Ibu…
Aku
membencimu! Membenci caramu membela adik-adikku. Membenci caramu
menasehatku, terlebih jika sedikit bernada tinggi juga memaksa. Aku
benci. Sangat!
Sebagai
anak pertama, seorang kakak, aku merasa diasingkan, Bu. Ibu lebih
menyayangi adik-adikku. Membela mereka setiap kami berkelahi. Memberi
adikku lebih banyak jatah makanan. Membelikan mereka banyak mainan.
Memeluk mereka lebih sering dariku. Apa ibu lupa punya anak yang lain?
Atau … apakah dugaanku benar sebagai anak pungut?
Ingat
kan Bu, saat aku dengan penuh amarah membanting pintu kamar.
Melemparkan tubuh ke atas kasur tua yang sewaktu-waktu bisa roboh. Lalu
menarik paksa selimut di ujung kasur, bersembunyi dibaliknya sambil
tiduran. Aku menangis, meraung, mengambil bantal, memukulnya.
Menangis tertahan, sembari menyumpahi dan memaki dirimu. Kataku pula,
“Aku bukan anak ibu! Aku bukan anak ibu!” berulang kali kuucap kata itu.
Sampai lelah menelusup perlahan pada dua bola mataku yang terus
menangis. Pada mulutku yang enggan mencerca lagi. Perlahan aku terlelap
dalam marah. Sepi kemudian. Kala itu apa yang ibu lakukan di luar kamar?
Ibu …
Aku
masih membencimu. Kala aku dipukuli bapak karena kesalahan-kesalahanku.
Dan pada saat bersamaan ibu tidak menampakkan diri. Pun ada, ibu hanya
memandangiku tanpa suara. Diam seribu bahasa. Bu … saat itu aku sungguh
berharap dirimu membelaku. Menarikku dalam dekapanmu, dan meminta bapak
menghentikan aksinya. Tapi Bu, harapku tinggal harap saja. Ibu mungkin
telah diminta bapak untuk tidak peduli. Atau ibu memang tidak peduli?
Saat itu ibu hanya menirukan kata-kata bapak, “Setan yang ada padamu lah
yang di pukuli, yang diusir.”. Aku tidak mengerti maksud ibu. Yang
kupahami, ibu membiarkanku begitu saja.
Bu
… masih dengan kebencianku, saat dengan tatapan tidak peduli ibu hanya
melihatku dihukum bapak. Disuruh berdiri di atas kasur dengan kaki kiri
diangkat sedang dua tanganku memegangi telinga. Tepatnya menarik
telingaku sendiri. Walau bukan tanpa alasan ayah melakukannya, karena
saat itu aku dengan kepolosanku membuat seorang santri mengaji bapak
menangis. Sebatang lidi kuarahkan ke mata santri tersebut, kena! Lalu …
aku kena hukuman.
Aku
berharap saat itu ibu meminta bapak menghentikan hukumanku. Apa ibu
tidak kasihan melihatku berdiri sekian waktu? Ibu tetap tidak peduli? Ah
ibu … dirimu sungguh tega. Bu, itu hanya beberapa alasan benciku.
Sering kali ibu tidak membelaku saat mendapat hukuman dari bapak.
Dan
tak cuman sekali itu kulampiaskan marah pada pintu, kasur, selimut, dan
bantal karena sikap tak peduli ibu. Berkali-kali bahkan sampai aku tak
tahu berapa jumlahnya. Yang teringat olehku adalah bahwa saat itu aku
masih anak-anak yang tak tahu maksud sikap ibu. Tidak paham mengapa
diperlakukan begitu. Mengapa ibu diam saja saat aku dihukum bapak. Yang
kupikirkan saat itu, ibu tidak menyayangiku.
Bu
… aku lupa jika enam tahun sebelumnya aku seorang diri dipeluk olehmu
karena belum pnya adik. Ya, enam tahun kemudian aku baru memiliki adik
laki-laki, dua tahun setelahnya adik perempuan lahir pula, dua tahun
lainnya adik perempuan lahir lagi. Selama rentang waktu enam tahun aku
seoran diri menerima curahan kasih darimu. Ditimang, disuapi, bahkan
dipeluk tiap petang dijemput malam. Aku lupa hal itu ibu. Padahal …
akulah yang paling banyak menikmati pelukan darimu. Ah ibu … tahu apa
anak-anak tentang kasih sayang. Tahu apa aku saat itu, Ibu?
