Kamis, 30 Maret 2017

(Tak) Sia Sia

Hari ahad yang entah beberapa minggu sebelumnya, kami (bukan cuma aku kamu) kembail bertemu. Sebuah janji harus dituntaskan, ya kan? Awalnya sih tak ada yang mau bergerak alias pada malas. Terlebih saya yang super ngantuk setelah kegiatan persami di sekolah. Ya walau hanya kebahagian masak masaknya. Terimakasih untuk Bu Ainun yang turut membantu.

Maka, waktu bertemu yang tadinya dijadwalkan habis Zuhur, molor sampai sudah ashar. Dan tempat ketemunya adalah halte Pettarani samping Telkom. Yang pertama datang adalah si ibu tiga serangkai, Fevi, Anis, dan Ainun. Ketiganya memang selalu bisa diandalkan soal urusan memulai. Lalu datanglah Bapak Faisal. Saya yang berikutnya. Tak berapa lama datang pula safar. Maka jadilah kita nongkrong di halte sambil menunggu yang lain. Selanjutnya Muin juga hadir.
Sembari menunggu yang lain (berharap masih ada yang datang), berdiskusi lah kita yang sudah hadir. Tentang apa yang akan di bawa ke rumah salah seorang guru yang pernah mengajar saat duduk d bangku SMP (kalau saya sampai SMA).
Maka diputuskanlah bahwa, dua orang pergi membeli buah sebagai sedikit buah tangan, Muin dan Fevi lah yang diutus. Oh ya, berhubung tulisan ini baru dibuat setelah sekian hari bahkan bulan, rasa rasanya saya pun ikut lupa kronologi nya.

Sebenarnya tujuan berkumpul di sore yang mendung adalah menjenguk salah seorang guru kita yang sudah tak bertemu sekitar 7 sampai sepuluh tahun silam. Bayangkan alangkah rindunya hati pada sesosok yang disegani dan dihormati. Demikianlah rencana dijalankan. Alhasil hari itu kami tak bertemu belia, Bu Fia. Sebab saat itu Bu Fia sedang ke Rumah keluarganya. Kami awalnya menunggu. Dan saat proses menunggu itulah beberapa kejadian menggelitik terjadi.

Pertama, akhirnya kami memutuskan shalat magrib di dekat rumah Bu Fia. Setelah selesai shalat kembalilah kami ke  kediaman beliau, nihil. Tapi menurut tetangganya yang juga keluarganya, ibu sedang dalam perjalanan pulang. Abba juga sudah bergabung saat itu. Kami memutuskan menunggu, dan ...karena rata rata dari kami sedang lapar, kita bersepakat untuk mencari tempat makan.

Berjalanlah kami, dan berhenti pada sebuah warung makan di pinggir jalan. Saat itu, dikarenakan pengaruh lapar, masuklah kami empat orang perempuan. Saat hendak duduk, ada beberapa hal yang sangat ganjil dan agak horor dari warung makan tersebut. Salah satunya senyum pelayannya yang agak ....anehlah. Selanjutnya beberapa aksesoris warung yang berbeda dari warung kebanyakan. Yang terakhir, kami para gadis sudah duduk manis dan siap memesan, tapi para alumni santriwan malah masih asik duduk di luar warung sembari tersenyum penuh arti.

Degh!!! Perasaan tak enak segera menjalari hati. Saya sendiri dengan alasan memanggil mereka, segera keluar dari warung dan ternyata Fevi ikut dibelakang saya. Saat bertanya kenapa si santriwan (anggap saja demikian) tidak masuk, bisik bisik lah mereka perihal ketakutan jika pemilik warung tersebut bukan orang muslim. Wah....saya sendiri yang sejak awal tak enak hati langsung cabut dari tempat itu. Berjalan meninggalkan lokasi diikuti yang lain, kami seolah tak peduli jika dua kawan kami, Ainun dan Anis masih ada dalam warung.

Setelah berjarak 4 meter dari tempat tersebut, tertawalah kami bersamaan, sembari mencoba menelpon dua teman kami yang masih bersemayam di sana. Beginilah percakapannya (kurang lebih).

Fevi: Halo
Ainun: Kenapa pergi semuaki'?
Fevi: Nun, keluarmaki'. Kayaknya tidak ada label halalnya di situ.
Ainun: Wi.... Bagaimana caranya. Tidak enakka. (Sambil bisik bisik)
Fevi: Ai... Keluarmi.
Ainun: O... Ada akalku.

Jeda beberapa saat lalu.

Ainun: Adami ibu? (Sudmra dibesarkan)
Fevi: Adami (tertawa)
Ainun: Ok, ke situma pade.

Maka begitulah cara Ainun dan Anis keluar dari warung dengan sedikit kebohongan yang mungkin diketahui pemilik warung. Anehnya mereka tak marah kok. Malah senyum aneh kembali dipertontonkan.
Setelah kedua kawan kami keluar, tertawalah kami. Sebenarnya akan lebih lucu lagi jika saat itu saya langsung tulis.
Pesannya adalah, selapar apa pun kita, mohon tetap memperhatikan keadaan warung sebelum masuk. Hehe...

Malam itu kami tak bertemu Bu Fia. Tapi kami tetap senang dengan pengalaman yang menarik dan lucu.

Dilain harilah baru kami bertemu sang guru. Dan semoga bisa mengisahkannya di lain waktu.

Sungguh tak ada yang sia sia, selama kita bisa memetik hikmah. Dan bagi saya pribadi yang masih perlu banyak belajar berfikir positif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)