SEPERTIGA MALAM TERAKHIR
“Tolonglah
kak, saya tidak bisa melanjutkan perjalanan, uang saya habis dan adik saya juga
sakit.” Gadis dengan jilbabnya yang lusuh itu memohon padaku sedari tadi.
“Bagaimana
ya dek, saya anak kos-kosan. Kos-kosan laki-laki pula.”
“Tolonglah
kak, adik saya sakit.”
Aku berpikir sejenak,
susah juga. Aku mudah kasihan, apa lagi kulihat adiknya yang sudah sangat
pucat, tidak ada pilihan lain.
“Baiklah,
kamu saya ajak ke kos, sampai adikmu benar-benar sembuh. Ikuti saja apa yang
saya katakan, bersikaplah biasa saja.”
“Iya
kak.”
“Oh
ya, nama kamu siapa?”
”Milah kak, adikku Miftah.”
”Milah kak, adikku Miftah.”
Kubawa kedua kakak
beradik itu kekosku, teman-teman yang melihat memandang dengan mata keheranan
seakan berkata, “ Siapa mereka?”
“Kalau
ngga ada perlu jangan keluar dari kamar yah.”
“Iya
kak.”
Kusuguhkan makanan yang
ada pada keduanya, kupandangi saja setelahnya kulihat sang kakak begitu telaten
menyuapi sang adik. Ah, seandainya....
“Mir..”
Itu suara Farhan,
sama-sama anak kosan di tempat ini, dia juga sekampungku.
"Ya,
ada apa?” kubuka pintu kamarku untuknya.
“Aku...”ia
tak melanjutan kata-katanya,“Siapa mereka?”
“Oh
adik-adikku.”
“Lah,
bukannya kamu ngga punya saudara?”
“Hehehe...
adik temuan toh.”
“
Maksudnya?”
“Aku
tadi bertemu mereka di depan kampus, yah tahulah gimana aku, kasihan melihat
mereka akhirnya aku bawa saja kemari,
adinya juga sakit.” Kujelaskan semuanya pada Farhan.
“Eh,
kalau anak-anak yang lain nanyain siapa mereka, bilang saja, adik-adikku yah.”
“Sipplah..”
“Tadi
mau ngomong apa?”
“Oh,
tidak ada apa-apa.” Jeda lalu...
“Aku
kebelakang dulu yah.”
Belum aku jawab Farhan
sudah pergi, ada yang aneh, tak biasanya ia seperti itu.
Milah
dan diknya Miftah sudah aku anggap adik sendiri, mungkin karena aku tak sempat
merasakan punya adik. Makanku yang biasanya sendiri, terasa nikmat bersama
mereka, apa lagi keduanya juga begitu menghormatiku.
Milah
sendiri ternyata pandai meracik makanan, tadinya aku lebih suka beli makanan
jadi, namun semenjak anak berumur 15 tahun itu ada dan adiknya, aku hanya
membeli bahan makanan dan ia yang memasaknya. Ia juga yang mencuci bajuku,
hitung-hitung balas budi mungkin.
Sedangkan
Miftah adiknya sangat pendiam, hanya sesekali saja kulihat ia berbicara itupun
dengan kakaknya, saat kutanya pada kakaknya mengapa ia seperti itu, Milah hanya
menggeleng dan raut wajahnya tiba-tiba berubah, dan setelahnya aku kembali tak
berani bertanya.
Satu
minggu berlalu kedua anak itu masih berada di kos tempat tinggalku. Aku juga
tak keberatan, yang berubah malah wajah-wajah teman-teman yang juga berada di
tempat kos-kosan itu. aku tak mengerti mengapa.
Malam
itu kupaksakan mataku untuk bangun, aku sangat kaget yang tidur tepat
disampingku hanya Mifta, Milah tak ada, bahkan pintu kamarku tak terkunci. Aku
mulai berfikir yang tidak-tidak, jangan-jangan...
Klik...
Pintu terbuka, kudapati
wajah Milah yang nampak basah oleh air.
