Senin, 20 Januari 2014

Kisahku Bersamamu, Ibu

Ibu…
Aku membencimu! Membenci caramu membela adik-adikku. Membenci caramu menasehatku, terlebih jika sedikit bernada tinggi juga memaksa. Aku benci. Sangat!
Sebagai anak pertama, seorang kakak, aku merasa diasingkan, Bu. Ibu lebih menyayangi adik-adikku. Membela mereka setiap kami berkelahi. Memberi adikku lebih banyak jatah makanan. Membelikan mereka banyak mainan. Memeluk mereka lebih sering dariku. Apa ibu lupa punya anak yang lain? Atau … apakah dugaanku benar sebagai anak pungut?
Ingat kan Bu, saat aku dengan penuh amarah membanting pintu kamar. Melemparkan tubuh ke atas kasur tua yang sewaktu-waktu bisa roboh. Lalu menarik paksa selimut di ujung kasur, bersembunyi dibaliknya sambil tiduran. Aku menangis, meraung, mengambil bantal, memukulnya. Menangis tertahan, sembari menyumpahi dan memaki dirimu. Kataku pula, “Aku bukan anak ibu! Aku bukan anak ibu!” berulang kali kuucap kata itu. Sampai lelah menelusup perlahan pada dua bola mataku yang terus menangis. Pada mulutku yang enggan mencerca lagi. Perlahan aku terlelap dalam marah. Sepi kemudian. Kala itu apa yang ibu lakukan di luar kamar?
Ibu …
Aku masih membencimu. Kala aku dipukuli bapak karena kesalahan-kesalahanku. Dan pada saat bersamaan ibu tidak menampakkan diri. Pun ada, ibu hanya memandangiku tanpa suara. Diam seribu bahasa. Bu … saat itu aku sungguh berharap dirimu membelaku. Menarikku dalam dekapanmu, dan meminta bapak menghentikan aksinya. Tapi Bu, harapku tinggal harap saja. Ibu mungkin telah diminta bapak untuk tidak peduli. Atau ibu memang tidak peduli? Saat itu ibu hanya menirukan kata-kata bapak, “Setan yang ada padamu lah yang di pukuli, yang diusir.”. Aku tidak mengerti maksud ibu. Yang kupahami, ibu membiarkanku begitu saja.
Bu … masih dengan kebencianku, saat dengan tatapan tidak peduli ibu hanya melihatku dihukum bapak. Disuruh berdiri di atas kasur dengan kaki kiri diangkat sedang dua tanganku memegangi telinga. Tepatnya menarik telingaku sendiri. Walau bukan tanpa alasan ayah melakukannya, karena saat itu aku dengan kepolosanku membuat seorang santri mengaji bapak menangis. Sebatang lidi kuarahkan ke mata santri tersebut, kena! Lalu … aku kena hukuman.
Aku berharap saat itu ibu meminta bapak menghentikan hukumanku. Apa ibu tidak kasihan melihatku berdiri sekian waktu? Ibu tetap tidak peduli? Ah ibu … dirimu sungguh tega. Bu, itu hanya beberapa alasan benciku. Sering kali ibu tidak membelaku saat mendapat hukuman dari bapak.
Dan tak cuman sekali itu kulampiaskan marah pada pintu, kasur, selimut, dan bantal karena sikap tak peduli ibu. Berkali-kali bahkan sampai aku tak tahu berapa jumlahnya. Yang teringat olehku adalah bahwa saat itu aku masih anak-anak yang tak tahu maksud sikap ibu. Tidak paham mengapa diperlakukan begitu. Mengapa ibu diam saja saat aku dihukum bapak. Yang kupikirkan saat itu, ibu tidak menyayangiku.
Bu … aku lupa jika enam tahun sebelumnya aku seorang diri dipeluk olehmu karena belum pnya adik. Ya, enam tahun kemudian aku baru memiliki adik laki-laki, dua tahun setelahnya adik perempuan lahir pula, dua tahun lainnya adik perempuan lahir lagi. Selama rentang waktu enam tahun aku seoran diri menerima curahan kasih darimu. Ditimang, disuapi, bahkan dipeluk tiap petang dijemput malam. Aku lupa hal itu ibu. Padahal … akulah yang paling banyak menikmati pelukan darimu. Ah ibu … tahu apa anak-anak tentang kasih sayang. Tahu apa aku saat itu, Ibu?
Ibu … maafkan diriku yang tak tahu. Maaf …
Justru, berkali-kali kubuat dirimu menangis. Engkau yang lembut hatinya kubuat melelehkan butiran air pada kedua pipimu. Ibu … aku tidak pernah lupa kala itu. Saat dimana ibu menyuruhku mencuci piring. Sekali, dua kali, tiga kali, berkali kali. Sampai akhirnya ibu enggan meminta lagi karena aku selalu mengatakan ‘sebentar’, ‘nanti, ‘tunggu dulu’. Berapa saat kemudian kudengar isak tangis dari dalam kamar. Aku kecil kaget bukan main. Saat kuhampiri ibu dengan berlinang air mata mengatakan, “Apa susahnya Nak cuci piring dulu? Nanti setelah itu kamu bisa main lagi,” serak suara ibu menjelaskan padaku. Aku jadi takut, Bu. Aku takut mendapat siksa neraka karena tangismu. Pun masih anak-anak, tapi ibu dan bapak selalu menekankan untuk tidak durhaka.
