Kamis, 21 Juni 2012

Laki-laki Ta’arufan
 
“Kita putus!” ucap Bino akhirnya.
“Apa? Setelah semua yang terjadi? Yang benar saja, Bin. Apa alasanmu ngomong begitu. Bukankah kita sepakat menjalaninya sampai akhir, hah?” Rena mulai berurai air mata.
“Hei! Kamu tidak usah menangis. Alasannya sederhana saja, aku mulai bosan. Mengenai semua yang kita lakukan, bukankah kita sama-sama menikmatinya, hm?”
“Tapi...”
“Sudah! Sekarang dan seterusnya, jangan hubungi aku lagi. Kita jalani hidup kita masing-masing, ok!” Bino pergi begitu saja.
Rena hanya mampu menangis. Taman yang seharusnya menjadi tempat yang indah itu berubah. Berubah suram.
***
Laki-laki itu duduk menikmati indahnya paras di hadapannya. Ini sudah kelima kalinya ia melakukan perkenalan sesuai cara yang islami. Dan kesemua akhwat yang diperkenalkan padanya berwajah ayu. Sayang untuk ta’aruf yang ia lakoni tidak juga berhasil. Kembali  ia berusaha merajut kisah.
Sikap dan tingkah Bino memang berubah. Tiga tahun yang lalu ia merasa hanya sebagai debu yang hina. Dengan wajahnya yang terbilang tampan, ia banyak melakukan petualangan cinta. Entah sudah berapa gadis yang dikencaninya. Pun yang dilukainya. Sudah tak terhitung.
Namun itu Bino tiga tahun yang lalu. Setelah bertemu Afif, kehidupannya berubah total. Tak ada lagi Bino sang penyandang gelar playboy. Sebaliknya, Bino yang selalu mengarahkan pandangannya ke tanah. Dengan jenggot tipis menggelantung di dagu, serta celana di atas mata kaki. Bino yang baru tepatnya.
Syifa nama wanita kelimaa itu. Menyandang gelar dokter. Ya! Walau dengan jilbabnya yang panjang Syifa tetap menunjukkan prestasi yang luar biasa. Semua itu diketahui Bino setelah bertemu wanita itu. Afif yang menjadi penghubung dengan keluarga Syifa tak mangatakannya. Bino minder. Bagaimana pun ia masih belum mendapatkan pekerjaan tetap. Masih guru honor. Sedang Syifa, Bino tak habis pikir kini.
“Apa itu penting? Setahuku, dia mencari pendamping hidup, kamu juga sama. Jadi masalahnya apa lagi coba?” ucap Afif kala mereka telah meninggalkan kediaman Syifa.
“Bagaiman aku yang hanya guru honor ngelamar dokter, Fif? Kamu tidak lihat pandangan keluarga mereka nantinya?”
“Bin, jangan su’uzon dululah. Bukankah ini masih awal? Masih tahap perkenalan.”
Bino diam. Sibuk beristigfar dalam hati. Dalam hati ia semakin berat melanjutkan perkenalannya. Ia takut gagal. Ia kembali merasa kerdil.
***
“Dapat undangan nih.” Afif yang baru sampai di samping Bino memberikan selembar undangan berwarna biru.
“Dari siapa?” tayanya.
“Syifa.” Bino menghembuskan nafasnya. Berat.
Pernikahan yang ia dambakan belum juga terwujud. Ia semakin sadar, dosa di masa lalu mungkin telah jadi penyebabnya.
“Mungkin aku harus minta maaf dulu.”
“Maaf? Pada siapa?”
“Pada semua wanita yang pernah kulukai hatinya. Pada orang tuaku, teman-temanku, terlebih pada Pencipta kesemuanya itu.”
Afif mengerti kini. Walau tidak begitu tahu tentang masa lalu Bino, namun beberapa temannya pernah mengatakan beberapa hal negatif tentang Bino yang dulu.
“Ya, itu juga sebuah solusi. Sebenarnya aku punya kabar lain untukmu,” Bino menatap sahabatnya yang diam beberapa saat, “Aku pernah cerita soal sepupuku yang masih kuliahkan? Nah, kemarin itu ia diwisuda, dan kata orang tuanya padaku, alangkah bagusnya kalau ia juga menyegerakan wisuda yang lain.” Lanjut Afif.
“Maksudnya?”
“Gini, aku akan membawamu menemui Fitri, kali saja cocok. Bagaimana?”
Pahamlah Bino maksud sahabatnya. Ia hanya tersenyum, dan itu cukup menjadi jawaban bagi Afif. Dalam hati Bino berjanji, mencari maaf terlebih dahulu.
***
Sehari menjelang hari pernikahannya dengan Fitri. Bino dan Afif duduk di pelataran masjid setelah shalat Ashar.
“Wajahmu sangat bercahaya, Bin,” goda Afif.
Bino tak menyangkal. Hatinya memang terlampau bahagia hari ini. Sekaligus deg-degan dengan pernikahan yang akan dilaluinya esok hari.
“Bahkan kamu tak mau meladeniku lagi, persiapan untuk besok yah?” Afif tidak juga berhenti.
