Sabtu, 22 Maret 2014

Sang Bidadari (KeKeR, Sabtu 22 Maret 2014)



Sang Bidadari
Oleh: Nahlatul Azhar
http://ayuufeatayuu.wordpress.com/
Aku duduk di teras masjid kampus. Bukan mau ngaji melainkan nongkrong bareng teman-temanku. Biasa anak muda yang selalu menikmati hidup. Pasalnya dosen yang harusnya ngasih kuliah hari ini tidak datang. Ngga jelas deh alasannya apa. Yang pasti kata Dion si ketua kelas, hp dosen tersebut tidak aktif.
“Demo kemarin katanya rusuh ya?” Zein memulai perbincangan kami.
“Iya, sampai mahasiswa dan warga adu mulut,” aku menimpali, “padahal kan yang bermasalah polisi sama kita-kita, ngapain juga warga yang ngamuk!” lanjutku. Jelas saja dari suaraku agak terdengar bete.
“Yan, jelaslah warga ngamuk. Jalan raya ditutup gitu,” ucap Rehan yang lumayan alim diantara kami.
“Tetap saja mereka harusnya paham, kita itu membela yang lemah. Berontak karena teman kita mati ditembakin polisi!” suaraku makin meninggi.
“Tapi kalau dipikir-pikir tidak akan ada akibat kan tanpa adanya sebab terlebih dahulu,” ucap Rehan dengan tenang. Tangannya mengusap belakangku.
Iya sih. Rehan ada benarnya. Tapi tetap saja aku tidak setuju dengan sikap polisi yang
semaunya. Walaupun aku tidak suka ikut demo tapi kalau sudah ada korban begini aku pun ikutan panas.
Suara kami masih saling menyahut. Menimpali. Diam sejenak lalu membahas yang lain. Tentu aku juga nimbrung. Kalau sudah ngumpul kayak gini tidak jarang kami lupa waktu. Untungnya di teras mesjid jadi suara azan langsung ngagetin. Si Rehan juga bakalan maksa kami buat shalat berjamaah.
Masih dalam diskusi yang tak jelas. Kubuang pandanganku sejenak ke arah jalan menuju mesjid ini. Awalnya aku tidak peduli siapa yang lewat. Tapi ...
Sejak kapan ada bidadari nongol di kampus? Tanpa sayap pula. Tidak ada bundaran di atas kepalanya. Rambut? Ngga ada sehelai pun yang tampak. Yang ada justru kain yang menutupi kepalanya. Ngga cuman kepala sampai dada pula. Jilbab merah muda. Warna bawahan yang dikenakan pun senanda dengan jilbabnya. Cuman bajunya yang berwarna putih memperkuat kesan bedadari padanya.
http://hamdandesign.net/ikhwan/
Tunggu! Bidadari? Belum juga dua menit aku melihatnya, dan sekarang bidadari sudah aku semaikan padanya?
“Riyan!!!”
“Ya?” aku menoleh pada kedua sahabatku. Sumpah aku kaget banget.
“Lihat apa sih?” Zein mengikuti pandanganku.
“Ngga ada apa-apa, jadi sampai di mana tadi?”
“Sampai apanya, kamu ditanyain malah ngga jawab-jawab. Taunya ...” Zein tersenyum padaku. Sahabtku yang paling jail ini pasti akan memulai aksinya lagi.
Allahuakbar ... Allahuabar ...
Untunglah azan menyelamatkanku. Aku berjanji tanpa disuruh Rehan, aku akan shalat berjamaah kali ini. Kutinggalkan kedua sahabatku.
“Riyan, Mau kemana? Shalat dulu!” Rehan berteiak memanggilku.
Ups... salah jalan.
***
Sebulan berlalu sejak peristiwa di teras masjid kampus.
“Jadi gara-gara si Rahma?” Rehan mengagetkanku.
“Maksudmu?” aku pura-pura saja.
“Yan, dia itu ngga bakalan mau kamu pacarin. Yang begituan tidak ada dalam kamusnya.”
“Jelas! Yang ada di kamus tuh bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan satu lagi bahasa arab,” candaku.
“Dengar Yan, Rahma itu maunya langsung nikah. Ngga pake pacaran. Terus dia tidak suka cowok yang ngga rapi, ngga ngaji, apa lagi ngga shalat.”
“Tunggu! Kok kamu tahu banget sih?” tanyaku curiga.
Jangan-jangan Rehan juga tertarik sama Rahma. Jangan-jangan dia malah sudah mata-matain Rahma. Jangan-jangan ...
“Sebenarnya dia itu ... dia itu adik ibuku.”
“Hah?!” lama aku menganga tidak percaya, “Jadi kalau aku nikah sama dia, aku jadi paman alias om kamu dong?” tanyaku dengan nada tak percaya.
Walhasil Rehan menatapku dengan wajah bingung.(*)
Minggu ke tiga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)