan menggodaku lagi. Seharusnya kamu mempersiapkan diri untuk
menyusulku, hm?”
Afif
diam. Bino tahu mengenai pernikahan, Afif masih belum siap. Ia juga tidak suka
membahasnya. Padahal ia paling gencar menjodohkan Bino. Mereka masih saling
tersenyum sebelum Afif mendapat sms. Seketika wajahnya berubah pucat.
“Bin...”
“Ada
apa?”
“Fitri,
Bin. Dia..dia...”
“Fif,
ada apa? Fitri kenapa?”
“Dia
ke..kecelakaan.”
Seketika,
pandangan Bino gelap. Dentuman di dadanya sekan menohok. Robb, kini apa lagi? Bisik hatinya sendu.
***
Seharusnya
hari itu ia duduk di pelaminan. Semestinya hari itu ia bernada riang. Namun
takdir berkata lain. Bukan duduk di pelaminan, tapi ia berada di samping makam
calon istrinya. Menyumbang doa keselamatan, pun hatinya tersayat pilu. Fitri
benar-benar pergi meninggalkan Bino.
Cukuplah! Mungkin bukan takdirku
untuk sendiri. Bisik batinnya. Hingga ia melangkah
pergi, benar-benar pergi, ia berjanji untuk tak mencari lagi. Entah sampai
kapan. Ia butuh istrahat. Terutama jiwanya yang penuh luka.
***
“Berapa
usiamu sekarang?” tanya laki-laki paruh baya itu. Setelah kepergian Fitri, ia
putuskan menenangkan diri di sebuah pesantren. Jauh dari keramaian kota.
Sekaligus memperdalam ilmu agamanya.
“29,
Uztadz.”
“Sudah
siap menikah. Kamu sudah hampir setahun di sini. Apa kamu tidak ingin menikah?”
“Saya
sudah menceritakan alasan kemari pada uztadz. Saya juga sudah memikirkan
baik-baik tentang pernikahan. Maka dari itu, saya meminta uztadz saja yang
memilihkan pendamping yang cocok dengan saya. Saya siap menerima siapa pun
dia.”
Uztadz
Hafizh tersenyum.
“Baiklah
Hilmy, sepertinya saya sudah punya calon yang pas untukmu. Tapi, dia sudah
punya anak. Apa itu akan mengganggu keputusanmu?” Hilmy alias Bino menggeleng
sambil tersenyum.
Hilmy
adalah nama hijrah Bino. Uztadz Hafizh jugalah yang memberikan nama itu.
***
Kamar
itu sederhana saja, namun bagi Hilmy tidak demikian. Di dalamnya seseorang
menunggunya. Bidadari yang selama ini ia dambakan telah di depan mata. Menunduk
tak berani memandang ke arahnya.
Hilmy
medekat. Semakin mendekat, lalu alangkah terkejutnya ia mendapati wajah yang
ada di hadapannya tidak asing. Rena. Tapi bukankah kata Uztadz Hafizh bilang
nama wanita itu Aisyah.
“Rena?”
Wanita
di hadapannya terlihat kaget. Nama itu
telah ia kubur bersama masa lalunya yang suram. Tapi apa kata laki-laki dia
hadapannya? Laki-laki yang telah sah menjadi suaminya. Diangkatnya wajahnya
perlahan. Kekagetannya bertambah kini. Bino.
“Ren,
eh Aisyah, sudah lama aku mencarimu. Akhirnya kita berrtemu. Aku ingin minta
maaf padamu.”
“Sudah
lama aku melupakannya.”
“Tetap
saja...”
“Sudahlah,
mungkin ini jalan bagi kita untuk memulai lagi.”
Kedua
insan itu tak perlu waktu tuk saling membenci. Tak perlu waktu pula tuk
mengakrabkan diri lagi. Bahkan Fatih, putra Aisyah adalah putra Hilmy juga.
Aisyah tak pernah cerita bahwa ia hamil kala mereka berpisah dulu.
Malam
beranjak kian larut, dua insan yang dimabuk cinta duduk di beranda rumah.
Memandang indahnya langit yang bertabur bintang.
“Sayang,
tahukah kamu. Setelah mendapat hidayah, kamulah yang pertama kali ingin
kutemui. Betapa berdosanya aku dulu. Bahakn tiap melihat bintang di langit, aku
selalu berucap maaf. Berharap jika kau melihatnya juga, mereka menyampaikannya
padamu.” Jelas Hilmy. Sedang Aisyah duduk di sampingnya.
“Kamu
masih ingat juga tentang kecintaanku pada bintang.”
“Tapi,
cinta untukku lebih besarkan?” goda Hilmy. Mengundang tawa renyah Aisyah.
Indah.
“Tentu
saja. Mau mendengar nyanyianku? Aku
ingat dulu kamu sangat suka suaraku saat menyanyi.”
“Tentu
saja aku merindukan suaramu. Tapi, untuk selamanya kuharap hanya aku yang
medengar suara indahmu, sayang.”
Kembali mereka merajut kisah yang sempat tertunda.
"Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh
mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia
(surga)" Surah An-Nuur ayat 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)