Sang
Bidadari
Oleh:
Nahlatul Azhar
http://ayuufeatayuu.wordpress.com/ |
Aku duduk di teras masjid kampus. Bukan mau ngaji
melainkan nongkrong bareng teman-temanku. Biasa anak muda yang selalu menikmati
hidup. Pasalnya dosen yang harusnya ngasih kuliah hari ini tidak datang. Ngga
jelas deh alasannya apa. Yang pasti kata Dion si ketua kelas, hp dosen tersebut
tidak aktif.
“Demo kemarin katanya rusuh ya?” Zein memulai
perbincangan kami.
“Iya, sampai mahasiswa dan warga adu mulut,” aku
menimpali, “padahal kan yang bermasalah polisi sama kita-kita, ngapain juga
warga yang ngamuk!” lanjutku. Jelas saja dari suaraku agak terdengar bete.
“Yan, jelaslah warga ngamuk. Jalan raya ditutup
gitu,” ucap Rehan yang lumayan alim diantara kami.
“Tetap saja mereka harusnya paham, kita itu membela
yang lemah. Berontak karena teman kita mati ditembakin polisi!” suaraku makin
meninggi.
“Tapi kalau dipikir-pikir tidak akan ada akibat kan
tanpa adanya sebab terlebih dahulu,” ucap Rehan dengan tenang. Tangannya
mengusap belakangku.
Iya sih. Rehan ada benarnya. Tapi tetap saja aku
tidak setuju dengan sikap polisi yang
semaunya. Walaupun aku tidak suka ikut
demo tapi kalau sudah ada korban begini aku pun ikutan panas.
Suara kami masih saling menyahut. Menimpali. Diam
sejenak lalu membahas yang lain. Tentu aku juga nimbrung. Kalau sudah ngumpul
kayak gini tidak jarang kami lupa waktu. Untungnya di teras mesjid jadi suara
azan langsung ngagetin. Si Rehan juga bakalan maksa kami buat shalat berjamaah.
Masih dalam diskusi yang tak jelas. Kubuang
pandanganku sejenak ke arah jalan menuju mesjid ini. Awalnya aku tidak peduli
siapa yang lewat. Tapi ...
Sejak kapan ada bidadari nongol di kampus? Tanpa
sayap pula. Tidak ada bundaran di atas kepalanya. Rambut? Ngga ada sehelai pun
yang tampak. Yang ada justru kain yang menutupi kepalanya. Ngga cuman kepala
sampai dada pula. Jilbab merah muda. Warna bawahan yang dikenakan pun senanda
dengan jilbabnya. Cuman bajunya yang berwarna putih memperkuat kesan bedadari
padanya.
http://hamdandesign.net/ikhwan/ |
Tunggu! Bidadari? Belum juga dua menit aku
melihatnya, dan sekarang bidadari sudah aku semaikan padanya?
“Riyan!!!”
“Ya?” aku menoleh pada kedua sahabatku. Sumpah aku
kaget banget.
“Lihat apa sih?” Zein mengikuti pandanganku.
“Ngga ada apa-apa, jadi sampai di mana tadi?”
“Sampai apanya, kamu ditanyain malah ngga jawab-jawab.
Taunya ...” Zein tersenyum padaku. Sahabtku yang paling jail ini pasti akan
memulai aksinya lagi.
Allahuakbar ... Allahuabar ...
Untunglah azan menyelamatkanku. Aku berjanji tanpa
disuruh Rehan, aku akan shalat berjamaah kali ini. Kutinggalkan kedua
sahabatku.
“Riyan, Mau kemana? Shalat dulu!” Rehan berteiak
memanggilku.
Ups... salah jalan.
***
Sebulan berlalu sejak peristiwa di teras masjid
kampus.
“Jadi gara-gara si Rahma?” Rehan mengagetkanku.
“Maksudmu?” aku pura-pura saja.
“Yan, dia itu ngga bakalan mau kamu pacarin. Yang
begituan tidak ada dalam kamusnya.”
“Jelas! Yang ada di kamus tuh bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, dan satu lagi bahasa arab,” candaku.
“Dengar Yan, Rahma itu maunya langsung nikah. Ngga
pake pacaran. Terus dia tidak suka cowok yang ngga rapi, ngga ngaji, apa lagi
ngga shalat.”
“Tunggu! Kok kamu tahu banget sih?” tanyaku curiga.
Jangan-jangan Rehan juga tertarik sama Rahma.
Jangan-jangan dia malah sudah mata-matain Rahma. Jangan-jangan ...
“Sebenarnya dia itu ... dia itu adik ibuku.”
“Hah?!” lama aku menganga tidak percaya, “Jadi kalau
aku nikah sama dia, aku jadi paman alias om kamu dong?” tanyaku dengan nada tak
percaya.
Walhasil Rehan menatapku dengan wajah bingung.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)