Jumat, 27 Januari 2012

PENJAGA MESJID TERAKHIR


Kegundahan, keresahan hatiku tak pernah bisa aku sembunyikan. Tiap hari saat tak ada kegiatan, yang terbayang hanya wajah orang-orang yang aku kasihi...dulunya.
Perjalanan kali ini merupakan kali pertama pertamaku unntuk pulang ke rumah. Walau dengan hati yang begitu berat. Angin bertiup kencang ikut menyambut kepulanganku. Tak ayal membuat rasa takutku bangkit begitu saja, Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Berpadu  angin membuat suasana kian mencekam. Dengan langkah kaki tertatih-tatih ku masuki bangunan tua tak berpenghuni. Seram, pikirku. Debu bertebaran di mana-mana. Di kedua sisi bangunan terdapat rerumputan yang sudah sangat tinggi. Bangunan yang sama sekali tak terurus. Mataku kini terasa berat, kulihat di luar hujan maki lebat. Ku letakkan bawaankU. Aku duduk, hanya menghitung menit saja, mataku sudah terpejam.
“Nak, bangunlah, sudah malam.” Sebuah suara serak membangunkanku. Ku pulihkan kesadaranku, memandang bingung kearah kakek tua yang membelakangiku itu. Ia sudah larut dalam gerakan-gerakan yang tak terlalu aku kenal. Beberapa lama aku hanya terpaku memandang laki-laki tua di depanku, sampai saat ia menoleh ke kanan dan ke kiri secara berturut-turut, lalu berbicara dengan suara berbisik, lamunanku seketika buyar.
“Nak, mau shalat berjamaah?” Tanyanya tampa menoleh sedikitpun.
Entah dorongan dari mana, aku tiba-tiba saja mengiyakan. Disuruhnya aku mengambil air wudhu di samping bangunan tua tersebut. Aku pergi saja, menurut bagai robot. Entah sadar atau tidak, aku lakukan yang kakek itu perintahkan, aku sudah lupa caranya, walau aku ingat dulu pernah melakukan hal tersebut. Tapi seperti orang yang sudah hapal betul cara bersuci, dengan lancar juga aku berwudhu.
Setelah itu aku berdiri di samping sang kakek tua, gerakan demi gerakan aku lakukan mengikuti laki-laki yang ada di depanku. Hingga akhir. Doa terlantun dari bibirnya. Suara isak tangis juga dengan jelas aku dengar darinya. Sangat menusuk. Aku dibuatnya bertanya-tanya, tapi tak berani mengganggunya. Hanya beberapa dari doanya yang aku ingat.
“Ya Allah, Sang pengusa alam, hamba begitu ingin terus berada di rumahMu ini, beibadah di dalamnya, mengabdi padaMU, menjadikannya tempat paling indah di dunia, tapi hamba lebih merinduMu, hamba begitu ingin berlabuh di pangkuanMu,….” Aku mendengarnya kian meratapi diri, makin tak jelas apa yang ia katakana. Tangisnya kian keras. Aku hanya duduk di belakangnya dengan kebingungan tak terbendung.
Selesai ia menyeka sisa-sisa air matanya, diajaknya aku berjalan-jalan di pekaranagn masjid. Bersih, tak seperti saat pertama aku datang tadi. Begitu tertata rapi. Aku sendiri pangling di buatnya. Kami berjalan menjauhi masjid.
Pemandangan pertama yang aku lihat adalah sekumpulan orang yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Bukankah itu ayah dan ibu, mereka sedang berdagang. Iya, ayah dan ibuku adalah dua orang pedagang ulet di kota tempatku tinggal, tiap tahunnya ganti mobil, rumah begitu besar bagai istana, tapi aku dan ketiga saudaraku tak begitu betah di rumah itu. Tak ada kasih sayang di dalamnya. Yang ada kami dikekang bagaikan prajurit. Amarah ayah yang selalu meledak saat nilai kami tidak sesua apa yang ia harapkan, lalu ibu yang selalu memerintah, tak pernah memperdulikan keinginan kami. Hingga dewasapun aku selalu diatur. Memutuskan untuk pergi jauh dari rumah adalah tindakan pertama yang aku ambil tanpa campur tangan dari mereka. Dan kebebasan aku rasakan karenanya. Entah dengan adik-adikku.
