Kegundahan, keresahan hatiku tak pernah bisa aku sembunyikan.
Tiap hari saat tak ada kegiatan, yang terbayang hanya wajah orang-orang yang
aku kasihi...dulunya.
Perjalanan kali ini merupakan kali pertama pertamaku unntuk pulang ke rumah. Walau
dengan hati yang begitu berat. Angin bertiup kencang
ikut menyambut kepulanganku. Tak ayal membuat rasa takutku bangkit begitu saja, Hujan tiba-tiba turun
dengan derasnya. Berpadu angin membuat
suasana kian mencekam. Dengan langkah kaki tertatih-tatih ku masuki bangunan
tua tak berpenghuni. Seram, pikirku. Debu bertebaran di mana-mana. Di kedua
sisi bangunan terdapat rerumputan yang sudah sangat tinggi. Bangunan yang sama
sekali tak terurus. Mataku kini terasa berat, kulihat di luar hujan maki lebat.
Ku letakkan bawaankU.
Aku duduk, hanya menghitung menit saja, mataku sudah terpejam.
“Nak, bangunlah,
sudah malam.” Sebuah suara serak membangunkanku. Ku pulihkan kesadaranku,
memandang bingung kearah kakek tua yang membelakangiku itu. Ia sudah larut
dalam gerakan-gerakan yang tak terlalu aku kenal. Beberapa lama aku hanya
terpaku memandang laki-laki tua di depanku, sampai saat ia menoleh ke kanan dan
ke kiri secara berturut-turut, lalu berbicara dengan suara berbisik, lamunanku
seketika buyar.
“Nak, mau shalat
berjamaah?” Tanyanya tampa menoleh sedikitpun.
Entah dorongan
dari mana, aku tiba-tiba saja mengiyakan. Disuruhnya aku mengambil air wudhu di
samping bangunan tua tersebut. Aku pergi saja, menurut bagai robot. Entah sadar
atau tidak, aku lakukan yang kakek itu perintahkan, aku sudah lupa caranya,
walau aku ingat dulu pernah melakukan hal tersebut. Tapi seperti orang yang
sudah hapal betul cara bersuci, dengan lancar juga aku berwudhu.
Setelah itu aku
berdiri di samping sang kakek tua, gerakan demi gerakan aku lakukan mengikuti
laki-laki yang ada di depanku. Hingga akhir. Doa terlantun dari bibirnya. Suara
isak tangis juga dengan jelas aku dengar darinya. Sangat menusuk. Aku dibuatnya
bertanya-tanya, tapi tak berani mengganggunya. Hanya beberapa dari doanya yang
aku ingat.
“Ya Allah, Sang
pengusa alam, hamba begitu ingin terus berada di rumahMu ini, beibadah di
dalamnya, mengabdi padaMU, menjadikannya tempat paling indah di dunia, tapi
hamba lebih merinduMu, hamba begitu ingin berlabuh di pangkuanMu,….” Aku
mendengarnya kian meratapi diri, makin tak jelas apa yang ia katakana.
Tangisnya kian keras. Aku hanya duduk di belakangnya dengan kebingungan tak
terbendung.
Selesai ia
menyeka sisa-sisa air matanya, diajaknya aku berjalan-jalan di pekaranagn
masjid. Bersih, tak seperti saat pertama aku datang tadi. Begitu tertata rapi.
Aku sendiri pangling di buatnya. Kami berjalan menjauhi masjid.
Pemandangan
pertama yang aku lihat adalah sekumpulan orang yang sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Bukankah itu ayah dan ibu, mereka sedang berdagang. Iya, ayah
dan ibuku adalah dua orang pedagang ulet di kota tempatku tinggal, tiap
tahunnya ganti mobil, rumah begitu besar bagai istana, tapi aku dan ketiga
saudaraku tak begitu betah di rumah itu. Tak ada kasih sayang di dalamnya. Yang
ada kami dikekang bagaikan prajurit. Amarah ayah yang selalu meledak saat nilai
kami tidak sesua apa yang ia harapkan, lalu ibu yang selalu memerintah, tak
pernah memperdulikan keinginan kami. Hingga dewasapun aku selalu diatur.
