
Oleh: Nahlatul
Azhar
Angin bertiup lagi. Mungkin sebentar
lagi hujan deras akan turun, seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Entah sampai
kapan. Kata bapak, kalau hujan begini terus tidak lama lagi rumah kami akan
terbawa banjir. Belum lagi bapak jadi sulit menjajakan barang dagangannya. Tapi
akhirnya aku memperoleh sedikit penghasilan.
Kugenggam payungku erat-erat, takut
terbawa angin yang mulai semakin kencang. Hujan juga mulai rintik-rintik.
Inilah saatnya aku beraksi. Hujan benar-benar tak sekedar membawa bencana.
Karena darinya aku pun bisa mendapatkan uang. Ya, walau tidak banyak namun
cukuplah untuk membeli lauk buat makan beberapa hari.
Di sinilah aku kini. Di depan gedung
tinggi yang banyak didatangi orang. Tempat yang tidak pernah aku masuki, sebab
aku merasa tidak pantas. Lagi pula aku tidak punya banyak uang untuk membeli
satu saja isi dari tempat itu.
“Payung, Bu?” tanyaku pada seorang ibu
yang baru turun dari taxi.
“Iya, Nak!” jawabnya sebelum akhirnya
mengnggenggam payung dariku.
Aku mengikuti sang ibu dari belakang.
Hujan semakin deras. Hawa dingin mulai menusuk tubuhku.
“Berapa, Nak?” tanya ibu tersebut
setelah kami sampai di depan mall.
Payung kembali berpindah tangan. Sambil
menunggu ibu itu mengambil uang dari dalam tasnya, kuedarkan pandanganku. Siapa
tau aku kembali mendapatkan pelanggan payung.
“Nak, ini uangnya.”
“Saya tidak punya uang kecil Bu,”
sahutku saat melihat uang pecahan sepuluh ribu yang beliau sodorkan. Dan memang
benar aku tidak punya, ibu itu saja adalah pelanggan pertamaku.
“Ya sudah untukmu saja. Sebagai gantinya
kalau ibu nanti keluar dan kamu masih di sini, nanti ibu numpang payung kamu
lagi.”
“Sip Bu.” Ibu itu pun masuk ke dalam mall.
Masih ada saja orang baik yang
bertebaran di luar sana. Salah satunya ya ibu itu. Dalam hati aku berjanji
untuk mengantarnya lagi saat ia selesa belanja. Tentu saja ketika hujan belum berhenti.
***
“Pak, ini uang hasil ngojek payungku hari ini,” ucapku sambil
menyerahkan beberapa lembar uang pada bapak.
“Wah, hari ini lumayan banyak yah.”
Aku tersenyum mendengar perkataan bapak.
Karena hari ini hari libur maka banyak pula yang datang ke mall walaupun cuaca
tidak bersahabat. Aku sendiri baru pulang ke rumah saat azan magrib mulai
dikumandangkan. Sebenarnya sayang, tapi bapak selalu berpesan sebelumnya, kalau
aku hanya boleh ngojek payung sampai
sore. Takut kenapa-kenapa, kata bapak.
Di luar sana hujan masih tidak
menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Sebaliknya malah makin deras. Aku
berusaha memejamkan kedua mataku, bersembunyi di balik punggung bapak. Sejak
kematian ibu, aku memang hanya tinggal berdua dengan bapak. Wanita yang telah
melahirkanku itu pergi ketika hujan turun, dua tahun yang lalu. Hujan membawa
ibu pergi. Membuatku kadang membenci hujan saat mengingat ibu.
***
Seperti biasa hari ini aku kembali ke
rutinitasku di musim hujan, ngojek payung
di depan mall. Sedangkan bapak kutinggal di rumah. Semalam beliau demam, jadi
kuminta untuk beristirahat saja. Sebagai gantinya aku memohon untuk dibiarkan ngojek payung sampai malam.
“Mila!” kucari sumber suara itu.
“Mila!” ternyata Sinar yang memanggilku,
ia berlari ke arahku di tengah derasnya hujan juga kencangnya angin.
“Iya?”
“Rumahmu ...” Sinar sampai di hadapanku
dengan nafas tersengal-sengal.
“Kenapa, Nar?”
“Rumahmu ... rumahmu Mil, rumahmu
roboh!”
Degh ... tidak! Jangan lagi Tuhan, hujan
sudah membawa ibuku pergi. Lalu sekarang ...
Aku terus berlari menerobos hujan.
Berharap bapak masih menunggu kepulanganku. Payung untuk ngojek terlupakan, padahal payung itu untuk mencari nafkah, untuk
membantu bapak.(*)
Dimuat tanggal 25 Mei 2014
Kata 'lagi' terulang sampai 4 kali di Paragraf awal yg hanya trdiri dr 9 baris, mnrt sy bsa dikurangi lg kt itu.... hehehe
BalasHapus*sekedar koment... gk bermaksd mengkritik senior peace.... :D
Oke Nanas, heheh, bari kuperhatikan dan ternyata wah ... perbaikan untuk lain kali. Makasih sudah mampir.
Hapus