Kami melanjutkan perjalanan, kali ini yang aku lihat adalah kumpulan anak muda yang entah melakukan apa, samar-samar terlihat olehku, berpasang-pasang muda mudi bermesraan, walau tak tahu banyak tentang aturan agama, aku tak suka pergaulan bebas, terutama dengan wanita. Kadang aku berharap mendapatkan wanita pendamping hidup yang bisa membimbingku, tapi keinginan itu berganti dengan persaan tak yakin, aku yang tak tahu agama mana mungkin mendapatkan wanita seperti itu. Itu hanya mimpi belaka. Walau tak kupungkiri wajah Fatimah, wanita berjilbab sekelasku, teman kuliah, sering mengganggu malam-malamku, dengan perkataannya yang lembut, pakaiannya yang tertutup, ah, terlalu jauh jika berharap memilikinya.
Dari sudut ruangan kulihat sepasang muda mudi lain, dan wajah salah satu dari mereka begitu aku kenal, oh Tuhan, itu adalah adikku sendiri, Quin. Alangkah tak relanya hatiku melihat apa yang ia lakukan. Laki-laki yang bersamanya adalah musuhku di SMA dulu, inikah bentuk pembalasan darinya saat aku kalahkan di kelas dulu? Tapi kenapa adikku yang jadi korban, aku tak tahan lagi, dengan nafas memburu aku ingin kuhajar habis laki-laki bejat itu, langkahku tertahan kakek tua yang bersamaku tahu apa yang akan aku lakukan, ia menahanku, “Percuma, kau tak akan bisa menjangkaunya.” Ucapnya tegas, dan memang ia, ada apa ini? Pertanyaan memenuhi kepalaku.
Perjalananku berlanjut, aku rasakan air mata jatuh membasahi pipiku, ah, ini salah ibu, ayah yang tak memperdulikan kami. Aku kaget, ada banyak darah didepanku, bau anyir darah begitu terasa, menusuk hidung. Kulihat perkelahian hebat terjadi, begitu tak terkendali, benda-benda tajam tergenggam di tanagan masing-masing, sungguh mengerikan. Saat hendak berbalik dari tempat itu, kulihat salah seorang dari mereka adalah Zein, adikku, ia tergeletak di tanah dengan darah bercucuran. Aku tak tahan. Aku berlari ke tempatnya, tapi aku tak bisa menyentuhnya sama sekali. Kata-kata kakek itu kembali terulang, “Percuma anakku.”
Saat hendak kutanya, mengapa, ia sudah berjalan menjauh…
Aku kini berharap dapat melihat Farah, adikku yang palin kecil, anak SD kelas tiga yang sering aku rindukan, yah, dengan kesibukan kedua orang tuaku, siapa yang menjaganya? Membimbingnya, kedua adikku yang lain tak akan mau. Mengingat kejadian yang aku lihat tadi, membuat hatiku kian terirs sakit.
Aku mengikuti kakek itu dari belakang, sepertinya ia akan kembali ke masjid, kulihat ia berjalan kembali, aku mengikutinya saja dari belakang, perasaanku diliputi rasa bersalah yang luar biasa menyiksa, seharusnya aku tak pergi dari rumah, jika orang tuaku sibuk, setidaknya ada aku yang bisa menjadi penuntun bagi adik-adikku. Penyesalan begitu aku rasakan kini.