“Bu, jangan menangis lagi. Iya, aku pergi cici piring sekarang, tapi jangan menangis lagi,” janjiku. Ibu mengangguk. Dengan langkah cepat kuhampiri tumpukan piring kotor yang menyebabkan air matamu tumpah. Pikirku saat itu piring-piring itulah penyebabnya. Saat itu, aku berjanji tak membuatmu menangis lagi. Tapi … ternyata aku mengulanginya lagi.
Saat itu untuk kedua kalinya kubuat ibu menangis. Padahal aku sudah duduk di kelas di bangku es-em-a. Ibu yang saat itu pergi ke pasar kuminta membelikanku sepatu. Kata ibu aku pergi saja, biar bisa memilih sendiri. Tapi karena malas, aku minta ibu saja yang memilihkan. Dan saat ibu pulang dengan semangat kusambut kedatangan ibu, mencari sepatu pesananku.
“Kenapa begini? Ibu sepatunya kenap kekecilan? Terlalu sempit,” aku mulai berkomentar. Aku kecewa.
“Makanya ibu tadi mengajakmu pergi memilihnya sendiri kan?” suara ibu terdengar parau.
“Tapi kan besok aku harus kembali ke pondokan,” tanpa sadar suaraku meninggi.
Aku tidak memikirkan perasaan ibu. Tak kupikirkan ibu lelah saat itu. Bu, aku memang egois, pemarah, tidak tahu terimakasih. Dan lagi kubuat ibu menitikkan air mata. Lagi! Janji tinggal janji.
Tahu ibu tengah menangis di kamar, aku segera menghampiri. Kukunci kamar ibu dari dalam. Takut adik-adikku tahu kelakuanku yang membuat ibu kami menangis. Wajah ibu sembab, di sana jelas terukir gurat kelelahan.
“Bu, maaf …” kuraih tangan ibu. Ah, aku selalu menyusahkan ibu. Membuat ibu menangis dan menangis. Tapi ibu selalu memelukku setelahnya. Pintu maaf ibu selalu terbuka. Tahukah ibu, aku benar-benar mencintaimu, takut kehilanganmu, sebab bagaimanalah aku tanpa sentuah hangatmu?
Aku memang membenci ibu. Tapi aku bersumpah itu dulu. Itu saat yang kutahu hanya bermain dan bermain. Bu, sungguh, itu hanya saat aku masih anak-anak. Dan lagi … benciku tak selama aku menuliskan surat ini. Benciku hanya sebentar. Karena sebentar saja membencimu adalah sikasaan bagi hati kecilku. Pun masih anak-anak saat itu, tapi Bu, aku tidak bisa benar-benar membencimu. Sebab benci akan menguap begitu saja, bersama hangatnya pelukan ibu.
Lagi pula, bagaimana bisa benciku bertahan lama, sedang akulah yang pertama kali mengisi rahim ibu. Akulah yang pertama kali membuat ibu kesakitan. Seperti percakapnku dengan ibu baru-baru ini, ingatkah Bu?
“Kalau anak pertama mau lahir memang kayak gitu, sakit dikit saja sudah blingsatan.”
“Jadi pas saya lahir gimana, Bu?”
“Kamu yang paling susah, Nak. Bayangin saja, ibu ngerasa sakit mulai hari jum’at tapi kamu lahirnya hari senin.”
“Wah, lama banget dong sakitnya. Maaf ya, Bu.”
“Loh, kenapa? Itu hal wajar, Nak. Ibu cerita juga biar kamu tahu saja.”
“Tetap saja … maaf Ibu.”
Saat itu bagaimana cara ibu menahan sakit? Aku ingin belajar darimu ibu, belajar tentang hidup. Belajar menahan sakit. Dan semua itu bukan lagi tentang benci, Bu.
Bu, berapa lama pacaran sama bapak?” tanyaku penasaran. Sangat.
“Mmm … agak lupa, Sayang.” Mencoba mengingat.
“Ayolah Bu, cerita. Ya, ya …” aku sedikit memaksa. Tentu saja, aku sudah lama ingin menanyakan hal itu.
“Hampir dua tahun kalau tidak salah,” akhirnya memperoleh jawaban juga.
“Wah … lama juga.” Ibu … bagaimana mempertahankan cintamu pada bapak? Salahkah jika kini aku ingin tahu dan belajar tentang cintamu. Pada keluargamu tentu saja. Pada bapak dan lima orang buah hatimu. Dan lagi Bu, semua itu bukan lagi tentang benciku. Tapi cinta ibu. Cinta yang ingin kupelajari.
Jadi Ibu, maaf untuk rasa benciku dulu juga terimakasih telah melahirkanku, Ibu.
***
Bu …
Cara menyampaikan rasaku yang kadang sulit terucap secara langsung padamu adalah dengan ini. Tutur tak langsung dari mulutku. Namun jujur dari hatiku. Ibu …aku dilanda rindu saat ini. Padamu.
Lalu Benci?
dan tanyalah hatimu baik-baik
pernahkah benar-benar beci?

