Rabu, 02 Juli 2014

Pesan Baso pada Ma Rita (Budaya Fajar, 29 Juni 2014)

Foto by: AR Hamid Malewa


Oleh: Nahlatul Azhar

“Cari apa, Cantik?” suara Ma Rita membangunkan tidur siangku.
Lagi. Padahal aku tengah memimpikan sesuatu yang bagus. Terlahir dengan keadaan ekonomi yang sangat melimpah. Dalam mimpi kulihat seorang laki-laki dengan julukan presiden, tak lupa seorang wanita cantik di sampingnya, dan aku yang ada dalam pelukan wanita itu.
“Singgah, Pak.” Lagi-lagi suara Ma Rita memekik. Bising dan semakin bising telingaku karenanya.
Ma Rita selalu begitu.
“Berapaan ini?” tanya sesorang. Seorang gadis dengan jilbab warna merah menyala.
“Lima belas ribu, Dek.”
“Mahal sekali, sepuluh ribu bagaimana?”
Oh, lihatlah wajah Ma Rita ada sunggingan senyum manis di sana. Senyum yang dia sembunyikan jika sampai di rumah tua kami.
Ma Rita akan menangis semalam suntuk jika sampai di rumha. Ada saja alasan ia menangis. Karena dagangan yang tidak laku, Pa Andi, suaminya yang tidak menelepon, ataukah mertuanya yang datang minta uang. Kasihan Ma Rita tak ada teman disaat-saat sulit. Pun ada aku, namun tak mmbantu kesulitannya sama sekali.
“Tidak jadi ah, kemahalan. Mana bahannya tidak bagus lagi!” ucap gadis itu sebelum pergi.
Ma Reta terdiam. Dalam hati sumpah-sumpah kasar ia lontarkan.
Ah, Ma Rita sungguh kasihan.
***
“Hey Rita, ini aku bawakan makanan kesukaanmu.”
Laki-laki bertato ular itu mendekati tempat Ma Rita menjual. Seperti biasa dia akan merayu Ma Rita lagi. Pun dia tahu Ma Rita sudah bersuami bahkan sedang hamil, aku.
“Aku sudah bilang, tidak usah ke sini lagi! Apa kata orang-orang nanti, ingat Baso saya sudah punya suami, bahkan sebentar lagi punya anak!” ucap Ma Rita kasar.
“Halah ... suami apaan yang tega ninggalin istri padahal sedang hamil?”
Baso, preman yang suka mendatangi kios Ma Rita itu terkenal sangar. Payahnya, dia malah tunduk sama Ma Rita. Kadang aku heran, apa bagusnya Ma Rita yang sudah bersuami?
“Sudahlah Rita, ceraikan saja suami pecundang itu. Aku siap menghidupimu, bahkan bayi yang ada dalam kandunganmu!” ucap Baso dengan muka serius. Rambut gondrongnya tertiup angin sesekali, wajah sangar itu sama sekali tak membuat Ma Rita takut.
“Hey Baso, jaga ucapanmu!” teriak Ma Rita.
Akan ada kekacauan lagi setelah ini.
Baso, laki-laki yang jatuh cinta pada Ma Rita dua bulan terakhir. Itu karena Ma Rita pernah membalut luka Baso tanpa rasa takut suatu hari. Baso yang saat itu habis berkelahi dengan preman lain sontak dibuat kagum. Laki-laki yang banyak mengundang keresahan penghuni Pasar Sentral itu jatuh hati pada pertolongan pertama yang dilakukan Ma Reta. Maka sejak saat itu, ia rutin datang ke tempat Ma Rita berjualan.
“Rita, Rita ... aku lebih hebat dari suamimu, apa yang akan kau pertahankan darinya? Aku bahkan bisa memberitahumu informasi rahasia. Ini penting! Dengar baik-baik, besok tempat ini akan hancur.”
Ma Rita tak peduli dengan perkataan Baso. Ma Rita justru sibuk dengan jilbab-jilbab yang ia jual. Dirapikannya kembali barang dagangannya itu.
“Bawa semua barang-barangmu saat pulang, jangan sampai meninggalkannya di sini!” nada suara Baso memelan, sengaja berbisik..
“Sudahlah Baso, pergi sana!”
“Ah Rita kau harus percaya padaku kali ini! Satu lagi, aku tidak akan berhenti mengejarmu. Kamu harus tahu itu!” ucap Baso sebelum bersiap-siap hengkang dari tempat kami.
“Jangan lupa makan itu,” katanya lagi sembari menunjuk bungkusan yang dibawanya tadi. Laki-laki menyeramkan itu pun lantas pergi.
Hah ...
Ada desahan nafas panjang terdengar olehku. Dari Ma Rita yang terduduk diam.
***
“Jilbabnya, Bu ...” Ma Rita bergumam dalam tidurnya.
Bahkan dalam mimpi pun dia sedang berjualan? Beruntunglah aku pernah bermimpi jadi anak persiden. Pun hanya bunga-bunga tidur. Pukul satu dini hari, akankah mimpi Ma Rita hanya tentang jualan-jualannya yang kurang laku belakangan ini?
Hah ...
Alunan lagu dandut tiba-tiba terdengar dari HP milik Ma Rita. Sontak saja wanita yang belum bisa kupanggil Mama itu terbangun.
“Halo,”
Jeda. Ma Rita tengah mendengarkan orang di seberang sana.
“Apa?!” jerit Ma Rita kemudian.
Ada apa ini? Kedua mata Ma Rita berair seketika. Tangisnya pecah setelahnya. Tersisa aku yang kebingungan dalam rahimya. Ma Rita, apakah yang terjadi?
***
Sudah pagi dan Ma Rita masih diam di tempat tidurnya, sesekali ia mengelus perutnya, mengelusku. Ada kehangatan di tiap sentuhannya, hanya saja wajahnya tampak muram. Ma Rita tak jua beranjak dari tempat tidur, padahal harusnya ia sudah bersiap-siap untuk jualan.
Meski tidak ada korban jiwa, namun kebakaran pasar sentral untuk kesekian kalinya tersebut menghanguskan 700 kios dan 106 Ruko pedagang, hingga kini polisi masih menyelidiki penyebab kebakaran yang diperkirakan menyebabkan kerugian ratusan miliar rupiah itu.
Suara dari tv kecil Ma Rita mengagetkanku. Kupandangi wajah calon Mamaku, inikah penyebabnya?
Seketika aku teringat pada Baso, si preman pasar.(*)

Nahlatul Azhar adalah nama pena dari Sitti Mardiyah.
penulis merupakan anggota FLP Ranting Unsimuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)