“Oh
maaf kak, saya tadi kebelakang buat berwudhu.”
“Saya
kira tadi kamu kemana, ya sudah sekalian tunggu saya, kita shalat berjamaahnya barengan
saja.”
“Iya
kak.”
Aku
sangat jarang jadi imam, namun aku benar-benar berusaha jadi imam yang baik kali ini. Ada perasaan
senang dalam hatiku, ternyata memiliki keluarga itu sangat indah. Dalam doaku
aku tak sadar tiba-tiba air mataku terjatuh. Teringat kedua orang tuaku yang
telah berpulang ke pangkuan Ilahi, juga kedua adikku. Kecelakaanlah yang jadi
penyebabnya. Kini hiduplah aku sebatang kara, dengan harta warisan kedua orang
tuaku yang melimpah.
“Kak,
kakak tidak apa-apa?”
Kuhapus air mataku, “Tidak
apa-apa,.” Jawabku.
“Kakak
aku ingin bercerita.” Aku berbalik menghadap gadis itu, dalam balutan mukenah,
wajahnya terlihat bercahaya.
“Cerita
tentang apa?”
“Sebenarnya...”
Mengalirlah
kisah dirinya dari bibirnya yang bergetar, kulihat air matanya mulai
berjatuhan. Gadis ini juga menyimpan kepedihan yang lebih mendalam ketimbang
aku. Ia diusir dari rumahnya karena dituduh mencuri oleh keluarga ibunya. Sama
sepertiku, ia juga yatim piatu, harta peninggalan kedua orang tuanya
dihambur-hamburkan oleh kakaknya yang bersekongkol dengan tantenya. Ia dan
adiknya tak punya keluarga lain yang bisa didatangi lagi, dan saat bertemu
denganku ia sangat menaruh harapan
besar.
“Maafkan
saya kak sudah bohong.” Ia kembali terisak.
“Sudahlah,
anggap saja saya sekarang adalah kakakmu. Kita akan hidup bersama, aku juga tak
punya siapa-siapa lagi.”
“
Terimakasih kak, terimakasih banyak.” Aku tak sanggup melihatnya menangis, di depanku
yang terbayang adalah wajah Sindy adik perempuanku. Andai aku bisa memelukmu
dik.
Siang
yang terik, hari ini aku pulang lebih cepat, dosenku batal masuk ia hanya
memberikan tugas. Aku memlih pulang karena semua teman yang lain juga memilih
hal yang serupa. Namun alangkah kagetnya aku saat pulang kulihat penghuni kamar
yang lain berkerumun didepan kamarku.
“
Heh, ngaku saja kamu, semenjak kamu disini kami sudah heran, kau tak ada
mirip-miripnya dengan Mirzan.”
Kenapa namaku
disebut-sebut, apa hubungannya coba. Tanya memenuhi hatiku.
“Ditambah
lagi semenjak itu banyak barang-barang yang hilang.”
“Ngaku
saja, kemarin malam ada yang melihatmu di depan kamar Wahyu, dan keesokan
harinya uangnya tiga ratus ribu hilang, siapa lagi yang mengambilnya selain
kamu, dasar tidak tahu malu.”
Kuterobos kerumunan
itu, penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Kulihat Milah tengah dituding
dihadapan mereka, ia sama sekali tak berbicara. Matanya menyiratkan rasa
ketakutan yang sangat.
“Ada
apa ini?”
“Sudahlah
Mir, anak ini tidak tahu terima kasih padamu, dia mencuri uang Wahyu, kemarin
juga uang Akbar hilang dan semua bukti mengarah padanya.”
“Maksudmu,
Milah yang mencuri?”
“Siapa
lagi, semenjak ia datang banyak teman-temanmu yang kehilangan uang, kau pikir
siapa selain dia?” Suara Anton, anak pemilik kos.
“Hei
man, jangan asal tuduhlah. Siapa tahu saja ada yang orang luar yang masuk.”
“Kenapa
juga kau bela anak itu, toh tak ada hubungan darah denganmu kan?”