Memutuskan untuk pergi jauh dari rumah adalah tindakan pertama yang aku ambil
tanpa campur tangan dari mereka. Dan kebebasan aku rasakan karenanya. Entah
dengan adik-adikku.
Kami melanjutkan
perjalanan, kali ini yang aku lihat adalah kumpulan anak muda yang entah
melakukan apa, samar-samar terlihat olehku, berpasang-pasang muda mudi
bermesraan, walau tak tahu banyak tentang aturan agama, aku tak suka pergaulan
bebas, terutama dengan wanita. Kadang aku berharap mendapatkan wanita
pendamping hidup yang bisa membimbingku, tapi keinginan itu berganti dengan
persaan tak yakin, aku yang tak tahu agama mana mungkin mendapatkan wanita
seperti itu. Itu hanya mimpi belaka. Walau tak kupungkiri wajah Fatimah, wanita
berjilbab sekelasku, teman kuliah, sering mengganggu malam-malamku, dengan
perkataannya yang lembut, pakaiannya yang tertutup, ah, terlalu jauh jika
berharap memilikinya.
Dari sudut
ruangan kulihat sepasang muda mudi lain, dan wajah salah satu dari mereka
begitu aku kenal, oh Tuhan, itu adalah adikku sendiri, Quin. Alangkah tak
relanya hatiku melihat apa yang ia lakukan. Laki-laki yang bersamanya adalah
musuhku di SMA dulu, inikah bentuk pembalasan darinya saat aku kalahkan di
kelas dulu? Tapi kenapa adikku yang jadi korban, aku tak tahan lagi, dengan
nafas memburu aku ingin kuhajar habis laki-laki bejat itu, langkahku tertahan
kakek tua yang bersamaku tahu apa yang akan aku lakukan, ia menahanku,
“Percuma, kau tak akan bisa menjangkaunya.” Ucapnya tegas, dan memang ia, ada
apa ini? Pertanyaan memenuhi kepalaku.
Perjalananku
berlanjut, aku rasakan air mata jatuh membasahi pipiku, ah, ini salah ibu, ayah
yang tak memperdulikan kami. Aku kaget, ada banyak darah didepanku, bau anyir
darah begitu terasa, menusuk hidung. Kulihat perkelahian hebat terjadi, begitu
tak terkendali, benda-benda tajam tergenggam di tanagan masing-masing, sungguh
mengerikan. Saat hendak berbalik dari tempat itu, kulihat salah seorang dari
mereka adalah Zein, adikku, ia tergeletak di tanah dengan darah bercucuran. Aku
tak tahan. Aku berlari ke tempatnya, tapi aku tak bisa menyentuhnya sama
sekali. Kata-kata kakek itu kembali terulang, “Percuma anakku.”
Saat hendak
kutanya, mengapa, ia sudah berjalan menjauh…
Aku kini berharap
dapat melihat Farah, adikku yang palin kecil, anak SD kelas tiga yang sering
aku rindukan, yah, dengan kesibukan kedua orang tuaku, siapa yang menjaganya?
Membimbingnya, kedua adikku yang lain tak akan mau. Mengingat kejadian yang aku
lihat tadi, membuat hatiku kian terirs sakit.
Aku mengikuti
kakek itu dari belakang, sepertinya ia akan kembali ke masjid, kulihat ia
berjalan kembali, aku mengikutinya saja dari belakang, perasaanku diliputi rasa
bersalah yang luar biasa menyiksa, seharusnya aku tak pergi dari rumah, jika
orang tuaku sibuk, setidaknya ada aku yang bisa menjadi penuntun bagi
adik-adikku. Penyesalan begitu aku rasakan kini.
