Aku merindukannya, berharap ia
menyapaku kala duka. Membri tahunya jika aku bahagia. Mengabarkan tiap apa
yang aku lakukan. Bagiku yang cacat berharap adalah satu-satunya cara, bermimpi
menjadi tempat pertemuanku dengannya. Sekian banyak aku bertemu yang lain, tapi
mereka semua sama, memilih yang lain dari pada aku. Aku tak mengerti
kesempurnaan apa yang mereka tuntut, sekalipun menerimaku, aku hanya dijadikan
sandaran saat luka mereka datang. Benarkah adanya lukalah satu-satunya teman
pengusir sepiku.
Kembali padanya, awalnya aku bertemu
dengan dia, orang pintar yang memutar balik hidupnya. Awalnya dia si nakal yang
punya banyak kekasih. Bagai si katak yang mengubah dirinya menjadi pangeran
yang tampan, bukan dengan ciuman sang putri ia berubah, tapi hidayahlah yang
mengubah jalannya. Akupun terlena kaguman padanya, hingga tak sadar tiga tahun
aku memuja dalam diamku. Sayang ia tak sempurna, aku tahu tak ada manusia
sempurna saat ini, namun menemukan cacat pada orang lain selalu menghadirkan
sesal. Itu jua yang menimpaku.
Waktu bergulir enggan, kembali aku
terpaku padanya, si merah yang menawan. Tinggi adalah cirinya, kekaguman yang
meracuni kembali hadir di hatiku. Tumpah seakan tak berpenawar. Walau tak lam
itu cukup membuatku sadar, benci beriringan dengan suka. Kadang lidah terus
bergelut berucap murka, sedang hati bersorak senang karena dapat berbicara
dengannya walau dengan nada tak nikmat.
Berpegangan padanya membuatku sadar,
aku hanya mainan baginya. Ia bayi yang senang melihat mainan antik. Akulah mainan
itu. tak menunggu lama tuk melepaskan mainan satu musim, di luar sana banyak
mainan yang lebih memikat. Aku tahu itu di akhirnya, tak ada sesal. Belajar!
Kuingat lagi masa lalu itu, inilah
kisahku yang paling menyiksa. Kala diri merasa di atas awan harapan, ternyata
awan itu hanya pekat sesaat, pada akhirnya ia menjatuhkanku bersama derasnya
hujan. Bersama seorang temanku ia berjalan dan menoleh memohon maaf pada
linangan derita hatiku. Hingga saat ini sulit menerimanya hadir sebagai tempat
berbagi. Tak ingin menabur garam di atas luka.
Dia si pemberi luka menghilang
tergantikan seorang sahabat tempat
menumpahkan air mata kepedihan. Ia datang menjadi obat juga musibah dan
akhirnya tertelan kesibukannya sendiri, harapku ia tetap pada keyakinannya yang
benar.
Aku si bunga layu berjalan seorang
diri lama dan lama, hingga seekor kumbang kembali menebar pesona sesaatnya. Ia
juga seorang penyihir yang menarik ribuan sari bunga tuk dirinya. Tampa sadar
akupun terlena sesaat lamanya menatap penuh kekaguman. Hingga ia menetap pada
bunga yang indah, walau sessaat. Pada akhirnya aku tahu dia masih memilih
serbuk sari dari bunga mana yang akan ia nikmati. Kembali aku terdiam memandang
penuh penasaran hinggap ke manakah kumbang itu nantinya. Walau akupun kembang,
sayangnya aku layu terkapar panasnya matahari.
Mereka jelas tergambar di atas pasir
yang sengaja aku lukis, ombak akan mengahapusnya perlahan. Aku tetap berharap,
pada bayang-bayang tak jelas yang tak kunjung menyapaku. Akupun hanya
menggambarkannya pada angan , entah kapan ia akan berubah nyata. Satu yang
pasti aku sadari Pemilik mereka semua punya
skenario yang tak aku tahu arahnya ke mana. Juga Dialah tempat
menggantungkan harapanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)