Untukmu...
Aku membencimu...
Saat kau marah-marah padaku, saat kau menarikku yang sedang
menikmati dunia kecilku. Saat itu aku masih tak tahu arti dirimu, yang ada
dalam benakku adalah kau tak pernah mengerti apa yang aku inginkan. Itu dulu
saat aku belum tahu laranganmu, amarahmu adalah tuk kebaikanku. Aku sungguh
menyesal karenanya.
Aku merindumu...
Berlembar-lembar kertas tak akan mampu melukiskan rasa
rinduku padamu, orang yang memberikanku kehidupan, menghadiahkan aku nafas demi
nafas, memelukku dalam dingin dan kelamnya malam. Aku tersihir saat menyebut
namamu, laksana air yang memuaskan dahaga, menghadirkan haru dalam jiwa.
Rindu...
Saat dulu aku bersamamu, aku tak mengenal kata itu. Lalu
tanpa aku sadari waktu semakin beranjak, saat sadar aku telah berpisah darimu.
Dan kau yang meminta itu, bukan aku. Saat
aku merintih, menangis karena perpisahan, dangan senyum lembutmu kau
katakan, “Memang seharusnya begini.” Aku tak mengerti, kau sangat suka
perpisahan yang menyakitkan. Melepasku, kau begiu mudah dan itu yang membuatku
berfikir aku tak layak berada disisimu. Benarkah itu?
Namun saat aku jauh, merasa terabaikan kau hadir dengan
berbagai cara. Di malam yang kelam sekalipun aku bisa melihat wajahmu begitu
bercahaya. Sadarlah aku, kau tak mungkin tuk aku benci, sangat salah andaikata
aku membencimu, padahal kau hadir tanpa aku minta, walau hanya sekedar
bayang-bayang, pengantar mimpi saat aku tidur.
Itulah dirimu...
Kini aku kembali termenung dalam hembusan lembut angin yang
membelai malam, ingatanku akan masa kecil kembali berputar-putar di hadapanku,
slide demi slide berganti begitu saja tanpa aku minta. Tahukah engkau duhai
wanita terkasih... aku kini sadar sungguh tak layak aku ini, tak tahu terima
kasih dan balas budi. Walau aku yakin kau tak meminta aku membalas jasamu, dan
kaupun tak menagihku akan semuanya.
***
Bayi merah itu terdiam cukup lama. Tak ada suara tangisan
seperti kebanyakan bayi lainnya. Ada apa kini, tak sanggupkah ia menanggug
beban hidup di dunia?
Semua menantikannya, anak pertama bagi kedua orang tuanya,
cucu pertama bagi kakek dan neneknya. Suasana kamar itu tak lagi tenang,
ketegangan kian meraja, sang ibu bayi mulai menangis pilu, tak ingin kehilangan
lagi. Suara tangis wanita dengan darah mengalir itu kian terdengar menusuk
pendengarnya.
Lalu, kaki bayi itu bergerak cepat, sekali...dua kali...
suara erangan bayi kini memenuhi ruangan, tangis ketakutan berganti tangis
bahagia.
Tujuh hari setelahnya...
Rumah sederhana itu terlihat lain dari biasanya, ada banyak
orang berlalu lalang kesana kemari. Yang terlihat hanyalah senyum-senyum
bahagia. Acara kelahiran sang bayi tak terlewatkan begitu saja. Semua
berlangsung semestinya. Sederhana namun bermakna.
Tujuh tahun kemudian...
“Bunda, aku juara satu.” Teriak gadis kecil itu kegirangan,
sambil menyerahkan rapor miliknya.
“Hayo... kalau gitu bilang apa dong sayang?”
“Hemm... Alhamdulillah bunda.”
“Pintar... sini peluk bunda.” Diraihnya sang buah hati dalam
pelukannya yang hangat. Rasa syukur terucap begitu saja dalam hatinya. Inilah
awal bagi bunda tuk mendidikmu lebih giat lagi, anakku sayang, ucapnya dalam
hati.
