Rabu, 01 Januari 2014

Kau Takdirku!

Oleh: Nahlatul Azhar

Cairan merah itu mengalir di tangan kananku. Baju putih yang kukenakan pun mulai berubah warnah. Merah. Bau anyir mulai menusuk hidungku. Tanganku bergetar hebat. Belati yang tadinya kugenggam erat pun terjatuh. Sekujur tubuhku kaku.
Tak jauh dariku Rony jatuh bersimbah darah. Ia mengerang menahan sakit. Matanya melotot padaku. Ada amarah di sana. Namun tak lama, karena perlahan tubuhnya membeku. Diam tanpa helaan nafas.
 Di samping Rony berdiri Zian yang terus saja menatapku. Tatapan yang masih sama. Lembut. Ada senyum kecil terlihat di bibirnya. Menenangkan ketakutanku. Aku pasrah. Polisi hampir sampai di tempat kami berdiri.
***
Zian ...
Gadis yang periang. Pertama kali melihatnya itulah yang terpikirkan olehku. Novita, begitulah nama yang ia sebutkan saat mampir di tempat kerjaku. Dengan senyumnya ia menyapaku lalu kemudian duduk di depan salah satu komputer yang lagi kosong.
Warung internet, ya di tempat itulah aku sering berjaga. Menghabiskan waktuku selain kuliah. Tempat dimana aku bisa mengerjakan tugas-tugas kuliah sekaligus menulis banyak kisah untuk dikirim ke berbagai media. Sebisa mungkin aku mencari cara meminimalisir pengeluaranku setiap bulannya. Termasuk mencari penghasilan, walau hanya sedikit. Sehingga pilihanku jatuh pada warnet yang letaknya memang tak jauh dari tempatku ngekos.
Hidup di kota Makassar mulai kulakoni sejak tamat SMA demi melanjutkan cita-citaku. Pun orang tua di kampun tidak punya cukup biaya untuk kelanjutan sekolahku ini. Saat mengutarakan keinginanku untuk lanjut kuliah, ibu dengan muka tak rela hanya diam. Ibu terlalu peka mengenai urusan uang. Berbeda dengan bapak yang memikirkan segala hal dengan kepala dingin. Bapak pula yang mendukung langkahku mati-matian. Demiku pula bapak akhirnya melanggar prinsipnya untuk tidak meminjam banyak uang. Bagi bapak utang hanya akan membawa sengsara. Ah, bapak ... aku terlalu kagum padanya.
“Kak, berapa?” suara renyahnya membuyarkan lamunanku. Aku tersadar kembali terpukau dengan tatapan mata yang berbinar di hadapanku.
“Tiga ribu.” Entah apa yang harus aku ucapkan padanya. Padahal dalam hati aku ingin mengobrol dengannya.
“Makasih, Kak!” ucapnya sebelum pergi. Kembali senyum manis dihadiahkannya untukku.
Kuikuti langkah kaki ringannya dengan tatapanku. Ia menghilang setelah melewati pintu warnet.
Setauku dia juga mahasiswa. Dia juga tinggal di kos-kosan, tak jauh dari tempatku. Sayangnya pengetahuanku tentangnya hanya sampai di situ. Karena sepertinya dia pun penghuni baru di salah satu kosan cewek.
“Hey!” Heri mengagetkanku, “kayaknya kamu tertarik banget sama gadis itu,” lanjutnya.
“Apa-apaan sih,” elakku.
“Aku perhatikan tiap kali Vita datang buat online kamu selalu merhatiin. Setelah dia pergi pun kamu masih aja ngeliatin. Kalau matamu itu punya kaki, udah diikutin si Vita itu.” Heri meledekku habis-habisan.
Teman satu kosanku itu memang paling suka meledek orang. Termasuk aku. Walau selama ini aku tak banyak bicara, tapi ada saja celah yang ditemukannya buat meledekku. Termasuk tentang ketertarikanku pada Vita yang menurutnya sangat jelas terlihat.
“Tapi aku peringatkan ya, Zein. Vita itu sudah punya pacar.”
“Kata siapa?” terpancing juga aku akhirnya.
“Aku sering lihat dia diantar jemput sama cowok,” jelasnya sambil duduk di sampingku.
“Saudaranya kali.”
“Mana ada saudara yang tiap hari mampir ke kosan saudaranya. Lagian Lina teman kosnya juga ngiyaiin kok kalau Vita sudah punya pacar.”