Ibu … maafkan diriku yang tak tahu. Maaf …
Justru,
berkali-kali kubuat dirimu menangis. Engkau yang lembut hatinya kubuat
melelehkan butiran air pada kedua pipimu. Ibu … aku tidak pernah lupa
kala itu. Saat dimana ibu menyuruhku mencuci piring. Sekali, dua kali,
tiga kali, berkali kali. Sampai akhirnya ibu enggan meminta lagi karena
aku selalu mengatakan ‘sebentar’, ‘nanti, ‘tunggu dulu’. Berapa saat
kemudian kudengar isak tangis dari dalam kamar. Aku kecil kaget bukan
main. Saat kuhampiri ibu dengan berlinang air mata mengatakan, “Apa
susahnya Nak cuci piring dulu? Nanti setelah itu kamu bisa main lagi,”
serak suara ibu menjelaskan padaku. Aku jadi takut, Bu. Aku takut
mendapat siksa neraka karena tangismu. Pun masih anak-anak, tapi ibu dan
bapak selalu menekankan untuk tidak durhaka.
“Bu,
jangan menangis lagi. Iya, aku pergi cici piring sekarang, tapi jangan
menangis lagi,” janjiku. Ibu mengangguk. Dengan langkah cepat kuhampiri
tumpukan piring kotor yang menyebabkan air matamu tumpah. Pikirku saat
itu piring-piring itulah penyebabnya. Saat itu, aku berjanji tak
membuatmu menangis lagi. Tapi … ternyata aku mengulanginya lagi.
Saat
itu untuk kedua kalinya kubuat ibu menangis. Padahal aku sudah duduk di
kelas di bangku es-em-a. Ibu yang saat itu pergi ke pasar kuminta
membelikanku sepatu. Kata ibu aku pergi saja, biar bisa memilih sendiri.
Tapi karena malas, aku minta ibu saja yang memilihkan. Dan saat ibu
pulang dengan semangat kusambut kedatangan ibu, mencari sepatu
pesananku.
“Kenapa begini? Ibu sepatunya kenap kekecilan? Terlalu sempit,” aku mulai berkomentar. Aku kecewa.
“Makanya ibu tadi mengajakmu pergi memilihnya sendiri kan?” suara ibu terdengar parau.
“Tapi kan besok aku harus kembali ke pondokan,” tanpa sadar suaraku meninggi.
Aku
tidak memikirkan perasaan ibu. Tak kupikirkan ibu lelah saat itu. Bu,
aku memang egois, pemarah, tidak tahu terimakasih. Dan lagi kubuat ibu
menitikkan air mata. Lagi! Janji tinggal janji.
Tahu
ibu tengah menangis di kamar, aku segera menghampiri. Kukunci kamar ibu
dari dalam. Takut adik-adikku tahu kelakuanku yang membuat ibu kami
menangis. Wajah ibu sembab, di sana jelas terukir gurat kelelahan.
“Bu,
maaf …” kuraih tangan ibu. Ah, aku selalu menyusahkan ibu. Membuat ibu
menangis dan menangis. Tapi ibu selalu memelukku setelahnya. Pintu maaf
ibu selalu terbuka. Tahukah ibu, aku benar-benar mencintaimu, takut
kehilanganmu, sebab bagaimanalah aku tanpa sentuah hangatmu?
Aku
memang membenci ibu. Tapi aku bersumpah itu dulu. Itu saat yang kutahu
hanya bermain dan bermain. Bu, sungguh, itu hanya saat aku masih
anak-anak. Dan lagi … benciku tak selama aku menuliskan surat ini.
Benciku hanya sebentar. Karena sebentar saja membencimu adalah sikasaan
bagi hati kecilku. Pun masih anak-anak saat itu, tapi Bu, aku tidak bisa
benar-benar membencimu. Sebab benci akan menguap begitu saja, bersama
hangatnya pelukan ibu.
Lagi
pula, bagaimana bisa benciku bertahan lama, sedang akulah yang pertama
kali mengisi rahim ibu. Akulah yang pertama kali membuat ibu kesakitan.
Seperti percakapnku dengan ibu baru-baru ini, ingatkah Bu?
“Kalau anak pertama mau lahir memang kayak gitu, sakit dikit saja sudah blingsatan.”
“Jadi pas saya lahir gimana, Bu?”
“Kamu yang paling susah, Nak. Bayangin saja, ibu ngerasa sakit mulai hari jum’at tapi kamu lahirnya hari senin.”
“Wah, lama banget dong sakitnya. Maaf ya, Bu.”
“Loh, kenapa? Itu hal wajar, Nak. Ibu cerita juga biar kamu tahu saja.”
“Tetap saja … maaf Ibu.”
Saat
itu bagaimana cara ibu menahan sakit? Aku ingin belajar darimu ibu,
belajar tentang hidup. Belajar menahan sakit. Dan semua itu bukan lagi
tentang benci, Bu.