“Dia adikku.”
“Dia adikku.”
Aku
mulai naik darah, siapa pula yang cerita tentang hal ini pada mereka. Seingatku
hanya Farhan yang aku kasih tahu, itupun aku yakin tak mungkin ia yang
membocorkan.
“Kau
itu anak sebatang kara, mana mungkinlah punya adik, ngakunya alim, padahal
pembohong, atau jangan-jangan kau bersekongkol dengan anak itu?”
”Heh,
apa kau bilang? Jaga ucapanmu, jangan seenaknya menuduh!” Tak sabar lagi kuraih
kerah baju Anton, bogem mentahku siap mendarat ke wajahnya
“Apa-apaan
ini? Kenapa malah kalian yang berkelahi? Kita akan cari pelakunya, lagi pula
anak itu belum bicara apa-apa.” Kulepas juga cengkraman tanganku.
“Cih,
mana ada maling yang mau ngaku?”
Mereka
memaksa Milah untuk mengakui perbuatan yang aku yakin tidak ia lakukan. Aku
juga ikut menjelaskan kalau gadis kecil yang bersamaku itu sering bangun tengah
malam untuk shalat malam, mungkin saat lewat di depan kamar Wahyu ada yang
melihatnya, padahal ia dari berwudhu. Tak ada yang percaya, malah mereka
menuduhku bersekongkol dengannya.
Hingga
malam Milah terus diintrogasi, aku sama sekali tak diperkenankan membantunya.
Ia kembali ke kamarku dengan wajah yang sembab, saat aku tanya apa yang mereka
tanyakan, ia hanya bungkam. Aku bisa mengganti uang mereka yang dicuri jika aku mau, namun aku yakin bukan Milah
pelakunya.
Kulihat
gadis itu memeluk adiknya yang juga menagis, aku tak tahan. Dalam hati aku
berjanji akan membawa kedua anak itu ke rumahku, juga aku tak perlu ngekos
lagi, aku sudah punya teman untuk diajak tinggal bersama.
Jam
tiga dini hari. Aku terbangun dalam gelapnya malam, aku ingin sahalat malam,
menjadi imam Milah. Namun heran juga baru kali ini lampu kamarku padam saat aku
tidur, mungkin Milah yang memadamkannya. Namuna alangkah kagetnya aku saat
lampu aku nyalakan kedua anak itu sudah tidak ada di kamarku. Yang aku temukan
hanya sepucuk surat dengan tulisan yang tak karuan tulisannya.
Kakak yang baik,
Maaf kami hanya menyusahkan kakak padahal kakak
sudah membantu kami. Kakak terima kasih, kami lebih baik pergi.
Aku tak tahu soal uang
yang hilang itu, malam saat uang itu hilang, saat aku selesai berwudhu, aku
melihat kak Farhan keluar dari kamar kak Wahyu, aku tak menuduh kak Farhan,
tapi aku juga tak ingin mereka
beranggapan aku yang mencuri kak. Aku sudah berjanji pada ibu dan ayahku
untuk jadi anak yang baik.
Kak terima kasih,
Milah.
kini aku kembali
sendiri dalam sunyinya malam.
Seminggu
berlalu aku mencari keduanya tak aku temukan juga. Padahal pelaku pencurian
sebenarnya sudah didapat. Farhan, orang yang aku anggap sahabat malah menikamku
dari belakang, ia butuh uang untuk membayar uang kuliah, awalnya ia ingin meminjam
uang padaku. Namu ide gilanya malah mengendalikan pikirannya. Dijadikannya
Milah sebagai kambing hitam. Ia beraksi tatkala malam tiba, Milahlah yang
pertama melihatnya. Namun tak berani ia beritahukan padaku, tentu saja berkat
ancaman Farhan.
Aku
sudah minta anak-anak kos untuk mencari kedua anak itu, namun tak kunjung aku temukan. Aku
berjanji jika menemukan mereka berdua aku
akan jadikan adik yang sebenarnya, aku berjanji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)