“Kau lihat gadis itu? lihat itu di sana, ia sedang berjalan
ke mari. Lihat pakaiannya. Uhk... sungguh tidak pantas.” Molen memulai
percakapan.
“Sudahlah, kalian bertengkar terus. Tunggu saja sampai dia ke
mari. Dia akan memilih di antara kita. Biasa sarapan pagi.” Tahu goreng
melerai.
“Lihatlah mata laki-laki di sekitarnya, menatap lapar. Jika
ia lapar dan akan memakan kita. Nah, mata laki-lakilah yang melahap tubuhnya,”
ucap Molen lagi.
“Kamu tidak bisa menikmati dunia, Molen.”
“Sudah! Itu dia sudah melihat ke arah kita.”
Seorang gadis dengan pakaian terbuka menghampiri penjual
gorengan di pinggir jalan. Banyak pasang mata yang memandang kulit putihnya
yang tanpa celah. Namun beberapa orang juga acuh saja dengan kehadirannya.
Seperti penjual gorengan di hadapannya. Ia lebih memiih tunduk saja. Menjaga
pandangan.
Setelah membeli beberapa gorengan gadis itu pun pergi.
”Molen selalu saja menghina gadis itu. Padahal ia juga yang
sering dibeli olehnya,” Tempe memulai percakapan kembali setelah gadis itu
pergi.
“Iya juga sih.”
***
Ia dikenal sebagai gadis nakal. Namun ia tak peduli. Ia lebih
peduli pada keluarganya yang butuh makan di kampung. Pun demi mereka ia harus
berkenalan dengan laki-laki mata keranjang, hidung belang. Tak jarang pula ia
dalabrak istri atau kekasih yang bersangkutan. Ia rela saja. Toh baginya hidup
adalah mengabdi. Pada ibunya, pada ayahnya. Pada keluarganya.
Malam itu ia kembali berjalan seorang diri. kembali ke kos
tempat tinggalnya. Seperti biasa ia singgah membeli gorengan. Lalu meneruskan
langkah kaki. Belum beberapa langkah ia berjalan, sebuah sedan mewah melaju
cepat ke arahnya.
BRAKKKK...
***
“Sepertinya sudah beberapa hari ini aku tidak melihatnya.”
Molen kembali membahas si gadis.
“Siapa?” Tempe dan
Tahu goreng serempak bertanya.
“Itu gadis yang pakaiannya terbuka. Yang suka beli gorengan.”
“Wah, kamu ketinggalan berita, Molen,” ucap Tempe.
“Wah, kamu ketinggalan berita, Molen,” ucap Tempe.
“Ketinggalan? Memangnya ada apa?”
“Gadis itu tertabrak mobil lima hari yang lalu,” Tahu
menjelaskan.
“Jadi bagaimana keadaannya?”
“Entahlah. Bagaiman bisa kita tahu. Kita hanya makanan.”
Tempe menjawab asal.
“Padahal dia belum berubah. Kalian tahu doaku untuk gadis
itu? Aku berdoa semoga kelak gadis itu bisa mendapat hidayah. Mengenakan
pakaian yang sepantasnya bagi wanita muslim. Bukan sekedar terbungkus
sepertiku. Ttapi benar-benar menutup auratnya.” Molen berkata sendu. Tempe dan
Tahu mendengarkan saja. Diam. Padahal dalam hati keduanya mengamini.
***
Gorengan di pinggir jalan itu kian laris saja. Terlebih ada
yang menarik perhatian mata di sana. Ada
seorang wanita muda, istri pemilik gorengan. Gadis yang dianggap nakal.
Dulunya. Ia kini berhijab. Juga telah bersuami.
Hidayah menghampirinya bersama kecelakaan yang menimpanya.
Sulaiman, sang penjual gorenganlah yang
menolongnya. Merawatnya. Hingga memutuskan menikahi si gadis.
“Alhamdulillah.” Molen bersenandung merdu.
“Doamu terkabu, Molen.” Kata Tempe.
“Doa kita kali. Aku tahu kalian mengamini.”
“Tau saja kau tentang isi hati kami,” ucap Tahu tertawa.
Mereka semua tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)