Jumat, 27 Januari 2012

SLEEPING BEAUTY

“Maukah engkau jadi pelita hatiku?”
Suara itu terdengar indah, mendayu-dayu merdu di telinga Nisa, peasaannya melambung . hatinya berbunga-bunga, matanya bersinar bahagia.
“Pangeran kenapa memilih aku?” tanyanya tak percaya apa yang baru saja ia dengar.
“Engkau bidadariku, satu-satunya gadis yang mampu mencuri hatiku. Jadi maukah engkau melengkapi separuh hatiku yang telah engkau curi?”
Pangeran mendekatinya, mengulurkan tangan padanya. Nisa memeperjelas wajah pangerannya sebelum menjawab. Ternyata Fahmi yang ada dihadapannya, laki-laki yang selalu menyita perhatiannya lebih dari yang lain.
Bibirnya bergetar ingin berucap, lalu kemudian...
“Nis, bangun, sudah pagi, sudah jam delapan, ayo bangun!” suara teriakan Lia, kakaknya mengagetkannya, “aduh Nisa, bangun, bukannya kamu masuk setengah sembilan?”
Dengan berat iapun bangun, meraih jam weker yang ada di sampingny, 08.15...
“HAH...!!!!! aduh hari ini aku ada final, mampus sudah terlambat.” Tanpa banyak kata-kata lagi ia berlari ke kamar mandi.
15 menit yang lalu ia masih berteriak-terik di rumah, tidak sempat lagi. Semalam ia membaca novel hingga larut. Jadinya sehabis shalat subuh ia memilih tidur lagi. Akibatnya tentu saja apa yang terjadi pagi ini.
Ia kini duduk gelisah di atas becak, “Cepat yah pak.”
“Padahal belum aku jawab iya, malah sudah dibangunin.”
“Hah...”
“Apa neng?” tanya tukan becak yang duduk di belakangnya.
“Oh, tidak apa-ap pak.”
Sampai di depan kampus tanpa pikir panjang lagi dibayarnya sang tukang becak, “Neng kembaliannya?”
“Buat bapak saja.” Jawabnya berlalu.
(Loh, pada kemana nih penghuni kelas?) Gumamnya dalam hati. Bukannya hari ini final ( Jangan-jangan...) Hp, ah ia lupa saking buru-burunya tadi pagi. Ia benar-benar kesal kini. Hari yang sial, ia berjalan menyusuri lorong kampus.
“Nis...Nis..” ia dengar ada yang memanggilnya, namun rasa malas kini menjalarinya.
“Nis tunggu dulu.” Orang yang memanggilnya kini berjalan sejajar dengannya.
“Hei, ada apa, pagi-pagi gini sudah kusut saja tuh muka.”
Nisa berbalik, “Oh...pangeran, eh kak Fahmi.” Dadanya tiba-tiba berdentum tak karuan.
“Ada kuliah?”
“Hmmm, seingatku sih hari ini ada final, tapi tadi pas nyampe di kelas malah tidak ada siapapun.”
“Oh, jadi itu sebabnya dari tadi kakak perhatikan kamu ngga semangat  bangat.”
dalam hati Nisa bersorak, wah...dia memperhatikanku, aku saja tadi sempat melewatkan pesonamu duhai pangeran.
“Loh, kok malah senyum-senyum?”
“Hehe, ngga apa-apa kok kak.”
“Oh iya, tadi Fatir bilang ngga ada kuliah hari ini malah katanya kalian satu kelas ngadain acara.”
“Astagfirullah, iya, pantasan aja di kelas ngga ada siapa-siapa”
“Nis, Nis, ternyata yang dibilang Fatir tentang kamu itu benar yah, pelupa bangat.”
Nisa cuma diam, ngga menyangka Fahmi tahu akan dirinya (Tapi tunggu Fatir cerita yang macam-macam tentangnya? Dasar mulut ember. Di kelas saja sok cool, taunya...ikh..). Fatir memang teman sekelasnya, kebetulan tinggal ngekos dengan Fahmi, malah ada hubungan keluarga walau tidak terlalu dekat.
“Nah terus sekarang kamu mau ke mana?”
“Kayaknya pulang saja deh kak, (dan lanjutin mimpiku tadi pagi yang sempat tertunda).”
“Oh iya, ini ada formulir buat seminar...” Fahmi menjelaskan maksudnya, Nisa dengan mata indahnya terus memandang sang pangeran.
“Jadi gimana mau ikut?”
“Iya, bayarannya berapa?”
“Dua puluh ribu.”
Tak berpikir dua kali juga Nisa langsung membuka dompet birunya. Dilihatnya isi dompet, sepertinya ada yang salah, seingatnya kemarin masih ada uang lima puluh ribu di dalamnya (gawat, kayaknya tadi salah ngasih ke tukang becak, argh...gila yang benar saja! Malu lagI!!).
“Ada apa Nis?”
“Kak, kayaknya bayarnya besok saja deh, aku ngga bawa uang ternyata.”
“Hahaha, Nis,Nis seminarnya juga masih bulan depan. Ya sudah kakak ada urusan dulu, hati-hati pulangnya, jangan sampai lupa rumahnya di mana yah.” Fahmi pergi, kini Nisa yang tinggal dengan wajah memerah (pagi yang benar-benar sial) pikirnya).
