Jumat, 27 Januari 2012

SEPERTIGA MALAM TERAKHIR

SEPERTIGA MALAM TERAKHIR

“Tolonglah kak, saya tidak bisa melanjutkan perjalanan, uang saya habis dan adik saya juga sakit.” Gadis dengan jilbabnya yang lusuh itu memohon padaku sedari tadi.
“Bagaimana ya dek, saya anak kos-kosan. Kos-kosan laki-laki  pula.”
“Tolonglah kak, adik saya sakit.”
Aku berpikir sejenak, susah juga. Aku mudah kasihan, apa lagi kulihat adiknya yang sudah sangat pucat, tidak ada pilihan lain.
“Baiklah, kamu saya ajak ke kos, sampai adikmu benar-benar sembuh. Ikuti saja apa yang saya katakan, bersikaplah biasa saja.”
“Iya kak.”
“Oh ya, nama kamu siapa?”
”Milah kak, adikku Miftah.”
Kubawa kedua kakak beradik itu kekosku, teman-teman yang melihat memandang dengan mata keheranan seakan berkata, “ Siapa mereka?”
“Kalau ngga ada perlu jangan keluar dari kamar yah.”
“Iya kak.”
Kusuguhkan makanan yang ada pada keduanya, kupandangi saja setelahnya kulihat sang kakak begitu telaten menyuapi sang adik. Ah, seandainya....
“Mir..”
Itu suara Farhan, sama-sama anak kosan di tempat ini, dia juga sekampungku.
"Ya, ada apa?” kubuka pintu kamarku untuknya.
“Aku...”ia tak melanjutan kata-katanya,“Siapa mereka?”
“Oh adik-adikku.”
“Lah, bukannya kamu ngga punya saudara?”
“Hehehe... adik temuan toh.”
“ Maksudnya?”
“Aku tadi bertemu mereka di depan kampus, yah tahulah gimana aku, kasihan melihat mereka  akhirnya aku bawa saja kemari, adinya juga sakit.” Kujelaskan semuanya pada Farhan.
“Eh, kalau anak-anak yang lain nanyain siapa mereka, bilang saja, adik-adikku  yah.”
“Sipplah..”
“Tadi mau ngomong apa?”
“Oh, tidak ada apa-apa.” Jeda lalu...
“Aku kebelakang dulu yah.”
Belum aku jawab Farhan sudah pergi, ada yang aneh, tak biasanya ia seperti itu.
Milah dan diknya Miftah sudah aku anggap adik sendiri, mungkin karena aku tak sempat merasakan punya adik. Makanku yang biasanya sendiri, terasa nikmat bersama mereka, apa lagi keduanya juga begitu menghormatiku.
Milah sendiri ternyata pandai meracik makanan, tadinya aku lebih suka beli makanan jadi, namun semenjak anak berumur 15 tahun itu ada dan adiknya, aku hanya membeli bahan makanan dan ia yang memasaknya. Ia juga yang mencuci bajuku, hitung-hitung balas budi mungkin.
Sedangkan Miftah adiknya sangat pendiam, hanya sesekali saja kulihat ia berbicara itupun dengan kakaknya, saat kutanya pada kakaknya mengapa ia seperti itu, Milah hanya menggeleng dan raut wajahnya tiba-tiba berubah, dan setelahnya aku kembali tak berani bertanya.
Satu minggu berlalu kedua anak itu masih berada di kos tempat tinggalku. Aku juga tak keberatan, yang berubah malah wajah-wajah teman-teman yang juga berada di tempat kos-kosan itu. aku tak mengerti mengapa.
Malam itu kupaksakan mataku untuk bangun, aku sangat kaget yang tidur tepat disampingku hanya Mifta, Milah tak ada, bahkan pintu kamarku tak terkunci. Aku mulai berfikir yang tidak-tidak, jangan-jangan...
Klik...
Pintu terbuka, kudapati wajah Milah yang nampak basah oleh air.
