Cahaya Awan
Ini tentang cinta. Cinta semu.
Ya! Selalu semu karena memang tak pantas ada. Sungguh. Berawal dari cinta
manusia pertama pada pelengkap tulang rusuknya. Terus menerus hingga
keturunannya. Hingga padaku. Cahaya yang merindukan Awan.
Aku melihatnya di kerumunan
manusia. Mendapatinya tersenyum pada wanita tua pengemis rupiah. Kusaksikan
pula ia mengambil sesuatu dari sakunya. Lantas memberinya pada sang pengemis
tua. Selang beberapa menit ia lalu pergi. Entah ke mana.
Seminggu telah berlalu, tak ada
wajah itu lagi. Hanya desir-desir angin yang terasa menemani. Menghantui.
Kuyakinkan diriku, dia bukan siapa-siapa. Bukan untuk dikagumi terlebih tuk
dimiliki. Hanya hiasan hidup belaka.
Tapi apa yang teradi? Belum aku
menghapus bayangan indah itu, ia sudah tampak lagi di hadapanku. Ia juga
menyapaku, bersama desir angin yang begitu lembut.
“Aya?” Sunggingan senyumnya
indah. Tutur katanya lembut. Bahkan parasnya bercahaya.
Aku
mengangguk. Bukan karena tak ingin berucap ‘iya’ lidahku memang tidak
diciptakan sempurna. Hingga suara pun tak dapat kuperdengarkan.
“ Kamu tidak mengenaliku?”
tanyanya lagi.
Kumainkan jemariku. Menutupi rasa
yang entah mampu aku sembunyikan. Berusaha mengingat tentang dia. Tak ada
hasil.
“Aku Awan.”
Ia tak mengulurkan tangan seperti
kebanyakan orang. Tanda perkenalan. Ia hanya tersenyum dan membuang
pandangannya jauh. Akulah yang ternganga, tak menyangka. Awan yang kutunggu
telah pulang.
“Ingat yah, aku adalah Awan
yang akan melindungi manusia dari cahayamu. Karena kamu terlalu cantik, terlalu
indah. Cahayamu akan menyilaukan yang lain. Makanya akulah yang jadi pelindung
manusia. Menutupi kilaumu. Dan sebenarnya, melindungimu. Tak ingin orang lain
terlalu menaruh hati padamu. Pada cahayamu,.”
Awan. Untaian kalimat yang tak
aku mengerti dulu, kini kembali terdengar jelas. Kembali terulang. Di
telingaku. Tapi kini aku mengerti kalimat itu. Sepertinya kamu datang untuk
menepatinya. Melindungiku.
“Sudah ingat?” tanyamu lagi.
Kujawab anggukan kecil. Tiga tahun lalu kau pergi. Merantau katamu. Tapi bagiku
adalah siksaan. Hingga tak sadar aku sudah terlalu jauh melangkah. Menyebabkan
aku kehilangan kendali. Mengalami berbagai cobaan, terakhir saat suara indahku
dicabut Pemiliknya.
“Aya!
Aku akan menikah. Bisakah kamu datang? Sudah lama aku mencarimu. Bahkan aku
menunda pernikahan karena ingin bertemu denganmu dulu. Aku ingin minta maaf tentang
janjiku dulu. Juga...”
Aku
tak mendengarnya lagi. Ataukan pendengaranku juga telah dicabut? Entahlah.
Haruskah aku berbahagia demi dirimu, Awan? Cukuplah engkau menghadiahiku luka
tepat di hari bahagiamu. Kembali ujian itu datang menimpaku. Di atas bahagiamu,
Awan yang tidak pernah melindungi Cahaya. Sebaliknya, pergi meninggalkan
Cahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)