Kamis, 21 Juni 2012

Molen, Tempe, dan Tahu Goreng

“Kau lihat gadis itu? lihat itu di sana, ia sedang berjalan ke mari. Lihat pakaiannya. Uhk... sungguh tidak pantas.” Molen memulai percakapan.
“Yang mana? Lah kenapa memangnya. Bagus kok, dia terlihat cantik, memesoana.” Tempe goreng membela.
“Sudahlah, kalian bertengkar terus. Tunggu saja sampai dia ke mari. Dia akan memilih di antara kita. Biasa sarapan pagi.” Tahu goreng melerai.
“Lihatlah mata laki-laki di sekitarnya, menatap lapar. Jika ia lapar dan akan memakan kita. Nah, mata laki-lakilah yang melahap tubuhnya,” ucap Molen lagi.
“Kamu tidak bisa menikmati dunia, Molen.”
“Sudah! Itu dia sudah melihat ke arah kita.”
Seorang gadis dengan pakaian terbuka menghampiri penjual gorengan di pinggir jalan. Banyak pasang mata yang memandang kulit putihnya yang tanpa celah. Namun beberapa orang juga acuh saja dengan kehadirannya. Seperti penjual gorengan di hadapannya. Ia lebih memiih tunduk saja. Menjaga pandangan.
Setelah membeli beberapa gorengan gadis itu pun pergi.
”Molen selalu saja menghina gadis itu. Padahal ia juga yang sering dibeli olehnya,” Tempe memulai percakapan kembali setelah gadis itu pergi.
“Iya juga sih.”
***
Ia dikenal sebagai gadis nakal. Namun ia tak peduli. Ia lebih peduli pada keluarganya yang butuh makan di kampung. Pun demi mereka ia harus berkenalan dengan laki-laki mata keranjang, hidung belang. Tak jarang pula ia dalabrak istri atau kekasih yang bersangkutan. Ia rela saja. Toh baginya hidup adalah mengabdi. Pada ibunya, pada ayahnya. Pada keluarganya.
Malam itu ia kembali berjalan seorang diri. kembali ke kos tempat tinggalnya. Seperti biasa ia singgah membeli gorengan. Lalu meneruskan langkah kaki. Belum beberapa langkah ia berjalan, sebuah sedan mewah melaju cepat ke arahnya.
BRAKKKK...
***
“Sepertinya sudah beberapa hari ini aku tidak melihatnya.” Molen kembali membahas si gadis.
“Siapa?”  Tempe dan Tahu goreng serempak bertanya.
“Itu gadis yang pakaiannya terbuka. Yang suka beli gorengan.”
“Wah, kamu ketinggalan berita, Molen,” ucap Tempe.
“Ketinggalan? Memangnya ada apa?”
“Gadis itu tertabrak mobil lima hari yang lalu,” Tahu menjelaskan.
“Jadi bagaimana keadaannya?”
“Entahlah. Bagaiman bisa kita tahu. Kita hanya makanan.” Tempe menjawab asal.
“Padahal dia belum berubah. Kalian tahu doaku untuk gadis itu? Aku berdoa semoga kelak gadis itu bisa mendapat hidayah. Mengenakan pakaian yang sepantasnya bagi wanita muslim. Bukan sekedar terbungkus sepertiku. Ttapi benar-benar menutup auratnya.” Molen berkata sendu. Tempe dan Tahu mendengarkan saja. Diam. Padahal dalam hati keduanya mengamini.
***
Gorengan di pinggir jalan itu kian laris saja. Terlebih ada yang menarik perhatian mata di sana.  Ada seorang wanita muda, istri pemilik gorengan. Gadis yang dianggap nakal. Dulunya. Ia kini berhijab. Juga telah bersuami.
Hidayah menghampirinya bersama kecelakaan yang menimpanya. Sulaiman, sang  penjual gorenganlah yang menolongnya. Merawatnya. Hingga memutuskan menikahi si gadis.
“Alhamdulillah.” Molen bersenandung merdu.
“Doamu terkabu, Molen.” Kata Tempe.
“Doa kita kali. Aku tahu kalian mengamini.”
“Tau saja kau tentang isi hati kami,” ucap Tahu tertawa. Mereka semua tertawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)