“Oh maaf  kak, saya tadi kebelakang buat berwudhu.”
“Saya kira tadi kamu kemana, ya sudah sekalian tunggu saya, kita shalat berjamaahnya barengan saja.”
“Iya kak.”
Aku sangat jarang jadi imam, namun aku benar-benar berusaha  jadi imam yang baik kali ini. Ada perasaan senang dalam hatiku, ternyata memiliki keluarga itu sangat indah. Dalam doaku aku tak sadar tiba-tiba air mataku terjatuh. Teringat kedua orang tuaku yang telah berpulang ke pangkuan Ilahi, juga kedua adikku. Kecelakaanlah yang jadi penyebabnya. Kini hiduplah aku sebatang kara, dengan harta warisan kedua orang tuaku yang melimpah.
“Kak, kakak tidak apa-apa?”
Kuhapus air mataku, “Tidak apa-apa,.” Jawabku.
“Kakak aku ingin bercerita.” Aku berbalik menghadap gadis itu, dalam balutan mukenah, wajahnya terlihat bercahaya.
“Cerita tentang apa?”
“Sebenarnya...”
Mengalirlah kisah dirinya dari bibirnya yang bergetar, kulihat air matanya mulai berjatuhan. Gadis ini juga menyimpan kepedihan yang lebih mendalam ketimbang aku. Ia diusir dari rumahnya karena dituduh mencuri oleh keluarga ibunya. Sama sepertiku, ia juga yatim piatu, harta peninggalan kedua orang tuanya dihambur-hamburkan oleh kakaknya yang bersekongkol dengan tantenya. Ia dan adiknya tak punya keluarga lain yang bisa didatangi lagi, dan saat bertemu denganku ia sangat menaruh  harapan besar.
“Maafkan saya kak sudah bohong.” Ia kembali terisak.
“Sudahlah, anggap saja saya sekarang adalah kakakmu. Kita akan hidup bersama, aku juga tak punya siapa-siapa lagi.”
“ Terimakasih kak, terimakasih banyak.” Aku tak sanggup melihatnya menangis, di depanku yang terbayang adalah wajah Sindy adik perempuanku. Andai aku bisa memelukmu dik.
Siang yang terik, hari ini aku pulang lebih cepat, dosenku batal masuk ia hanya memberikan tugas. Aku memlih pulang karena semua teman yang lain juga memilih hal yang serupa. Namun alangkah kagetnya aku saat pulang kulihat penghuni kamar yang lain berkerumun didepan kamarku.
“ Heh, ngaku saja kamu, semenjak kamu disini kami sudah heran, kau tak ada mirip-miripnya dengan Mirzan.”
Kenapa namaku disebut-sebut, apa hubungannya coba. Tanya memenuhi hatiku.
“Ditambah lagi semenjak itu banyak barang-barang yang hilang.”
“Ngaku saja, kemarin malam ada yang melihatmu di depan kamar Wahyu, dan keesokan harinya uangnya tiga ratus ribu hilang, siapa lagi yang mengambilnya selain kamu, dasar tidak tahu malu.”
Kuterobos kerumunan itu, penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Kulihat Milah tengah dituding dihadapan mereka, ia sama sekali tak berbicara. Matanya menyiratkan rasa ketakutan yang sangat.
“Ada apa ini?”
“Sudahlah Mir, anak ini tidak tahu terima kasih padamu, dia mencuri uang Wahyu, kemarin juga uang Akbar hilang dan semua bukti mengarah padanya.”
“Maksudmu, Milah yang mencuri?”
“Siapa lagi, semenjak ia datang banyak teman-temanmu yang kehilangan uang, kau pikir siapa selain dia?” Suara Anton, anak pemilik kos.
“Hei man, jangan asal tuduhlah. Siapa tahu saja ada yang orang luar yang masuk.”
“Kenapa juga kau bela anak itu, toh tak ada hubungan darah denganmu kan?”