Aku terdiam. Penjelasan dari teman sekamarku itu sudah cukup membuat telingaku panas. Ternyata aku menyukai wanita yang sudah punya kekasih. Niatku, rasa ini hanya akan kupendam dan kusingkirkan seiring waktu berjalan.
***
Vita ...
“Dari mana saja kamu?” Rony menyambutku dengan tatapan garangnya. Uhk ... lagi-lagi dia menunjukkan sikap menyebalkan itu.
“Dari warnet.”
“Ngapain?”
“Emang kamu pikir ngapain? Makan?”
“Ow ... jadi sekarang kamu sudah bisa melawan?” tanya Rony dengan mata melotot.
“Memang kalau iya kenapa? Aku ini pacarmu atau apamu sih?” tanyaku jengkel.
Entah bagaimana ceritanya aku bisa jatuh cinta pada laki-laki ini. Sudah hampir menginjak tahun kedua kami bersama, tapi sikapnya makin hari makin tidak bisa aku tebak. Yang membuatku heran, walau sudah benci setengah mati dengan tingkah lakunya tetap saja aku tidak bisa putus darinya. Sangat sulit mengucapkan kata putus di hadapannya.
Pernah suatu hari aku minta putus. Besoknya ia datang marah-marah ke kosku. Mengancam akan bunuh diri kalau aku beneran minta putus. Tanpa pikir panjang aku batalkan saja minta putus darinya. Bisa gawat kalau dia benaran bunuh diri.
“Vit, aku hanya tidak ingin kamu berpaling dari aku.” Kali ini ia melunak. Kedua tangannya meraih tangan kananku.
Justru sikapmu yang seperti itu yang nantinya akan membuatku menjauh. Bisik hatiku.
“Kenapa kemari?” tanyaku mengalihkan pembahasan kami.
“Aku rindu.”
“Bukannya tadi siang kamu juga ke sini? Apa kata penghuni kos lain kalau kamu selalu ke sini?”
Sebenarnya alasanku pindah dari kos yang lama karena ingin mengurangi jatah pertemuanku dengan Rony. Makanya aku pilih kosan yang semua penghuninya adalah perempuan, dan juga aturan-aturannya yang ketat.
“Alasan itu lagi,” wajahnya yang tadi sudah mulai dihiasi senyum kembali menampakkan kemarahan.
“Sudah deh, Ron! Kamu lebih baik pulang. Aku capek, pengen istirahat.” Tanpa memperdulikan panggilannya lagi aku pun pergi.
Aku sangat suka dengan kosan baruku. Karena kosku kali ini punya ruang tamu sendiri. Jadi tamu apa lagi kalau laki-laki ngga lagi langsung masuk ke kamar. Dan saat aku marah karena tingkah menyebalkan Rony, aku dapat langsung meninggalkannya di ruang tamu. Lagi pula aku mulai jenuh dengan segala aturan yang ia putuskan sepihak dengan dalih pacaran.
Rony tak tahu ... aku ingin merasakan ketenangan. Bukan kekangan.
***
Zian ...
Aku ingin kita terjatuh bersama. Terjatuh pada rasa bernama cinta.
Tulisan itu kuukir dalam buku catatanku. Buku kecil yang memang aku sediakan untuk menampung tulisan-tulisan yang kadang tiba-tiba muncul di benakku. Aku tiba-tiba menjadi pemuja cinta tiap harinya. Apa lagi jika dua, tiga hari aku tak melihat gadis penerjemah cintaku. Gelisah, gundah, galau akan menghampiriku. Bahkan aku pikir akan jadi  gila karenanya.
Lalu saat aku melihatnya lewat di depan meja tempat aku memantau para pengunjung warnet, hatiku akan tenang. Tak jarang berbisik syukur, “Ia tidak apa-apa. Vita sehat saja.”
“Kak!” sebuah panggilan yang tentunya ditujukan padaku. Aku mencari sumber suara tersebut.
“Iya?”Pandanganku tertuju pada orang yang tadi memanggilku.
“Kayaknya komputer ini ngga bisa dipakai deh,” ucap orang tersebut yang tak lain adalah gadis yang beberapa bulan belakangan ini menyita perhatianku.
Tanpa berkata-kata lagi aku pun menghampiri gadis itu. Sambil memeriksa komputer yang ia gunakan, sesekali pandanganku tertuju pada wajahnya yang manis.
