Foto by: AR Hamid Malewa |
Oleh: Nahlatul Azhar
“Cari
apa, Cantik?” suara Ma Rita
membangunkan tidur siangku.
Lagi.
Padahal aku tengah memimpikan sesuatu yang bagus. Terlahir dengan keadaan
ekonomi yang sangat melimpah. Dalam mimpi kulihat seorang laki-laki dengan
julukan presiden, tak lupa seorang wanita cantik di sampingnya, dan aku yang
ada dalam pelukan wanita itu.
“Singgah,
Pak.” Lagi-lagi suara Ma Rita memekik. Bising dan semakin bising telingaku
karenanya.
Ma
Rita selalu begitu.
“Berapaan
ini?” tanya sesorang. Seorang gadis dengan jilbab warna merah menyala.
“Lima
belas ribu, Dek.”
“Mahal
sekali, sepuluh ribu bagaimana?”
Oh,
lihatlah wajah Ma Rita ada sunggingan senyum manis di sana. Senyum yang dia
sembunyikan jika sampai di rumah tua kami.
Ma
Rita akan menangis semalam suntuk jika sampai di rumha. Ada saja alasan ia
menangis. Karena dagangan yang tidak laku, Pa Andi, suaminya yang tidak
menelepon, ataukah mertuanya yang datang minta uang. Kasihan Ma Rita tak ada
teman disaat-saat sulit. Pun ada aku, namun tak mmbantu kesulitannya sama
sekali.
“Tidak
jadi ah, kemahalan. Mana bahannya tidak bagus lagi!” ucap gadis itu sebelum
pergi.
Ma
Reta terdiam. Dalam hati sumpah-sumpah kasar ia lontarkan.
Ah,
Ma Rita sungguh kasihan.
***
“Hey
Rita, ini aku bawakan makanan kesukaanmu.”
Laki-laki
bertato ular itu mendekati tempat Ma Rita menjual. Seperti biasa dia akan
merayu Ma Rita lagi. Pun dia tahu Ma Rita sudah bersuami bahkan sedang hamil,
aku.
“Aku
sudah bilang, tidak usah ke sini lagi! Apa kata orang-orang nanti, ingat Baso
saya sudah punya suami, bahkan sebentar lagi punya anak!” ucap Ma Rita kasar.
“Halah
... suami apaan yang tega ninggalin istri padahal sedang hamil?”
Baso,
preman yang suka mendatangi kios Ma Rita itu terkenal sangar. Payahnya, dia
malah tunduk sama Ma Rita. Kadang aku heran, apa bagusnya Ma Rita yang sudah
bersuami?
“Sudahlah
Rita, ceraikan saja suami pecundang itu. Aku siap menghidupimu, bahkan bayi
yang ada dalam kandunganmu!” ucap Baso dengan muka serius. Rambut gondrongnya
tertiup angin sesekali, wajah sangar itu sama sekali tak membuat Ma Rita takut.
“Hey
Baso, jaga ucapanmu!” teriak Ma Rita.
Akan
ada kekacauan lagi setelah ini.
Baso,
laki-laki yang jatuh cinta pada Ma Rita dua bulan terakhir. Itu karena Ma Rita
pernah membalut luka Baso tanpa rasa takut suatu hari. Baso yang saat itu habis
berkelahi dengan preman lain sontak dibuat kagum. Laki-laki yang banyak
mengundang keresahan penghuni Pasar Sentral itu jatuh hati pada pertolongan
pertama yang dilakukan Ma Reta. Maka sejak saat itu, ia rutin datang ke tempat
Ma Rita berjualan.
“Rita,
Rita ... aku lebih hebat dari suamimu, apa yang akan kau pertahankan darinya?
Aku bahkan bisa memberitahumu informasi rahasia. Ini penting! Dengar baik-baik,
besok tempat ini akan hancur.”
Ma
Rita tak peduli dengan perkataan Baso. Ma Rita justru sibuk dengan
jilbab-jilbab yang ia jual. Dirapikannya kembali barang dagangannya itu.
“Bawa
semua barang-barangmu saat pulang, jangan sampai meninggalkannya di sini!” nada
suara Baso memelan, sengaja berbisik..
“Sudahlah
Baso, pergi sana!”
“Ah
Rita kau harus percaya padaku kali ini! Satu lagi, aku tidak akan berhenti
mengejarmu. Kamu harus tahu itu!” ucap Baso sebelum bersiap-siap hengkang dari
tempat kami.
“Jangan
lupa makan itu,” katanya lagi sembari menunjuk bungkusan yang dibawanya tadi.
Laki-laki menyeramkan itu pun lantas pergi.
Hah
...
Ada
desahan nafas panjang terdengar olehku. Dari Ma Rita yang terduduk diam.
***
“Jilbabnya,
Bu ...” Ma Rita bergumam dalam tidurnya.
Bahkan
dalam mimpi pun dia sedang berjualan? Beruntunglah aku pernah bermimpi jadi
anak persiden. Pun hanya bunga-bunga tidur. Pukul satu dini hari, akankah mimpi
Ma Rita hanya tentang jualan-jualannya yang kurang laku belakangan ini?
Hah
...
Alunan
lagu dandut tiba-tiba terdengar dari HP milik Ma Rita. Sontak saja wanita yang
belum bisa kupanggil Mama itu terbangun.
“Halo,”
Jeda.
Ma Rita tengah mendengarkan orang di seberang sana.
“Apa?!”
jerit Ma Rita kemudian.
Ada
apa ini? Kedua mata Ma Rita berair seketika. Tangisnya pecah setelahnya. Tersisa
aku yang kebingungan dalam rahimya. Ma Rita, apakah yang terjadi?
***
Sudah
pagi dan Ma Rita masih diam di tempat tidurnya, sesekali ia mengelus perutnya,
mengelusku. Ada kehangatan di tiap sentuhannya, hanya saja wajahnya tampak
muram. Ma Rita tak jua beranjak dari tempat tidur, padahal harusnya ia sudah
bersiap-siap untuk jualan.
Meski tidak ada
korban jiwa, namun kebakaran pasar sentral untuk kesekian kalinya tersebut
menghanguskan 700 kios dan 106 Ruko pedagang, hingga kini polisi masih
menyelidiki penyebab kebakaran yang diperkirakan menyebabkan kerugian ratusan
miliar rupiah itu.
Suara dari tv kecil Ma Rita mengagetkanku. Kupandangi
wajah calon Mamaku, inikah penyebabnya?
Seketika aku teringat pada Baso, si preman pasar.(*)
Nahlatul Azhar adalah nama pena
dari Sitti Mardiyah.
penulis merupakan anggota FLP Ranting
Unsimuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)