“Sebentar bunda, nanggung nih nontonnya.” Terdengar teriakan
dari ruang tengah rumah itu. “Nanti nontonnya dilanjut lagi, sekarang
bersih-bersih dulu.”
“Ah bunda gimana sih, filmnya keburu habis dong.” Ucapnya
kessal.
Tak ada lagi sahutan, suara isak kini yang terdengar. Wanita
itu meneteskan air mata, akankah ia gagal sebagai ibu, pendidik?
Sudah kesekian kalinya sang buah hati memperlihatkan sikap
buruknya, membantah, bahkan kadang marah, mencaci, namun ia sama sekali tak
menyalahkan gadis kecilnya. Justru dirinyalah yang salah. Inikah yang ibunya
rasakan saat ia keras kepala?
Dari ruang tengah suara tv tak ia dengar lagi, yang ada suara
piring-piring di dapur yang terdengar ditumpu. Gadis kecilnya mengerti, maafkan
bunda sayang.
17 tahun saat itu...
“Kenapa sepatunya kebesaran bunda?”
“Makanya tadi pagi bunda ngajak kamu biar ikut sekalian ke
pasar, kalo udah kayak gini mau bagaimana lagi?”
“Bunda sih, aku kan bilang ukurannya 37 kenapa belinya 38.”
Sahutan demi sahutan kian menghentak, berujung pada amarah
sang anak, dan kediaman ibunya. Pintu kamar di banting begitu saja, guling
menjadi saksi bisu sebuah tangisan tertahan. Tak hanya sampai di situ,
benda-benda dalam kamar menjadi pelampiasan kekecewaan.
***
Ia mendapat bingkisan, saat ia buka isinya adalah sebuah
jilbab warna hijau yang lembut, warna kesukaannya. Tak lupa secari kertas
bertuliskan namanya.
Untuk bidadariku...
Nak, umurmu kian bertambah. Kini kau tumbuh menjadi gadis
yang cantik, pintar, bunda sangat berharap kau juga menjadi gadis yang salehah.
Maafkan salah bunda yang kadang menyakitimu nak. Bunda hanya ingin yang terbaik
buatmu, walau kadang yang bunda rasa baik untukmu, kau tak sependapat.
Gadisku yang baik...
Harapan bunda dan adik-adik ada padamu, jadilah anak bunda
yang berbakti, kakak yang patut dijadikan contoh, dan yang paling penting
jadilah hamba yang selalu ingat akan Penciptanya.
Anakku sayang...
Jilbab itu adalah hadiah dari adik-adikmu dari hasil menabung
uang jajan mereka, bunda hanya menambahkan kekurangannya, semoga nanda suka.
Jaga diri baik-baik, salam sayang dari adik-adikmu.
Peluk hangat,
Bunda
Air matanya tumpah, dipeluknya erat-erat bingkisan dan surat
itu, hatinya basah. Rindu dalam dadanya kian membuncah. Setahun lebih kini ia
mondok pada salah satu pesantren di ibu kota. Jaraklah yang menyebabkan ia tak
mungkin sering pulang.
”Inilah aku ya Robb, tunduk di bawah keagunganMu, bernaung
dibawah langit tak bertiang yang Engkau bangun dengan indahnya, berdiri di atas
bumi yang engkau hamparkan,
Wahai Sang Pemilik Jagad Raya, dengan keterbatasan yang aku
miliki, aku datang padamu, memohon padamu, ampunilah segala dosa dan salahku,
tunjukkan selalu jalanMu yang lurus pada hambaMu yang buta ini.
Ya Ilahi pemilik di atas pemilik...
Ampunkanlah dosa kedua orang tuaku, lindungilah keluarga
kami, jika sekarang kami berpisah di duniaMu yang fana ini, maka hamba mohon
kumpulkan kami kelak dalam surgaMu yang abadi, hiasi hati kami selalu dengan
mengingatMu.”
