“Sejak kapan kamu selingkuh hah?!?”
“Akukan sudah bilang tidak selingkuh, apa-apan kamu, menuduh
sembarangan.” Tak ada nada marah yang membara.
“He... kamu pikir aku bodoh?"
“He... kamu pikir aku bodoh?"
Emang iya.
“Kenapa diam?!?”
“Apa gunanya menyangkal, toh kamu tidak
akan percaya.”
“Dasar bodoh!!”
Kamu
yang bodoh!
***
“Bagaiman tadi?”
“Apanya?”
“Dia sangat marah yah?”
Hembusan nafas berat menjadi jawabannya tanya.
“Maafkan aku tak bisa menemanimu.”
“Tak apa, lagi pula ini salahku yang tak tahan berlama-lama
dengannya, juga tak bisa hidup tampamu. Dengannya aku akan kering, makanya aku
butuh kau juga biar aku mendapat kesejukan.”
“Kau menyesala?”
“Tidak, dengan begini tak banyak jiwa yang terluka.”
“Bagai mana dengannya?”
“Dia akan mengerti suatu saat nanti.”
Hujan semakin deras menemani bumi.
***
Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.
“Apa yang kau lakukan? Aku hanya pergi sebentar dan kau...”
matanya terbelalak, menakutkan.
“A...aku...maaf, aku tak mungkin hidup tanpa dia. Ta..tapi
aku juga membutuhkanmu.”
“APA?!!?”
“Maafkan aku.”
“Tuk kali ini, aku tak akan membiarkanmu lagi. Sedikit pun,
tak akan kuberi waktu kau menemuinya.”
Sebulan berlalu...
Bumi tampak makin kurus dan kering, tak ada lagi senyum ceria
sang mentari. Juga tak ada hujan rintik-rintik membawa pelangi. Matahari tak
pernah berkedip menatap bumi.
Hingga akhirnya bumi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)