“Gimana, Kak?” tanyanya.
“Kayaknya memang butuh di servis dulu.”
“Duh bagaimana ini?” Ada guratan sedih di wajahnya. Kuberanikan diri untuk bertanya. Pun hatiku mulai berdetak cepat.
“Memangnya ada apa?”
“Aku harus ngerjain tugas sekarang, materinya harus nyari di internet. Mana harus dikumpulin besok pagi-pagi sekali.”
Jadi begitu ...
Tak perlu berpikir panjang utuk masalah sekecil itu. Kutawarkan bantuan padanya yang langsung ia terima karena tak punya pilihan lain, sedangkan malam semakin gelap. Entah datang dari mana sepasang sayap di kiri dan kananku. Aku tiba-tiba menjadi pahlawan malam itu. Aku memintanya meninggalkan buku catatannya, dan akulah yang akan mencarikan materi yang ia butuhkan. Aku yang tak sudi mengerjakan tugas teman-temanku, lantaran aku pikir melanggar prinsip kecilku kini telah berubah. Suatu tindakan yang selama ini tabu menurut penilaianku. Aku benar-benar terjebak.
Malam itu, kembali aku menggantungkan asaku pada langit. Berharap benih-benih cinta tak hanya tumbuh di hatiku saja.
***
Vita ...
“Vit, tugasmu lengkap banget.”
“Iya. Dipuji-puji tuh sama dosen, dapat nialai plus pula. Jarang-jarang loh tuh dosen ngasih nilai bagus.”
Beberapa teman sekelasku memberiku acungan jempol atas tugas yang tak kusentuh sama sekali. Kak Zianlah yang mengerjakan semuanyi. Tadi sebelum berangkat hanya mampir dan bertanya padanya. Ternyata semua sudah rampung ia kerjakan ditambah sampul dan namaku yang sudah tertsusun rapi di sana.
Ada rasa tak enak menelusup ke hatiku. Bagaimana mungkin aku bangga dengan nilai yang sebenarnya tak pantas aku dapatkan?
“Vit, kamu kok malah lesu begitu? Bukannya bersyukur dapat nilai bagus,” ucap Kila, salah satu teman sekelasku di kampus yang juga satu kos denganku.
“Sebenarnya ... bukan aku yang ngerjain tugas itu,” ucapku.
“Hah! Terus siapa dong, bukannya semalam kamu ke warnet?”
“Iya sih.”
“Terus?” Mengalirlah kejadian semalam dari mulutku. Tentang Kak Zian yang mengerjakan semuanya.
“Berita heboh tuh, Vit!”
“Heboh apanya?”
“Ya heboh dong. Semua sudah pada tahu bagaimana pelitnya  Kak Zian kalau masalah tugas. Tidak pernah sekali pun ia mau ngerjain tugas temannya. Dia paling anti tuh sama yang gituan,” jelas Kila.
Jujur saja, mendengar penjelasannya aku sangat kaget. Malahan aku pikir Kak Zian sudah biasa ngerjain tugas mahasiswa lain. Tentu saja dengan mendapatkan imbalan. Tapi ternyata ...
“Duh, menurut kamu kenapa dia gitu?” tanyaku.
“Hmm ... kali aja dia suka sama kamu.”
Duarrr ...
Bagai guntur di siang bolong ucapan Kila padaku. Suka? mana mungkin. Walau tidak pernah mencari informasi tentang Kak Zian, toh aku bisa dengar di kanan kiriku orang-orang memperbincangkannya. Terutama para gadis. Walau katanya laki-laki yang telah menolonku itu miskin, tapi tidak sedikit yang diam-diam berharap mendapatkan hatinya. Terlebih karena otaknya yang cemerlang dan wajah yang terbilang tampan. Jadi mana mungkin dia suka padaku?
Hal yang sangat mustahil itu aku singkirkan dari pikiranku. Yang sekarang harus aku lakukan adalah, mampir ke tempat Kak Zian dan mengucapkan banyak terima kasih. Kalau perlu aku traktir dia makan.
“Sayang, sudah selesai kuliahnya?”
Degh ... Rony sudah berdiri di sampingku. Sepertinya ucapan terimakasihu harus ditunda dulu.
***
Zian ...