Derai air mata menemani malamnya yang sunyi, rintik-ritik
hujan seakan mengerti suasana hatinya, gerimis terdengar merdu di telinga.
Iapun berharap rasa rindunya dapat tersampaikan lewat hembusan angin malam,
kepada wanita yang menghadirkannya di dunia ini.
***
Bunda...
Kau indah dengan caramu sendiri, bahkan tak sekalipun aku
melihatmu memakai make up, namun wajahmu memancarkan kecantikan. Bahkan kau tak
memiliki mahkota di atas kepalamu, tapi balutan jilbabmu seakan menandakan
engkau wanita dengan kebijakan di atas seorang ratu kerajaan.
Tetesan air matamu serasa racun yang menakutkan. Ingatkah
bunda, saat engkau menangis karena diriku, aku sungguh takut karenanya, hatiku
tak membenarkan kau menangis karena kesalahanku, akupun takut dosa. Dua kali
aku membuatmu menangis, dan dua kali pula aku ketakutan karenanya. Api amarah
yang aku nyalakan seakan-akan tersirami air matamu.
Akupun pernah begitu kecewa karenamu bunda. Saat engkau sakit
dan tak ada yang mengabariku, aku sungguh marah. Bagaimana mungkin aku sebagai
anak tertua tak mendapat kabar akan dirimu. Aku takut kehilangan bunda,
kehilangan dirimu, wanita yang paling berharga yang aku miliki di dunia ini.
Kisah kasihku aku ceritakan padamu, dengan bijak kau
menasehati, dan itu sangat membantuku. Saat kau ada, semua menjadi ada,
mengikutimu begitu saja. Kehangatan, kasih sayang, semuanya bunda. Engkaulah
ibu, sahabat, kakak yang selalu hadir dengan senyum mekar penuh keajaiban.
Bahkan suaramu adalah pelipur lara tatkala aku dalam kesedihan.
Aku menyayangimu...
Jika dulu bunda marah-marah padaku, kini aku malah ingin kau
marah di depanku. Tatkla aku hanya diam saat engkau suruh, rasa-rasanya ingin
mendengar kalimat perintahmu lagi. Lalu merasakan belaian lembut tanganmu di kepalaku. Mengapa
kini baru aku menyadari aku sangat membutuhkanmu?
Tunggu aku pulang bunda...
Saat itu terjadi aku
tak akan menyia-nyiakan waktuku lagi, akan ku jadikan kau ratu di rumah
sederhana kita, biarkan aku jadi pelayanmu yang setia. Sampai saat itu tiba,
aku akan memperbaiki diriku di sini, untuk membahagiakanmu bunda sayang.
Peluk cium
Nanda
***
Wajahnya berseri-seri, surat yang sudah ia bungkus rapi ia
serahkan pada pengantar surat. Kerinduannya akan tersampaikan kini. Bayangannya
akan rumah sederhananya di kampung kembali terbayang-bayang.
“Nda, ada surat buat kamu.”
“Dari siapa kak?”
“Ngga tau juga lihat saja sendiri, eh jangan lupa besok tugas
kamu ngajar adik-adik kelas satu.” Ucap seniornya.
“iya kak, makasih ya.”
“iya kak, makasih ya.”
Tak sabar, dibukanya kertas bersampul putih itu.
Anakku tersayang...
Segeralah pulang, ada masalah di rumah kita. Secepatnya nanda
pulang, semua menunggumu, terutama bunda.
Kekekalan hanyalah milik Sang Pencipta, kita sebagai manusia
hanya singgah sementara di dunia ini. Kejadian apapun itu, hendaknya tak
membuat kita jatuh, karena itulah garis takdir yang telah ditentukan.
Anakku, bersegeralah...
Ayah
Ada apa ini? Bunda kenapa?
Taya memenuhi kepalanya, pulang! Hanya itu yang terpikir kini. Aku harus
pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)