Saat kukira kami
akan kembali ke masjid tempat pertemuanku dengan sang kakek, pikiranku salah,
ia mampir di sebuah rumah tua di samping masjid, walau terlihat sangat tua,
tapi rumah itu sangat bersih, terawat. Pintunya terbuka, dari dalam aku dengar
sebuah suara,
“Ya Allah, aku
ingin punya keluarga yang baik, aku ingin mama, papa, kakak-kakakku kumpul
kembali di rumah, makan bersama, nonton bersama. Aku ingin btidur bareng kak
Quin, main perang-perangan sama kak Zein, dan belajar dengan kak Zian. Aku rindu
mereka semua ya Allah.” rasa penasaran memenuhi kepalaku, ku langkahkan kaki
untuk mendekat, alangkah terkejutnya aku melihat Farah berada di ruangan itu,
dangan balutan mukenahnya, ia berdoa, tangannya tengadah, begitu ingin aku
memeluknya.
“Aku sayang
mereka semua ya Allah, papa, mama, kak Zian, kak Quin, kak Zein, tapi apa
mereka sayang juga sama aku, mereka selalu tidak ada di rumah, kak Zian tak
pernah pulang, kak Quin selalu marah-marah padaku, kak Zein selalu mengejekku,
apa mereka juga sayang padaku? Tapi aku tidak marah ya Allah, aku tetap sayang
pada mereka, aku ingin mereka kumpul lagi di rumah, kabulkan doaku ya Allah.
Amin.” Betapa aku ingin memeluk tubuh kecilnya. Ah, ia tampak semakin kecil.
Dan rumah siapa yang kau tempati ini wahai adikku?
Kakek mengajakku
kembali ke masjid. Saat itu malam kian larut. Diajaknya aku shalat bersama.
Setelah itu ia berbalik menaapku. Aku baru sadar dari tadi bersamanya, tapi
baru kali ini aku melihat wajah kakek tua didepanku, wajahnya memancarkan
cahaya, begitu teduh, tenang.
“Anakku,
kejadian yang kau lihat, belum terjadi, tapi akan terjadi jika kau tak berbuat
sesuatu, keluargamu membutuhkanmu, pulanglah, dan selamatkan yang bisa kau
selamatkan sebesamu. Dan juga aku menitipkan mesjid tua ini padamu, tolong kau
rawat, beserta rumahku yang ada di sampingnya, yang kita lihat tadi, jaga
beserta isinya. Itu saja anakku, jangan sampai kau menyesal di kemudian hari.”
Setelah
mengucapkan kata-kata itu, kakek itu menghilang dari hadapanku, begitu
tiba-tiba, lalu…
Ku kucek mataku
perlahan, ternyata hanya mimpi, perasaan takut makin merasuki hatiku. Ada apa
gerangan? Jika itu hanya mimpi, mengapa serasa begitu nyata. Aku harus pulang.
Sekarang juga. Aku tak mau menyesal.
Satu bulan
berlalu, kini aku fokuskan membimbing adik-adikku, perlahan-lahan kedua orang
tuaku sudah mulai berubah, lebih memperhatikan adik-adikku, walau terhadapku
mereka masih acuh. Aku dapat mengerti, butuh waktu untuk menerimaku kembali
setelah menghilang dari rumah sekian lama.
Kejadian-kejadian
dalam mimpiku masih sering terbayang di pelupuk mataku, aku ceritakan pula pada
ketiga adikku, mereka kaget tentu saja. Terutama Quin dan Zein. Quin memang
berencana pergi dengan malam, setelah
kepulanganku ke rumah, tapi tak enak padaku, dan saat itu aku memang
melarangnya. Ia juga menceritakan malam itu juga pacarnya minta putus karena
ketidak hadirannya itu. Sedangkan Zein, dua hari sebelumnya sudah dibujuk
temannya ikut perkelahian antar kelompok temannya, dan musuh bebuyutan mereka,
kepulanaganku pagi itu membuatnya takut untuk pergi.
“Ka Zean, aku
mau ke rumah ka Fath yah,” Farah dengan riangnya memeluk leherku.
“Ka Fath? Sejak
kapan de Farah punya kakak lain?”
“Sudah lama,
sebelum kakak pulang, kak Fath suka ngajarin aku ngaji, shalat juga, orangnya
baik bangat, cantik pula.”