“Sudahlah, kamu jangan menggodaku lagi. Seharusnya kamu mempersiapkan diri untuk menyusulku, hm?”
Afif diam. Bino tahu mengenai pernikahan, Afif masih belum siap. Ia juga tidak suka membahasnya. Padahal ia paling gencar menjodohkan Bino. Mereka masih saling tersenyum sebelum Afif mendapat sms. Seketika wajahnya berubah pucat.
“Bin...”
“Ada apa?”
“Fitri, Bin. Dia..dia...”
“Fif, ada apa? Fitri kenapa?”
“Dia ke..kecelakaan.”
Seketika, pandangan Bino gelap. Dentuman di dadanya sekan menohok. Robb, kini apa lagi? Bisik hatinya sendu.
***
Seharusnya hari itu ia duduk di pelaminan. Semestinya hari itu ia bernada riang. Namun takdir berkata lain. Bukan duduk di pelaminan, tapi ia berada di samping makam calon istrinya. Menyumbang doa keselamatan, pun hatinya tersayat pilu. Fitri benar-benar pergi meninggalkan Bino.
Cukuplah! Mungkin bukan takdirku untuk sendiri. Bisik batinnya. Hingga ia melangkah pergi, benar-benar pergi, ia berjanji untuk tak mencari lagi. Entah sampai kapan. Ia butuh istrahat. Terutama jiwanya yang penuh luka.
***
“Berapa usiamu sekarang?” tanya laki-laki paruh baya itu. Setelah kepergian Fitri, ia putuskan menenangkan diri di sebuah pesantren. Jauh dari keramaian kota. Sekaligus memperdalam ilmu agamanya.
“29, Uztadz.”
“Sudah siap menikah. Kamu sudah hampir setahun di sini. Apa kamu tidak ingin menikah?”
“Saya sudah menceritakan alasan kemari pada uztadz. Saya juga sudah memikirkan baik-baik tentang pernikahan. Maka dari itu, saya meminta uztadz saja yang memilihkan pendamping yang cocok dengan saya. Saya siap menerima siapa pun dia.”
Uztadz Hafizh tersenyum.
“Baiklah Hilmy, sepertinya saya sudah punya calon yang pas untukmu. Tapi, dia sudah punya anak. Apa itu akan mengganggu keputusanmu?” Hilmy alias Bino menggeleng sambil tersenyum.
Hilmy adalah nama hijrah Bino. Uztadz Hafizh jugalah yang memberikan nama itu.
***
Kamar itu sederhana saja, namun bagi Hilmy tidak demikian. Di dalamnya seseorang menunggunya. Bidadari yang selama ini ia dambakan telah di depan mata. Menunduk tak berani memandang ke arahnya.
Hilmy medekat. Semakin mendekat, lalu alangkah terkejutnya ia mendapati wajah yang ada di hadapannya tidak asing. Rena. Tapi bukankah kata Uztadz Hafizh bilang nama wanita itu Aisyah.
“Rena?”
Wanita di hadapannya terlihat kaget.  Nama itu telah ia kubur bersama masa lalunya yang suram. Tapi apa kata laki-laki dia hadapannya? Laki-laki yang telah sah menjadi suaminya. Diangkatnya wajahnya perlahan. Kekagetannya bertambah kini. Bino.
“Ren, eh Aisyah, sudah lama aku mencarimu. Akhirnya kita berrtemu. Aku ingin minta maaf padamu.”
“Sudah lama aku melupakannya.”
“Tetap saja...”
“Sudahlah, mungkin ini jalan bagi kita untuk memulai lagi.”
Kedua insan itu tak perlu waktu tuk saling membenci. Tak perlu waktu pula tuk mengakrabkan diri lagi. Bahkan Fatih, putra Aisyah adalah putra Hilmy juga. Aisyah tak pernah cerita bahwa ia hamil kala mereka berpisah dulu.
Malam beranjak kian larut, dua insan yang dimabuk cinta duduk di beranda rumah. Memandang indahnya langit yang bertabur bintang.
“Sayang, tahukah kamu. Setelah mendapat hidayah, kamulah yang pertama kali ingin kutemui. Betapa berdosanya aku dulu. Bahakn tiap melihat bintang di langit, aku selalu berucap maaf. Berharap jika kau melihatnya juga, mereka menyampaikannya padamu.” Jelas Hilmy. Sedang Aisyah duduk di sampingnya.
“Kamu masih ingat juga tentang kecintaanku pada bintang.”
“Tapi, cinta untukku lebih besarkan?” goda Hilmy. Mengundang tawa renyah Aisyah. Indah.
“Tentu saja. Mau mendengar nyanyianku? Aku ingat dulu kamu sangat suka suaraku saat menyanyi.”
“Tentu saja aku merindukan suaramu. Tapi, untuk selamanya kuharap hanya aku yang medengar suara indahmu, sayang.”
Kembali mereka merajut kisah yang sempat tertunda.
"Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)" Surah An-Nuur ayat 26


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)