Terik panas mulai terasa menyengat wajah, jilbabnya yang panjang tertiup angin siang. Terpaksa ia memilih jalan kaki. Uang tuk jatah satu minggu ludes gara-gara keteledorannya sendiri.
“Assalamualaikum.”
“waalaikumsalam.” tak ada sahutan lagi setelahnya, gadis yang setahun lalu mulai tinggal ngekos dengan kakaknya itu langsung menuju dapur. Ia sudah meneguk dua gelas air minum. Masih belum terpuaskan juga dahaganya.
“Pelan-pelan dong Nis.” Lia menegurnya.
“Ah, ini semua salah kakak, siapa suruh bangunin aku tadi pagi.”
“Lah memangnya kenapa, kamu seharusnya berterima kasih.”
Lalu mengalirlah kisah Nisa sejak berangkat hingga pulang.
“Hahaha, aduh adikku sayang, adikku malang.” Lia tak hentinya tertawa dan meledek Nisa. (Tau gini aku ngga bakalan cerita!). Nisa berlari ke kamar ngga tahan juga dengan ejekan kakaknya.
Sepuluh menit kemudian ia sudah terlelap lagi.
“Iya aku mau.”
“Ah, itu sudah tidak penting lagi kamu terlambat aku sudah menemukan putri tambatan hatiku yang sesungguhnya.”
Wath??
“Secepat itukah pangeran?”
“Apa kau bilang?’ ‘secepat itu’ aku sudah menunggu ratusan tahun. Saking lamanya aku minum ramuan awet muda biar bisa menunggu jawabanmu, tapi apa kau terlalu lama berfikir. Maka dari itu aku putuskan kau akan bersama adikku sang pangeran katak sebagai penggantiku.”
“HAH?... tapi pangeran...”
“Tidak ada tapi-tapian, kau harus terima!”
Nisa memandang seekor katak didepannya (uhk...menjijikkan). tak ia duga katak dengan lendir hijau di seluruh tubuhnya dan ukurang yang lain dari bisanya itu melompat ke arahnya seakan memeluknya. Dan...
“Argh.........”
“Nis, shalat, udah jam dua siang nikh.”
(AH, MIMPI LAGI, seram amat)
“Nis...”
“Iya aku udah bangun sekarang.”
***
Namaku Hairunnisa, orang-orang memanggilku dengan sebutan Nisa. Kini aku telah menikah, bukan dengan sang pangeran dalam mimpiku. Dia sekelasku dulu di bangku kuliah.
Fatir, dialah kini yang jadi pangeranku yang sesungguhnya, laki-laki yang aku anggap sok cool, sok misterius. Tapi ternyata menyimpan sejuta kisah yang tak mungki aku lewatkan. Seminngu yang lalu aku menikah dengannya. Sangat sederhana tapi aku bahagia. Beberapa hari setelahnya aku tahu suamiku sangat tak suka tidur pagi, namun  demikian kebiasan burukku itu tak ia tegur, ia selalu mengajakku menyibukkan diri di pagi hari.
            Aku sangat tersanjung saat ia bilang,”Dinda saat tidur cantik bangat, kayak putri tidur deh.”
(gombalan dari orang pendiam itu aneh).
”Kanda hanya mau mandangin aku saat tidur, karena hanya kali itu aku terlihat cantik?”
Tanyaku ingin tahu isi hatnya.
“Apa perlu aku bangunkan dengan mengkuti dongeng agar aku tahu ia cantik atau tidak?” tanyanya dengan senyum menggoda.
Aku tak menjawab, pipiku yang tiba-tiba bersemu merah (aku yakin) sudah menjawab pertanyaanku.
Malam itu ia membacakan dongeng untukku, aku tahu ini aneh, tapi aku menikmatinya.
Aku terlelap dalam buaian mimpi...
“Maukah kau jadi pengobat lukaku?”
Katak yang sungguh ajaib, ia berbicara bahasa manusia denganku dengan lancarnya. Aku hanya terpana.
”Putri, apa kau bersedia?”
Aku hanya bisa mengangguk.
“Dengan tulus hati putri?”
Aku kembali mkengagguk.
“Jawablah dengan suara indahmu putri.”
Suaraku tertahan, sangat sulit menjawab pertanyaan seekor hewan yang terus bicara, sungguh membuat lidahkyu kelu.
“Putri...”
“I...iya..aku bersedia pangeran, aku dengan tulus hati bersedia manerimamu, menjadikan diriku obat untuk hidupmu.”
langit tiba-tiba hitam, kilat menyambar-nyambar, guntur ikut meramaikan suasana. Kulihat pangeran katakku tiba-tiba terselubungi kabut keemasan. Ia seaakan tenggalam olehnya.
Lima menit berlalu...
Aku mulai panik, kemana ia??
Aku terus memandang kabut itu. Hingga kabut itu menghilang, aku melihat seseororang berbalik dari dalamnya.
“Dinda ada apa?”
Kurasakan goncangan lembut di tubuhku. Mataku terbuaka, tepat dihadapanku wajah Fatir terlihat khawatir.
“Tidak apa-apa.”
Kusentuh wajah bercahaya itu, inilah ia pangeran katakku yang telah berubah wujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)