“Dia adikku.”  
Aku mulai naik darah, siapa pula yang cerita tentang hal ini pada mereka. Seingatku hanya Farhan yang aku kasih tahu, itupun aku yakin tak mungkin ia yang membocorkan.
“Kau itu anak sebatang kara, mana mungkinlah punya adik, ngakunya alim, padahal pembohong, atau jangan-jangan kau bersekongkol dengan anak itu?”
”Heh, apa kau bilang? Jaga ucapanmu, jangan seenaknya menuduh!” Tak sabar lagi kuraih kerah baju Anton, bogem mentahku siap mendarat ke wajahnya
“Apa-apaan ini? Kenapa malah kalian yang berkelahi? Kita akan cari pelakunya, lagi pula anak itu belum bicara apa-apa.” Kulepas juga cengkraman tanganku.
“Cih, mana ada maling yang mau ngaku?”
Mereka memaksa Milah untuk mengakui perbuatan yang aku yakin tidak ia lakukan. Aku juga ikut menjelaskan kalau gadis kecil yang bersamaku itu sering bangun tengah malam untuk shalat malam, mungkin saat lewat di depan kamar Wahyu ada yang melihatnya, padahal ia dari berwudhu. Tak ada yang percaya, malah mereka menuduhku bersekongkol dengannya.  
Hingga malam Milah terus diintrogasi, aku sama sekali tak diperkenankan membantunya. Ia kembali ke kamarku dengan wajah yang sembab, saat aku tanya apa yang mereka tanyakan, ia hanya bungkam. Aku bisa mengganti uang mereka yang dicuri  jika aku mau, namun aku yakin bukan Milah pelakunya.
Kulihat gadis itu memeluk adiknya yang juga menagis, aku tak tahan. Dalam hati aku berjanji akan membawa kedua anak itu ke rumahku, juga aku tak perlu ngekos lagi, aku sudah punya teman untuk diajak tinggal bersama.
Jam tiga dini hari. Aku terbangun dalam gelapnya malam, aku ingin sahalat malam, menjadi imam Milah. Namun heran juga baru kali ini lampu kamarku padam saat aku tidur, mungkin Milah yang memadamkannya. Namuna alangkah kagetnya aku saat lampu aku nyalakan kedua anak itu sudah tidak ada di kamarku. Yang aku temukan hanya sepucuk surat dengan tulisan yang tak karuan tulisannya.
Kakak yang baik,
Maaf  kami hanya menyusahkan kakak padahal kakak sudah membantu kami. Kakak terima kasih, kami lebih baik pergi.
Aku tak tahu soal uang yang hilang itu, malam saat uang itu hilang, saat aku selesai berwudhu, aku melihat kak Farhan keluar dari kamar kak Wahyu, aku tak menuduh kak Farhan, tapi aku juga tak ingin mereka  beranggapan aku yang mencuri kak. Aku sudah berjanji pada ibu dan ayahku untuk jadi anak yang baik.
Kak terima kasih,
Milah.
kini aku kembali sendiri dalam sunyinya malam.
Seminggu berlalu aku mencari keduanya tak aku temukan juga. Padahal pelaku pencurian sebenarnya sudah didapat. Farhan, orang yang aku anggap sahabat malah menikamku dari belakang, ia butuh uang untuk membayar uang kuliah, awalnya ia ingin meminjam uang padaku. Namu ide gilanya malah mengendalikan pikirannya. Dijadikannya Milah sebagai kambing hitam. Ia beraksi tatkala malam tiba, Milahlah yang pertama melihatnya. Namun tak berani ia beritahukan padaku, tentu saja berkat ancaman Farhan.
Aku sudah minta anak-anak kos untuk mencari kedua  anak itu, namun tak kunjung aku temukan. Aku berjanji jika menemukan mereka berdua  aku akan jadikan adik yang sebenarnya, aku berjanji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)