Wajah yang hanya bisa aku tatap diam-diam  kini bisa aku pandangi sepuasnya. Vita saat ini duduk manis di hadapanku. Dengan meja makan sebagai pembatas kami, ditemani dua mangkuk bakso. Vita bercerita tentang segelanya, sesekali ia bertanya padaku. Aku benar-benar jadi penengar setia malam ini. Justru bakso yang sudah sejak tadi terhidang yang malah tidak terjamah.
“Kak, sekali lagi makasih ya sudah mau ngerjain tugas aku.”
Aku hanya mengangguk sambil menatapnya. Dia benar-benar bidadari. Cantik. Ceria.
“Tapi Kak, kenapa kakak mau ngerjain tugas aku? Padahal katanya kakak ngga pernah mau ngerjain tugas siapa pun.” Pertanyaan yang sudah aku duga. Namun tetap saja aku tidak punya jawaban pas untuknya.
“Mungkin karena kasihan saja,’ jawabku. Yang sebenarnya karena, aku mencintaimu.
***
 “Hay Kak!” ucapku saat masuk ke warnet yang ia jaga. Kak Zian tersenyum menyambut kedatanganku. Aku semakin sering datang ke tempat ini.
Aku mulai online. Sebenarnya tidak ada tugas yang harus kukerjakan. Tapi rutinitas datang ke mari semakin menyenangkan. Terlebih saat mataku bersitatap dengan Kak Zian. Dadaku searasa mau pecah.
Seperti malam ini. Berkali-kali mata kami bertemu. Jika bukan aku yang gelagapan, Kak Zian yang langsung membuang muka.
“VITA, IKUT AKU, SEKARANG!” Satu tarikan keras di pergelangan tanganku sudah cukup untuk membuat tubuh terjatuh.
Ternyata Rony ada di sini. Mungkin sudah melihat tingkahku sejak tadi. Dan mungkin inilah puncak kemarahannya.
“Ron, sakit!” rintihku. Aku mengikuti langkahnya.
Malam itu pengunjung warnet hanya beberapa orang sehingga tak ada yang perduli dengan sikap Rony. Berbeda dengan Kak Zian yang segera berdiri mengejar kami.
“Hei! Kamu menyakitinya!” teriaknya.
“DIAM KAU!” maki Rony. Aku semakin takut.
“Jangan ikuti kami!” Perintah Rony. Aku memberi isyarat pada Kak Zian untuk mengikuti perkataan Rony. Kami pun menjauh.
Setelah berada di sebuah gang sempit, Rony melepaskan cengkramannya pada tanganku.
“Ron! aku bisa jelaskan semuanya.”
“Apa yang akan kau jelaskan, hah! APA!?”  Rony mengambil sesuatu dari sakunya. Sebuah pisau kecil yang kemudian ia arahkan padaku.
“Baiklah, malam ini kita akan mati bersama, Paham!” Aku menggigil ketakutan. Hanya bisa memejamkan mata.
BUGH!
Pukulan itu tepat mengenai pundak Rony. Kak Zian sudah ada di belakangnya. Pisau yang tadi di genggam Rony terlepas. Mereka pun berkelahi. Keadaan tak seimbang. Rony memang ahli bela diri. Dengan mataku sendiri kusaksikan Kak Zian semakin terdesak. Berkali-kali Rony memukuli wajahnya. Aku sudah tak tahan melihatnya.
 Lalu ...
***
Tepat 1 Januari 2014.
Vita ...
Aku akan berkorban apa saja untukmu. Bahkan untuk kebebasanmu. Kuingin kau terbang setinggi mungkin, demi menggapai mimpi-mimpimu. Jika saatnya tiba, kembalilah dan bebaskan aku. Agar bisa kembali menjagamu. Kembali bersamamu.
Kupandangi tulisan Kak Zian untuk kesekian kalinya. Kertas tempat ia menuliskannya berada dalam genggemanku. Bersama tulisan itu aku akan menjemput kepulangannya. Laki-laki yang telah menyelamatkanku, yang kuhancurkan masa depannya, yang ku ...
Di sana ... di sana dia berdiri dengan tatapan yang sama. Lembut. Langkahku tak tertahan lagi. Dia yang kutunggu kepulangannya, yang kunanti, yang membuatku bertahan untuk kata cinta. Kak ... aku mencintaimu.
Tahun baru kali ini aku tidak akan sendiri lagi, karena kini ada kamu yang menemani. Ada kamu yang kuyakini ditakdirkan hanya untuk aku. Zian.
^selesai^

Biodata Penulis: 

Nama :Nahlatul Azhar 
Twitter : @NaNahlatulazhar
Email   : nahlatulazhar.na981@yahoo.com

2 komentar:

Terimakasih telah meninggalkan jejak :)