“Bu, berapa lama pacaran sama bapak?” tanyaku penasaran. Sangat.
“Mmm … agak lupa, Sayang.” Mencoba mengingat.
“Ayolah Bu, cerita. Ya, ya …” aku sedikit memaksa. Tentu saja, aku sudah lama ingin menanyakan hal itu.
“Hampir dua tahun kalau tidak salah,” akhirnya memperoleh jawaban juga.
“Wah … lama juga.” Ibu
… bagaimana mempertahankan cintamu pada bapak? Salahkah jika kini aku
ingin tahu dan belajar tentang cintamu. Pada keluargamu tentu saja. Pada
bapak dan lima orang buah hatimu. Dan lagi Bu, semua itu bukan lagi
tentang benciku. Tapi cinta ibu. Cinta yang ingin kupelajari.
Jadi Ibu, maaf untuk rasa benciku dulu juga terimakasih telah melahirkanku, Ibu.
***
Bu …
Cara
menyampaikan rasaku yang kadang sulit terucap secara langsung padamu
adalah dengan ini. Tutur tak langsung dari mulutku. Namun jujur dari
hatiku. Ibu …aku dilanda rindu saat ini. Padamu.
Lalu Benci?
dan tanyalah hatimu baik-baik
pernahkah benar-benar beci?
jika dia ibumu
wanita yang melahirkanmu
yang menjadikanmu ada lewat sentuhan cinta
maka benci tak akan pernah kau sandang lama
tidak!
karena sejatinya
kau, aku, kita sama saja
tak bisa membenci wanita itu
wanita bernama ibu
sebab dia pemilik cinta sejati
dan tanyalah hatimu baik-baik
pernahkah benar-benar beci?
jika dia ibumu
wanita yang melahirkanmu
yang menjadikanmu ada lewat sentuhan cinta
maka benci tak akan pernah kau sandang lama
tidak!
karena sejatinya
kau, aku, kita sama saja
tak bisa membenci wanita itu
wanita bernama ibu
sebab dia pemilik cinta sejati
Bu,
terlalu mudah bagiiku menggambarkan berapa besarnya yang kupunya
untukmu. Tapi … aku tak akan pernah bisa menghitung berapa besarnya
cinta yang kuperoleh darimu. Pun begitu, aku akan tetap mengatakan
bahwa, aku benar-benar mencintai ibu. Sungguh.
Persembahanku
untuk saat ini bukanlah apa-apa, sebab aku belum menjadi apa-apa, hanya
perangkai kata bisu, tapi Bu, ini dari hatiku …
Wanita Cinta
Bilik kecil jadi saksi kesakitannya kala itu
jerit tertahan membelah malam kelam
menembus langit satu hingga tujuh
menyisaakan bilur-bilur yang enggan melepas dirinya
juga senyum manis dalam harap, tuhan lindungi hidup anakku!
ia kalah dalam lelah, menang di atas surga sana
adalah dia luka yang bersembunyi dari bayinya
berusaha menjawab teka teki hidup separuh hatinya itu
akan jalan baru nyawa dari rahimnya
bertanya tiapa waktu, tuhan jalan apa yang dia lalui nanti?
sebab dia awal kehidupan
sebab itu pula dia cinta pertama bayi yang dikandungnya
karena dia ibu
tak mengumbar cinta namun mengukir cinta
jerit tertahan membelah malam kelam
menembus langit satu hingga tujuh
menyisaakan bilur-bilur yang enggan melepas dirinya
juga senyum manis dalam harap, tuhan lindungi hidup anakku!
ia kalah dalam lelah, menang di atas surga sana
adalah dia luka yang bersembunyi dari bayinya
berusaha menjawab teka teki hidup separuh hatinya itu
akan jalan baru nyawa dari rahimnya
bertanya tiapa waktu, tuhan jalan apa yang dia lalui nanti?
sebab dia awal kehidupan
sebab itu pula dia cinta pertama bayi yang dikandungnya
karena dia ibu
tak mengumbar cinta namun mengukir cinta
menulisnya pada darah bayinya
tak perlu ia ucap lagi
sang bayi tahu, wanita itu bernama cinta
*Untuk ibu: Sebab aku mencintaimu.
Jd pengen peluk ibu, ya :)
BalasHapusSelalu ingin di sampinya ... ya kan?
HapusTernyata... kita paling mudah buat salah sama orang tua, apalagi Ibu. Ternyata, aku juga.
BalasHapusIya mba Rahmah. Dan makin bertambahnya umur kesalahan2 itu semakin terasa.
Hapus