Saat kukira kami akan kembali ke masjid tempat pertemuanku dengan sang kakek, pikiranku salah, ia mampir di sebuah rumah tua di samping masjid, walau terlihat sangat tua, tapi rumah itu sangat bersih, terawat. Pintunya terbuka, dari dalam aku dengar sebuah suara,
“Ya Allah, aku ingin punya keluarga yang baik, aku ingin mama, papa, kakak-kakakku kumpul kembali di rumah, makan bersama, nonton bersama. Aku ingin btidur bareng kak Quin, main perang-perangan sama kak Zein, dan belajar dengan kak Zian. Aku rindu mereka semua ya Allah.” rasa penasaran memenuhi kepalaku, ku langkahkan kaki untuk mendekat, alangkah terkejutnya aku melihat Farah berada di ruangan itu, dangan balutan mukenahnya, ia berdoa, tangannya tengadah, begitu ingin aku memeluknya.
“Aku sayang mereka semua ya Allah, papa, mama, kak Zian, kak Quin, kak Zein, tapi apa mereka sayang juga sama aku, mereka selalu tidak ada di rumah, kak Zian tak pernah pulang, kak Quin selalu marah-marah padaku, kak Zein selalu mengejekku, apa mereka juga sayang padaku? Tapi aku tidak marah ya Allah, aku tetap sayang pada mereka, aku ingin mereka kumpul lagi di rumah, kabulkan doaku ya Allah. Amin.” Betapa aku ingin memeluk tubuh kecilnya. Ah, ia tampak semakin kecil. Dan rumah siapa yang kau tempati ini wahai adikku?
Kakek mengajakku kembali ke masjid. Saat itu malam kian larut. Diajaknya aku shalat bersama. Setelah itu ia berbalik menaapku. Aku baru sadar dari tadi bersamanya, tapi baru kali ini aku melihat wajah kakek tua didepanku, wajahnya memancarkan cahaya, begitu teduh, tenang.
“Anakku, kejadian yang kau lihat, belum terjadi, tapi akan terjadi jika kau tak berbuat sesuatu, keluargamu membutuhkanmu, pulanglah, dan selamatkan yang bisa kau selamatkan sebesamu. Dan juga aku menitipkan mesjid tua ini padamu, tolong kau rawat, beserta rumahku yang ada di sampingnya, yang kita lihat tadi, jaga beserta isinya. Itu saja anakku, jangan sampai kau menyesal di kemudian hari.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, kakek itu menghilang dari hadapanku, begitu tiba-tiba, lalu…
Ku kucek mataku perlahan, ternyata hanya mimpi, perasaan takut makin merasuki hatiku. Ada apa gerangan? Jika itu hanya mimpi, mengapa serasa begitu nyata. Aku harus pulang. Sekarang juga. Aku tak mau menyesal.
Satu bulan berlalu, kini aku fokuskan membimbing adik-adikku, perlahan-lahan kedua orang tuaku sudah mulai berubah, lebih memperhatikan adik-adikku, walau terhadapku mereka masih acuh. Aku dapat mengerti, butuh waktu untuk menerimaku kembali setelah menghilang dari rumah sekian lama.
Kejadian-kejadian dalam mimpiku masih sering terbayang di pelupuk mataku, aku ceritakan pula pada ketiga adikku, mereka kaget tentu saja. Terutama Quin dan Zein. Quin memang berencana pergi dengan  malam, setelah kepulanganku ke rumah, tapi tak enak padaku, dan saat itu aku memang melarangnya. Ia juga menceritakan malam itu juga pacarnya minta putus karena ketidak hadirannya itu. Sedangkan Zein, dua hari sebelumnya sudah dibujuk temannya ikut perkelahian antar kelompok temannya, dan musuh bebuyutan mereka, kepulanaganku pagi itu membuatnya takut untuk pergi.
“Ka Zean, aku mau ke rumah ka Fath yah,” Farah dengan riangnya memeluk leherku.
“Ka Fath? Sejak kapan de Farah punya kakak lain?”
“Sudah lama, sebelum kakak pulang, kak Fath suka ngajarin aku ngaji, shalat juga, orangnya baik bangat, cantik pula.”