“Cantikan mana
sama aku?” Quin ikut nimbrun percakapan kami, kebetulan hari minggu, jadi semua
pada kumpul di rumah.
“Hmm…tapi kak
Quin jangan marah yah,”
“Iya.”
“Cantikan kak
Fath, orangya pake jilbab, putih lagi, kak Quinkan hitam, hehehe…” ledek Farah.
Ku tatap Quin menunggu reaksinya. Ia diam. Tak seperti biasanya, saat di ledek
ia akan membalas, tapi kali ini ia hanya diam. Tampak seperti orang yang
sedanag berfikir.
“De, aku ikut ke
rumahnya kak Fathmu yah, aku ingin belajar pake jilbab, biar putih juga kayak
kak Fathmu itu.” Suasana hening sesaat terpecah oleh suara Quin.
“Oke, panggil
kak Zein juga, sekalian kita ke masjid, buat bersih-bersih!” Ucapku.
Yah, aku tak
lupa janjiku pada kakek dalam mimpiku, aku tak pernah tahu ia siapa, hanya saja
berkat petuahnya juga aku bisa kembali menjadi orang yang lebih berguna,
terutama bagi keluargaku.
Bukankah rumah itu
yang ada dalam mimpiku, rumah yang di tempati Farah saat itu.
“Assalamualaikum.”
Ucap Farah.
Aku, dan
adik-adikku memutuskan untuk mampir sebelum ke masjid, karena ternyata rumahnya
sangat dekat.
“Waalikumsalam,”
Suara dari dalam rumah terdengar, diiringi pintu yang juga ikut terbuka. Dengan
cepat Farah menghambur memeluk wanita yang baru keluar dari rumah tersebut.
Fatimah. Ya, tak
salah lagi, Fatimahlah yang dipeluk Farah, teman sekampusku yang membuatku
sulit tidur dulu. Hatiku tiba-tiba berdebar tak karuan. Inikah takdir.
Kami
dipersilahkan masuk, sepertinya ia belum menyadari kalau aku mengenalnya. Saat
ia kembali masuk setelah mempersilahkan kami duduk, aku kembali terkejut, di
salah satu dindin, terpajan foto seseorang yang tak lain adalah kakek yang ada
dalam mimpiku dulu. Fatimah, ada hubungan apa antara kau dan kakek tersebut?
Pertanyaanku
terjawab setelah ia kembali dengan napan berisi beberapa gelas air minum untuk
kami. Laki-laki tua itu adalah pamannya, satu-satunya keluarga yang ia punyai, orang
tuanya sudah tak ada lagi. Lalu mengalirlah cerita dari bibirnya. Pamannya itu
sudah tak ada kini, ia telah wafat, dan hari wafatnya itu bertepatan dengan
hari saat aku bermimpi dulu. Lalu dari bibirku mengalir pula cerita tentang
mimpiku. Semua. Sampai pesan pamannya yang menitipkanku masjid dan rumahnya
untuk dijaga beserta isinya. Tiba-tiba mukanya bersemu merah, aku pikir ada
yang salah dari ucapanku.
“Oh, jadi kaulah
laki-laki yang dipilih paman untukku,” Ucapnya dengan wajah menunduk, “Sebelum
paman meninggal, ia berpesan padaku, akan ada laki-laki yang ia amanahkan untuk
menjaga masjid di samping rumah ini, juga menjaga rumah ini beserta isinya,
termasuk….aku.”
Aku serasa melayang mendengarkan kata-katanya, doaku terkabul olehNya.
“Wah, kak Fath
bakalan jadi kakak benerennya Farah dong.” Celetuk Farah. Kami semua tertawa.
“Tentu saja, dan ngajarin aku pake jilbab, biar ngga diledekin farah lagi.”
Tambah Quin begitu antusias. Dalam hati aku tak henti mengucap rasa syukur padaNya, Dia telah mengembalikan
keluargaku, dan memberiku Bidadari serta rumah peribadatan yang menjadi
maharnya. Hatiku semakin basah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)