Kamis, 21 Juni 2012

Cahaya Awan

Ini tentang cinta. Cinta semu. Ya! Selalu semu karena memang tak pantas ada. Sungguh. Berawal dari cinta manusia pertama pada pelengkap tulang rusuknya. Terus menerus hingga keturunannya. Hingga padaku. Cahaya yang merindukan Awan.
Aku melihatnya di kerumunan manusia. Mendapatinya tersenyum pada wanita tua pengemis rupiah. Kusaksikan pula ia mengambil sesuatu dari sakunya. Lantas memberinya pada sang pengemis tua. Selang beberapa menit ia lalu pergi. Entah ke mana.
Seminggu telah berlalu, tak ada wajah itu lagi. Hanya desir-desir angin yang terasa menemani. Menghantui. Kuyakinkan diriku, dia bukan siapa-siapa. Bukan untuk dikagumi terlebih tuk dimiliki. Hanya hiasan hidup belaka.
Tapi apa yang teradi? Belum aku menghapus bayangan indah itu, ia sudah tampak lagi di hadapanku. Ia juga menyapaku, bersama desir angin yang begitu lembut.
“Aya?” Sunggingan senyumnya indah. Tutur katanya lembut. Bahkan parasnya bercahaya.
                Aku mengangguk. Bukan karena tak ingin berucap ‘iya’ lidahku memang tidak diciptakan sempurna. Hingga suara pun tak dapat kuperdengarkan.
“ Kamu tidak mengenaliku?” tanyanya lagi.
Kumainkan jemariku. Menutupi rasa yang entah mampu aku sembunyikan. Berusaha mengingat tentang dia. Tak ada hasil.
“Aku Awan.”
Ia tak mengulurkan tangan seperti kebanyakan orang. Tanda perkenalan. Ia hanya tersenyum dan membuang pandangannya jauh. Akulah yang ternganga, tak menyangka. Awan yang kutunggu telah pulang.
“Ingat yah, aku adalah Awan yang akan melindungi manusia dari cahayamu. Karena kamu terlalu cantik, terlalu indah. Cahayamu akan menyilaukan yang lain. Makanya akulah yang jadi pelindung manusia. Menutupi kilaumu. Dan sebenarnya, melindungimu. Tak ingin orang lain terlalu menaruh hati padamu. Pada cahayamu,.”
Awan. Untaian kalimat yang tak aku mengerti dulu, kini kembali terdengar jelas. Kembali terulang. Di telingaku. Tapi kini aku mengerti kalimat itu. Sepertinya kamu datang untuk menepatinya. Melindungiku.
“Sudah ingat?” tanyamu lagi. Kujawab anggukan kecil. Tiga tahun lalu kau pergi. Merantau katamu. Tapi bagiku adalah siksaan. Hingga tak sadar aku sudah terlalu jauh melangkah. Menyebabkan aku kehilangan kendali. Mengalami berbagai cobaan, terakhir saat suara indahku dicabut Pemiliknya.
                “Aya! Aku akan menikah. Bisakah kamu datang? Sudah lama aku mencarimu. Bahkan aku menunda pernikahan karena ingin bertemu denganmu dulu. Aku ingin minta maaf tentang janjiku dulu. Juga...”
                Aku tak mendengarnya lagi. Ataukan pendengaranku juga telah dicabut? Entahlah. Haruskah aku berbahagia demi dirimu, Awan? Cukuplah engkau menghadiahiku luka tepat di hari bahagiamu. Kembali ujian itu datang menimpaku. Di atas bahagiamu, Awan yang tidak pernah melindungi Cahaya. Sebaliknya, pergi meninggalkan Cahaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)