jika dia ibumu
wanita yang melahirkanmu
yang menjadikanmu ada lewat sentuhan cinta
maka benci tak akan pernah kau sandang lama
tidak!
karena sejatinya
kau, aku, kita sama saja
tak bisa membenci wanita itu
wanita bernama ibu
sebab dia pemilik cinta sejati
Bu, terlalu mudah bagiiku menggambarkan berapa besarnya yang kupunya untukmu. Tapi … aku tak akan pernah bisa menghitung berapa besarnya cinta yang kuperoleh darimu. Pun begitu, aku akan tetap mengatakan bahwa, aku benar-benar mencintai ibu. Sungguh.
Persembahanku untuk saat ini bukanlah apa-apa, sebab aku belum menjadi apa-apa, hanya perangkai kata bisu, tapi Bu, ini dari hatiku …

Wanita Cinta

Bilik kecil jadi saksi kesakitannya kala itu
jerit tertahan membelah malam kelam
menembus langit satu hingga tujuh
menyisaakan bilur-bilur yang enggan melepas dirinya
juga senyum manis dalam harap, tuhan lindungi hidup anakku!
ia kalah dalam lelah, menang di atas surga sana
adalah dia luka yang bersembunyi dari bayinya
berusaha menjawab teka teki hidup separuh hatinya itu
akan jalan baru nyawa dari rahimnya
bertanya tiapa waktu, tuhan jalan apa yang dia lalui nanti?
sebab dia awal kehidupan
sebab itu pula dia cinta pertama bayi yang dikandungnya
karena dia ibu
tak mengumbar cinta namun mengukir cinta


menulisnya pada darah bayinya
tak perlu ia ucap lagi
sang bayi tahu, wanita itu bernama cinta
 
*Untuk ibu: Sebab aku mencintaimu.

4 komentar:

  1. Ternyata... kita paling mudah buat salah sama orang tua, apalagi Ibu. Ternyata, aku juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mba Rahmah. Dan makin bertambahnya umur kesalahan2 itu semakin terasa.

      Hapus

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)