“Cantikan mana sama aku?” Quin ikut nimbrun percakapan kami, kebetulan hari minggu, jadi semua pada kumpul di rumah.
“Hmm…tapi kak Quin jangan marah yah,”
“Iya.”
“Cantikan kak Fath, orangya pake jilbab, putih lagi, kak Quinkan hitam, hehehe…” ledek Farah. Ku tatap Quin menunggu reaksinya. Ia diam. Tak seperti biasanya, saat di ledek ia akan membalas, tapi kali ini ia hanya diam. Tampak seperti orang yang sedanag berfikir.
“De, aku ikut ke rumahnya kak Fathmu yah, aku ingin belajar pake jilbab, biar putih juga kayak kak Fathmu itu.” Suasana hening sesaat terpecah oleh suara Quin.
“Oke, panggil kak Zein juga, sekalian kita ke masjid, buat bersih-bersih!” Ucapku.  
Yah, aku tak lupa janjiku pada kakek dalam mimpiku, aku tak pernah tahu ia siapa, hanya saja berkat petuahnya juga aku bisa kembali menjadi orang yang lebih berguna, terutama bagi keluargaku.
Bukankah rumah itu yang ada dalam mimpiku, rumah yang di tempati Farah saat itu.
“Assalamualaikum.” Ucap Farah.
Aku, dan adik-adikku memutuskan untuk mampir sebelum ke masjid, karena ternyata rumahnya sangat dekat.
“Waalikumsalam,” Suara dari dalam rumah terdengar, diiringi pintu yang juga ikut terbuka. Dengan cepat Farah menghambur memeluk wanita yang baru keluar dari rumah tersebut.
Fatimah. Ya, tak salah lagi, Fatimahlah yang dipeluk Farah, teman sekampusku yang membuatku sulit tidur dulu. Hatiku tiba-tiba berdebar tak karuan. Inikah takdir.
Kami dipersilahkan masuk, sepertinya ia belum menyadari kalau aku mengenalnya. Saat ia kembali masuk setelah mempersilahkan kami duduk, aku kembali terkejut, di salah satu dindin, terpajan foto seseorang yang tak lain adalah kakek yang ada dalam mimpiku dulu. Fatimah, ada hubungan apa antara kau dan kakek tersebut?
Pertanyaanku terjawab setelah ia kembali dengan napan berisi beberapa gelas air minum untuk kami. Laki-laki tua itu adalah pamannya, satu-satunya keluarga yang ia punyai, orang tuanya sudah tak ada lagi. Lalu mengalirlah cerita dari bibirnya. Pamannya itu sudah tak ada kini, ia telah wafat, dan hari wafatnya itu bertepatan dengan hari saat aku bermimpi dulu. Lalu dari bibirku mengalir pula cerita tentang mimpiku. Semua. Sampai pesan pamannya yang menitipkanku masjid dan rumahnya untuk dijaga beserta isinya. Tiba-tiba mukanya bersemu merah, aku pikir ada yang salah dari ucapanku.
“Oh, jadi kaulah laki-laki yang dipilih paman untukku,” Ucapnya dengan wajah menunduk, “Sebelum paman meninggal, ia berpesan padaku, akan ada laki-laki yang ia amanahkan untuk menjaga masjid di samping rumah ini, juga menjaga rumah ini beserta isinya, termasuk….aku.” Aku serasa melayang mendengarkan kata-katanya, doaku terkabul olehNya.
“Wah, kak Fath bakalan jadi kakak benerennya Farah dong.” Celetuk Farah. Kami semua tertawa. “Tentu saja, dan ngajarin aku pake jilbab, biar ngga diledekin farah lagi.” Tambah Quin begitu antusias. Dalam hati aku tak henti  mengucap rasa syukur padaNya, Dia telah mengembalikan keluargaku, dan memberiku Bidadari serta rumah peribadatan yang menjadi maharnya. Hatiku semakin basah…

                                                                                                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)