Siapa
yang berjasa dalam hidupmu? Ibuku, ibuku,
ibuku. Siapa lagi? Ayahku. Masih
ada? Tentu! dialah guruku.
Aku
punya sederat nama guru yang ku favoritkan saat masih duduk di bangku
sekolahan. Sebut saja Pak Tamsil. Ayah sekaligus guruku saat duduk di kelas 3
Sekolah Dasar. Karena beliau ayahku, bukan berarti aku mendapat perlakuan
berbeda darinya. Dimanja? Dibedakan dengan yang lain? Oh ... itu sama sekali
tidak dilakukan oleh ayahku.
Pernah
suatu hari aku dan beberapa orang temanku terlambat masuk kelas. Dan saat hendak
duduk, kurasakan sebuah benda mengenai punggungku. Ternyata tidak lain adalah
kapur yang dilemparkan oleh ayahku. Itu satu teguran dari sekian teguran
darinya. Dan mengapa aku yang dilempari kapur bukan temanku? Itulah ayahku.
Laki-laki tegas, berwibawa, namun hangat. Dan yang pasti tidak pilih kasih.
Sampai
saat ini guru pertama yang kuidolakan
adalah ayahku. Bukan karena beliau orang tuaku, namun justru karena
perlakuannya padaku sejak aku masih kecil. Aku selalu mengatakan pada diriku
sendiri, “Jika dulu ayah tidak memperlakukan aku begitu, makan aku tidak akan
seperti sekarang ini.”
Ibu
Suarni. Beliau guruku saat masih TK. Terlalu dinikah aku mengidolakan? Ah tentu
tidak! Justru saat masih anak-anak lah seseorang sangat jujur dalam berucap. Terutama
dalam menilai orang lain.
Ketika masih duduk di taman kanak-kanak aku
bertemu dengannya. Wanita berkharisma. Penuh limpahan kasih sayang. Lembut tutur
katanya. Hangat pelukannya. Mengingatnya saja aku jadi rindu. Sampai-sampai air
mata ini hendak jatuh rasanya.
Sampai
saat ini jika bertemu dengannya aku selalu mencium takzim tangannya. Jasanya
tak akan ku lupakan. Karena beliau, embun penyejuk jiwa saat aku masih belia.
Dan itu sangat penting. Bukankah itu berarti beliau meninggalkan jejak baik
padaku?
Selanjutnya
ada Pak Rusman. Beliau adalah kepala sekolah tempat aku menuntut ilmu saat SD.
Orangnya ramah dan sangat baik. Saat mengajar pun sangat pandai. Membuat kami
yang kala itu ogah-ogahan belajar jadi memperhatikan beliau dengan seksama.
Karena prestasinya pula sekarang beliau sudah jadi pengawas setelah
perjalanannya menjadi, guru saja, kepala sekolah lalu ... hebat bukan?
Pak
Sukri. Beliau wali kelasku saat duduk di kelas 6 SD. Lagi-lagi kukatakan guruku
ini sangat baik. Saat itu belau belum dikaruniai anak walhasil kami seperti
anak-anaknya sendiri. Sampai-sampai saat menjelang penammatan sekolah aku dan
teman-temanku ke rumahnya dan buat acara di sana. Mantap pokoknya.
Makanya,
saat hendak selesai dari Sekolah Dasar aku benar-benar sedih. Aku ingat sekali,
hari itu, saat acara penamatan tengah berlangsung aku yang bertugas membawakan
sepatah kata siswa yang tamat menagis penuh haru. Hingga kata-kataku tak
sanggup aku ucapkan. Justru suara serak terbata-bata yang terdengar. Ditambah
lagi para hadirin juga larut dalam sedih. Teman-temanku menangis. Begitu pun
guru-guruku. Ah, rasa-rasanya masa saat duduk di sekolah dasar lah yan paling
berkesan buatku. Karena saat itulah peletakan ilmu yang pertama. Ibarat rumah
di situlah pondasi utamanya.
Masih
banyak guru-guru yang aku idolakan. Sebab mereka aku ada. Karena tinta yang
pernah mereka goreskan. Pun tak ku sebut namanya satu-satu, dari hatiku terucap
beribu kata terimakasih pada mereka. Untuk mereka yang ku idolakan, sepanjang
hidupku. Mereka tak lain adaalah pahlawanku.
Terima, kasihku ku
ucapkan ...
Pada ... guruku yang
tulus ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah meninggalkan jejak :)